Dari China memang. China untuk 2016 19 ribu, dari sebelumnya 17.500, Jepang 11 ribu, Korea Selatan 7 ribu, India 4 ribu, Malaysia 3 ribu, AS, Thailand, Australia (masing-masing) 2 ribu dan negara lain.
Oleh karena itu maka sebenarnya ini harus jadi awareness bagi pemerintah yang menangani masalah investasi dan awareness bagi kalangan pebisnis kita sendiri yang menjalin kerjasama, minta kontrak kerjasama dengan entitas bisnis di sana. Mereka (pebisnis) mewakili Indonesia bukan sekedar pokoknya dapat kontrak dari sana trus nggak peduli sananya mau apa. Kalau mau dibawa semua, sebaiknya ya nggak.
Ketiga, apapun kesepakatan kerja sama, sejauh terkait ketenagakerjaan harus tunduk pada aturan ketenagakerjaan. Ada jabatan-jabatan yang boleh dan tidak boleh diduduki tenaga kerja asing, itu kan ada aturannya, jabatannya apa saja.
Pendek kata, jabatan skilled yang di luar itu TKA nggak boleh. Jadi misalnya kalau di luar ada pekerja kasar, ada petani, ada koki, itu nggak boleh secara regulasi. Itu merem saja sudah pasti pelanggaran. Terlepas dari kontrak bsinis apa saja itu tunduk pada aturan ketenagakerjaan. Selama mereka tidak melanggar aturan nggak masalah karena Indonesia bukan negara tertutup. Legal itu memproses izin sesuai dengan ketentuan, tidak melanggar aturan ya tidak melanggar aturan yang diberikan.
Misalnya proses izin ada verifikasi jabatan, dicek pendidikan kompetensi keterampilan, harus bayar USD 100 per bulan per orang. Nah kalau pelanggaran aturan misalnya si A diizinkannya bekerja untuk PT B di lapangan kerjanya untuk PT C, itu pelanggaran izin. Seperti dapat izinnya SIM C tapi bawa truk. Tapi bukan tidak berizin, berizin tapi melanggar izinnya. Pelanggaran izin itu, bukan ilegal. Kalau ilegal itu izin kerja nggak ada, izin tinggal nggak ada. Selama mereka legal dan tak langgar aturan nggak masalah. Kalau mereka ilegal dan melanggar aturan ya pemerintah harus menindak tegas.
Pemerintah siapa?
Bisa pengawas Imigrasi, pengawas ketenagakerjaan, bisa polisi dan pemerintah daerah.
Pemerintah sedang perkuat sistem dengan Imigrasi dan integrasi sistem monitoringnya. Kalau di Imigrasi ada data perlintasan, orang kalau melintas itu kan ada datanya.
Mengapa TKA tidak diwajibkan berbahasa Indonesia?
Kita nggak bisa melihat itu dengan sentimen. Mengapa meributkan bahasa, ada orang Inggris masuk ke Indonesia, dia kerja untuk perusahaan apa? Perusahaan Inggris.
Bosnya orang apa? Orang Inggris.