Mohon tunggu...
Wahyudi Iskandar
Wahyudi Iskandar Mohon Tunggu... Swasta -

twitter: WAHYUDI ISKANDAR facebook: WAHYUDI ISKANDAR googl+: WAHYUDI ISKANDAR Fanpage: WAHYUDI ISKANDAR

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konsekuensi Investasi Asing Bagi Aset dan Masa Depan Anak Bangsa

17 April 2018   04:00 Diperbarui: 17 April 2018   04:25 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Investasi dari luar negeri dibarengi dengan konsekuensi juga dengan konsekuensi masuknya tenaga kerja asing (TKA). China pemasok TKA terbanyak di Indonesia.

"Faktanya kalau menggunakan data resmi Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ada 16 ribu TKA (dari China). Tapi kalau saya bilang kita mengepung China, orang pada marah. Kenapa sih? Faktanya kalau menggunakan data resmi Menteri Tenaga Kerja (Menaker), kan 16 ribu (dari China). TKI kita di Hongkong aja 153 ribu, 200 ribu itu di Taiwan, Singapura 150 ribuan. Di Malaysia TKI kita yang ilegal itu 2 juta.

Pertama, Meningkatnya jumlah TKA ini adalah konsekuensi logis dari meningkatnya investasi asing di Indonesia. Sementara itu, tenaga kerja lokal masih menghadapi kendala kompetensi.

"Kaitannya dengan tenaga kerja lokal. Problem di tenaga kerja lokal itu adalah problem di kapasitas dan kompetensi. Di Karawang, ada perda, industri di sana 60 persen harus mempekerjakan orang ber KTP Karawang. Itu kan menghambat investasi juga akhirnya. Ini salah satu persoalan di daerah. Kita ingin warga lokal terserap, di satu sisi less educated dan less trained. Kompetensi nggak ada. Yang jadi hambatan di masyarakat lokal seperti itu,"

Tenaga kerja China itu sekitar 16 ribu dari China. Total reratanya (jumlah tenaga asing dari semua negara) naik turun sekitar 70 ribu, 69-68-72 ribu dari semua negara. China memang yang paling besar, rerata tahunannya sekitar 16 ribu.

Ini yang harus kita luruskan dalam penanganan masalah itu bahwa kalau misalnya dia (TKA) ilegal, Pemerintah harus tegas. Intinya di situ, Prinsipnya izin TKA itu mendahului kedatangan orang. Dari segi sektor yang paling banyak di konstruksi, perdagangan dan jasa, kemudian di sektor pertanian. Untuk profesional, teknisi, supervisor direksi dan komisaris.

Trennya TKA China meningkat karena investasi dari China meningkat. Inilah Korelasi utamanya. Kalau misalnya skema kerjasama itu kan dia bisa pemerintah dan bisa bisnis, bisa G to B, misalnya Pemerintah Indonesia dan entitas bisnis di China, atau misalnya teman-teman di Kadin, antar entitas binis di Indonesia dan di sana. Jadi jangan diasumsikan kalau investasi seolah-olah selalu pemerintah, itu ada pemerintahnya, ada swastanya.

Kedua, kalau China ini baca kecenderungan di banyak tempat mereka selalu bawa orang yang lebih banyaklah. Bawa orang itu sebenarnya wajar, nggak ada orang investasi nggak bawa orang, itu nggak ada. Cuma China dibandingkan negara lain itu suka lebih banyak. Kalau misalnya izinnya sudah keluar baru orangnya dipanggil Masuk bekerja ke Indonesia.

Sementara yang diributin orang itu, orang asing tak pernah ada perusahaan yang pernah urus izinnya tiba-tiba dia bekerja, Disinilah masalahnya tentunya Investasi dari luar negeri dibarengi juga dengan konsekuensi masuknya tenaga kerja asing (TKA). Saya sebenarnya ingin bedakan antara tenaga kerja asing dan WNA yang bekerja. Kalau TKA orang yang masuk ke Indonesia untuk bekerja dan melalui prosedur yang berlaku. Karena di Indonesia ini nggak bisa lho, individu mengurus izin bekerja. Yang mengurus adalah perusahaan penggunanya.

Jadi misalnya ada orang datang, ndablek, tadinya orang pengen liburan ke Bali terus berubah pikiran untuk bekerja, nggak bisa begitu. Perusahaannya harus ngurus dulu.

