Pendahuluan
Masa remaja, atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai "Adult", berasal dari bahasa Latin "adolescere", yang berarti "tumbuh menuju kedewasaan". Masa pertumbuhan ini merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang di dalamnya terjadi perkembangan  emosional, mental, sosial, dan fisik. Pada titik ini, remaja mulai berpikir  abstrak dan mampu mempertimbangkan berbagai kemungkinan dengan cara yang lebih kompleks. Tantangan utama bagi remaja adalah mencapai kemandirian emosional dan mengembangkan keterampilan intelektual yang mendukung keterampilan sosial melalui sebuah nilai oleh salah satu Psikolog terkemuka berkebangsaan Amerika Serikat, Elizabeth Bergner Hurlock-- atau yang biasa dikenal hanya dengan sebutan Hurlock--sebagai "Konsep Diri" (Hidayati, 2016: 137-138).
Sebuah nilai individu yang berupa gambaran milik seseorang tentang dirinya ini merupakan kombinasi keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk karakteristik fisik, psikologis, sosial, dan emosional, aspirasi, dan pencapaiannya. Dalam aspek pendidikan misalnya, seorang siswa mulai belajar berpikir dan merasakan dirinya  ditentukan oleh orang-orang di sekitarnya, seperti orang tua, guru, dan teman. Oleh karena itu, jika seorang guru terus-menerus memberi tahu siswa bahwa dia tidak cukup baik, lama kelamaan anak  akan mengembangkan citra diri di mana dia akan selalu merasa tidak mampu dalam melaksanakan tugas atau pengajaran.
Hurlock sendiri mengusulkan dua tingkat konsep diri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Konsep diri positif. Individu mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk melihat diri mereka sendiri secara realistis. Kedua, evaluasi yang tepat terhadap hubungan dengan orang lain memfasilitasi penyesuaian pribadi dan sosial.
(2) Konsep diri negatif. Masyarakat mulai merasa tidak  mampu dan rendah diri. Keraguan dan kurangnya rasa percaya diri menyebabkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk.Psikolog Elizabeth Hurlock juga membagi konsep diri menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. (Ihsan, 2018: 5-6)
Dengan demikian, berdasarkan sedikit uraian teori "Konsep Diri Hurlock" di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut secara empiris melalui sebuah observasi perihal konsep diri positif dan negatif dalam diri seorang remaja di lingkungan sekolah yang diduga cenderung memiliki konsep diri negatif oleh sebab lingkungannya.
Metode
Oleh sebab bentuk penelitian ini merupakan studi kasus terhadap salah seorang siswi, maka peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yakni peniliti mendeskripsikan objek penelitian dengan mengacu pada teori tertentu yang dalam hal ini adalah Teori Konsep Diri Hurlock.
Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam guna memahami persepsi siswa tentang diri mereka hingga faktor eksternal dan internal yang memengaruhi konsep diri positif dan negatif dengan pendekatan psikologis-sosiologis, karena konsep diri siswa tidak hanya dibentuk oleh faktor internal (psikologis) namun juga dibentuk oleh fakor eksternal (lingkungan sosial). Selain itu, juga dilakukan observasi langsung di lingkungan sekolah guna memahami objek penelitian lebih dalam serta sikapnya dalam proses pembelajaran.
Objek yang peniliti gunakan sebagai sampel penelitian adalah terhadap salah satu siswi kelas X SMA AL HASRA Depok bernama Naila Agustina (17) yang dipilih secara purposive sampling atau berdasarkan kriteria tertentu.
Hasil dan Pembahasan
Setelah ditanyakan beberapa pertanyaan yang mengarah pada nilai-nilai dari Konsep Diri Positif, Naila menjelaskan bahwa dirinya merasa tidak percaya diri ketika di sekolah karena memiliki rasa malu yang sangat tinggi. Salah satu contohnya adalah ketika dia melakukan presentasi di depan kelas, dia merasa gugup dan tremor, bahkan hingga saat ini belum ada pengalaman di sekolah yang membuatnya tampil percaya diri.
Selain itu, dia memiliki mata pelajaran yang sangat disukai yaitu geografi, karena si pengajar memiliki semangat yang tinggi dalam menyampaikan materi dan tidak membuat siswa menjadi jenuh, serta apabila terdapat murid yang merasa kesulitan dalam pembelajaran, maka si pengajar terus berusaha membuat para murid paham tanpa membanding-bandingkan satu murid dengan murid yang lainnya.
Meski demikian, Naila memiliki tekad yang juat dalam belajar. Hal ini dibuktikan melalui ungkapannya yang menjelaskan bahwa ketika dia mengalami kegagalan, dia sangat yakin bahwa dirinya sudah pasti akan bangkit dan terus mencoba oleh sebab sumber motivasi dan semangat miliknya dalam melakukan segala sesuatu adalah kedua orang tua dan kakaknya.
Oleh sebab itu, dia memiliki sebuah cara untuk tetap mempertahankan rasa percaya dirinya yakni dengan terus berlatih dan belajar dengan tekun. Tak hanya itu, dia juga menerima kekurangan nilai akademik dalam dirinya dengan berpikir bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan terus memperbaiki kekurangan itu sebagai upaya untuk tetap menghargai diri sendiri dan berpikir positif.
Di samping itu, ketika peneliti memberikan beberapa pertanyaan yang mengarah kepada nilai-nilai dari Konsep Diri Negatif, Naila mengutarakan bahwa dirinya pernah merasa kurang mampu atau gagal. Salah satunya adalah ketika menjalani ujian di sekolah, dia mendapatkan nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sehingga harus mengikuti remedial sedangkan teman-temannya memiliki nilai yang lulus dari standar KKM sehingga tidak perlu melakukan remedial sebagaimana dirinya, belum lagi tak jarang dia merasa frustasi oleh sebab banyaknya tugas sekolah yang harus dia selesaikan dengan rasa pasrah.
Naila sadar bahwa hal yang menyebabkan dirinya mendapatkan nilai di bawah kriteria ketuntasan minimal adalah disebabkan oleh pelajarannya yang dianggap susah dan sukar untuk dipahami. Contohnya adalah mata pelajaran matematika, dia merasa kurang memiliki peminatan terhadap pelajaran yang bersifat eksakta. Di lain waktu, dia juga sering merasa merasa jenuh ketika si pengajar terlalu banyak menyampaikan materi dan jadi ngantuk.
namun dia juga menyadari bahwa penyebab utama dari memiliki nilai yang rendah adalah rasa malas belajar.
Tak hanya itu, dia juga bercerita bahwa dirinya pernah merasa ragu karena kurangnya rasa percaya diri, yakni ketika dia ingin mendaftarkan diri menjadi anggota Organisasi Siswa Internal Sekolah (OSIS), dia merasa ragu karena takut jika nantinya dia tidak mampu menjalankan tugas dan kewajibanya sebagai pengurus oleh sebab tanggung jawab yang dimiliki oleh pengurus OSIS sangatlah besar.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti jabarkan di atas, maka dapat ditemukan benang merah bahwa terdapat nilai Konsep Diri pada diri Naila sebagaimana yang dikemukakan oleh Hurlock. Naila memiliki ketertarikan dan sikap percaya diri ketika menjalankan mata pelajaran oleh sebab dibimbing oleh guru yang penuh semangat dan tidak pilih kasih, dia juga menerima kekurangannya dalam nilai akademik dan tetap berusaha belajar dengan tekun dan giat demi sumber motivasinya yakni keluarga. Hal ini sejalan dengan Konsep Diri Positif Hurlock bahwa orang yang yakin dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya akan mampu menghadapi tantangan hidup dengan lebih semangat dan positif, disertai dengan sikap penerimaan terhadap kekurangan diri memungkinan seseorang untuk tidak terlalu merasa terancam oleh kehadiran individu lainnya dan menjaga hubungan sosial yang harmonis.
Begitu juga sebaliknya, Konsep Diri Negatif juga ada pada diri seorang Naila. Dia sering kali merasa gugup ketika presentasi depan kelas, merasa bahwa dirinya anak dengan nilai akademik di bawah KKM yang sulit belajar dan kurang menyukai ilmu eksak serta tidak layak untuk unjuk diri sekalipun itu mendaftarkan diri untuk menjadi pengurus OSIS. Hal ini selaras dengan apa yang telah dikemukakan Hurlock bahwa ciri Konsep Diri Negatif adalah sering merasa rendah dan membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, masih adanya sikap penolakan terhadap dirinya atas nilai akademik yang berada di bawah KKM menjadi poin utama dalam menghambat rasa percaya dirinya untuk mengeksplorasi bakat-bakatnya melalui organisasi.
Penutup
Dari hasil dan pembahasan sebelumnya, dapat kita ambil benang merah bahwa Konsep Diri memainkan peran penting dalam membentuk kepribadian dan perilaku individu, termasuk dalam kehidupan Naila. Studi kasus ini menunjukkan bahwa objek penelitian mengalami dinamika antara kedua jenis konsep diri tersebut yang sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti motivasi dari keluarga dan cara mengajar guru, serta faktor internal seperti rasa malas dan rasa ketertarikan diri dengan mata pelajaran.
Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa konsep diri bukanlah hal yang bersifat statis, melainkan dinamis berdasarkan faktor-faktor yang menyertainya saat itu. Ketika konsep diri positif mendominasi, maka individu akan tampil lebih bersemangat dan percaya diri, namun apabila sebaliknya, maka ia akan terjebak pada penolakan dan mengalami kesulitan dalam mengekspresikan potensi dirinya. Oleh sebab itu, intervensi yang tepat oleh lingkungan sekitar dapat menjadi kunci untuk mengurangi potensi konsep diri negatif dan memaksimalkan penuh konsep diri positif yang ada pada diri siswa dengan nilai akademik yang rendah.
Peneliti berharap semoga artikel ini mampu menambah literasi pembaca perihal Konsep Diri Positif dan Negatif Hurlock serta meningkatkan kepedulian kita dengan manusia-manusia lainnya yang berada di sekitar kita untuk terus selalu merasa optimis dengan penanaman dan penguatan Konsep Diri Positif Hurlock, khususnya di dunia pendidikan dan kehidupan remaja.
Referensi
Agustina, Naila, Wawancara Pribadi, Depok: SMA Al Hasra, 12 Desember 2024.
Hidayati, Khoirul Bariyyah & M Farid, "Konsep Diri, Adversity Quotient dan Penyesuaian Diri pada Remaja", Pesona: Jurnal Psikologi Indonesia, Vol. 5, No. 2, (Mei 2016).
Ihsan, "Peran Konsep Diri Terhadap Kedisiplinan Siswa", Nalar: Jurnal Peradaban dan Pemikiran Islam, Vol. 2, No. 1, (Juli 2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H