Kalau dari negaranya itu TKA paling banyak dari negara mana?

Dari China memang. China untuk 2016 19 ribu, dari sebelumnya 17.500, Jepang 11 ribu, Korea Selatan 7 ribu, India 4 ribu, Malaysia 3 ribu, AS, Thailand, Australia (masing-masing) 2 ribu dan negara lain.

Oleh karena itu maka sebenarnya ini harus jadi awareness bagi pemerintah yang menangani masalah investasi dan awareness bagi kalangan pebisnis kita sendiri yang menjalin kerjasama, minta kontrak kerjasama dengan entitas bisnis di sana. Mereka (pebisnis) mewakili Indonesia bukan sekedar pokoknya dapat kontrak dari sana trus nggak peduli sananya mau apa. Kalau mau dibawa semua, sebaiknya ya nggak.

Ketiga, apapun kesepakatan kerja sama, sejauh terkait ketenagakerjaan harus tunduk pada aturan ketenagakerjaan. Ada jabatan-jabatan yang boleh dan tidak boleh diduduki tenaga kerja asing, itu kan ada aturannya, jabatannya apa saja.

Pendek kata, jabatan skilled yang di luar itu TKA nggak boleh. Jadi misalnya kalau di luar ada pekerja kasar, ada petani, ada koki, itu nggak boleh secara regulasi. Itu merem saja sudah pasti pelanggaran. Terlepas dari kontrak bsinis apa saja itu tunduk pada aturan ketenagakerjaan. Selama mereka tidak melanggar aturan nggak masalah karena Indonesia bukan negara tertutup. Legal itu memproses izin sesuai dengan ketentuan, tidak melanggar aturan ya tidak melanggar aturan yang diberikan.

Misalnya proses izin ada verifikasi jabatan, dicek pendidikan kompetensi keterampilan, harus bayar USD 100 per bulan per orang. Nah kalau pelanggaran aturan misalnya si A diizinkannya bekerja untuk PT B di lapangan kerjanya untuk PT C, itu pelanggaran izin. Seperti dapat izinnya SIM C tapi bawa truk. Tapi bukan tidak berizin, berizin tapi melanggar izinnya. Pelanggaran izin itu, bukan ilegal. Kalau ilegal itu izin kerja nggak ada, izin tinggal nggak ada. Selama mereka legal dan tak langgar aturan nggak masalah. Kalau mereka ilegal dan melanggar aturan ya pemerintah harus menindak tegas.

Pemerintah siapa?

Bisa pengawas Imigrasi, pengawas ketenagakerjaan, bisa polisi dan pemerintah daerah.

Pemerintah sedang perkuat sistem dengan Imigrasi dan integrasi sistem monitoringnya. Kalau di Imigrasi ada data perlintasan, orang kalau melintas itu kan ada datanya.

Mengapa TKA tidak diwajibkan berbahasa Indonesia?

Kita nggak bisa melihat itu dengan sentimen. Mengapa meributkan bahasa, ada orang Inggris masuk ke Indonesia, dia kerja untuk perusahaan apa? Perusahaan Inggris.

Bosnya orang apa? Orang Inggris.

Lha ngapain harus bisa bahasa Indonesia?

Beda dengan TKI kita. TKI kita ke Arab kenapa dilatih bahasa Arab, majikannya siapa, orang Arab.

Kalau syarat bahasa Indonesia ini kita paksakan akan jadi hambatan. Kecuali kalau tenaga asing itu bekerja untuk orang Indonesia. Semua tenaga kerja asing bekerja untuk perusahaan dari negara mereka berasal. Kecuali kalau majikannya orang Indonesia.

Bagaimana dengan perwakilan tenaga kerja lokal?

Investasi ada tahapannya. Ada TKA harus ada pendampingnya, jadi secara regulasi. Jadi dalam satu site, nggak mungkin isinya 100 persen WNA semua, nggak mungkin. Karena pendampingan (tenaga lokal) itu wajib. Ada orang datang wajib didampingi orang Indonesia. Jadi kalau dia urus izin, misalnya 100 orang WNA, ketika urus izin ini kan ada komitmen untuk pendampingan itu. Harus menunjukkan data orang yang mendampingi. Posisinya 11-12 sama TKA. Itu yang mengurus izin.

Kaitannya dengan tenaga kerja lokal. Problem di tenaga kerja lokal itu adalah problem di kapasitas dan kompetensi. Di Karawang, ada perda, industri di sana 60 persen harus mempekerjakan orang ber KTP Karawang. Itu kan menghambat investasi juga akhirnya. Ini salah satu persoalan di daerah. Kita ingin warga lokal terserap, di satu sisi less educated dan less trained. Kompetensi nggak ada. Yang jadi hambatan di masyarakat lokal seperti itu. Nah makanya kita dorong sekarang bagaimana investasi atau industri itu berkontribusi melatih warga lokal dulu. Bukan Pemda yang mewajibkan untuk merekrut begitu. Lha kalau masyarakatnya kompeten oke, kalau cuma lulusan SD-SMP? Pabrik mending pindah kalau kaya gitu. Di Karawang sudah banyak pabrik yang pindah.

Kalau perusahaannya kita desak, bantu Balai Latihan Kerja (BLK) pemerintah agar orang-orang bisa dapat pelatihan.

Bagaimana dengan alokasi dana BLK selama ini?

BLK butuh per tahun bisa Rp 10 triliun, minim. Khusus untuk ini, pelatihan BLK, bukan anggaran Kemenaker. Kalau anggaran BLK Rp 10 triliun, Kemenaker bisa Rp 15 triliun-an. Butuh cukup besar untuk pelatihan digabung dengan sertifikasi. Anggaran training buat 100 orang, sertifikasinya hanya untuk 50 orang.

Di BLK semua orang bisa masuk situ. Dulu masuk BLK harus SMA. Lha ini lulusan SD-SMP mau masuk ke mana? Untuk itulah pemerintah menghilangkan batasannya, Kualitas yang ada 279 BLK diberdayakan kurikulum, instruktur, peralatan dan kesesuaian dengan industri, kalau itu digenjot sudah lumayan.

Bagaimana dengan pelatihan TKI yang ke luar negeri?

Soal TKI ke luar negeri, yang informal sudah di tutup Karena sedang fokus ke depan mendorong migrasi lebih ke sektor formal. Ke luar negeri nggak masalah profesi apa saja, yang penting harus skilled (labour). Termasuk PLRT (Penata Laksana Rumah Tangga-red). PLRT itu kan generik, masak, mijet, ya semua, bersih-bersih, nyuci, itu dicampur-campur. Kalau skilled itu basisnya jabatan, misalnya cooker.

Uraian pekerjaannya jelas, cooker, gardener, jelas, formal di rumah tangga. Konsekuensinya orang tak bisa mempekerjakan 1 orang buat semua. Kalaupun orangnya mau, ya ada konsekuensinya. Nggak apa-apa, tapi bayarannya pasti harus beda, dobel.

Untuk itu bagi masyarakat yang hanya lulusan SD, SMP, DAN SMA segeralah bersiap-siap untuk mencari kerja ke negeri tetangga karena kompetensi dan kualitas pendidikan yang minim dan skill yang kurang untuk bersaing maka anda berhak mencari uah dobke sebagai buruh atau babu dinegeri orang. Dengan mengemban banyak tugas dan waktu kerja yang berlebihan pula. Gemarilah pekerjaan dinegeri orang karena dinegeri kita ini akn sangat sulit sekali bersaing dan berkompetensi.

Ini kenyataan yang mesti kalian akui dan mesti kalian sadari, wahai anak anak muda putra putri bangsa bahwasanya jaminan mutu pendidikan dinegeri ini wajib kalian tuntut dan wajib kalian dapatkan. Karena kedepan kompetensi dan kwalitas diri juga skill yang mumpuni merupakan sebuah keharusan yang wajib kalian miliki. Ditengah minimnya mutu dan kwalitas pendidikan ini. Berhentilah berpikir untuk belajar tinggi hanya untuk bekerja mencari penghasilan dan menjadi aset negara.

Mulailah berpikir untuk terus mengumpulkan aset dan membuat negara ini menjadi aset bagi diri, keluarga, sanak saudara "SEBANGSA DAN SETANAH AIR KITA".

Mulailah untuk berpikir menguasai negara ini sebagai aset anak bangsa. Dan mulailah berpikir untuk mengelolanya dengan jiwa gotong royong kita. Bangsa ini. Negara ini. Tanah air kita ini adalah aset kita. Mari kita kuasai kembali dan jaga aset kita ini sehingga dapat menghasilkan passive income yang jelas. Dari rakyat, Untuk rakyat kembali pada rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun