Merengkuh Asa
Asa bimbang. Asa dilema. Entah apa yang harus ia lakukan untuk membahagiakan Bunda di kampung halaman. Sebab, mau tidak mau ia harus mebawa calon istri nanti ke hadapan Bunda yang sedang menunggu di sana.
Asa masih tetap bimbang. Asa masih tetap dilema.
Sebab di sini, kota Jakarta tempat ia mereguk rezeki sudah memiliki kekasih. Sawitri, namanya. Sudah jalan setahun ia berhubungan kekasih. Itupun karena dikenalkan oleh rekan kerjanya sesama satu divisi periklanan di kantor advertising ternama di ibukota.
Bunda tidak ingin kamu mengecewakan orang-orang di kampung halaman. Kamu pikir masak-masak dulu sebelum kamu kembali ke kampung. Apalagi Zubaidah sudah menantimu di sini...
Itu pesan singkat yang Asa baca seminggu yang lalu. Bunda sudah mengultimatum dirinya.
"Mas, minggu depan kamu disuruh menghadap Ayahku. Ia ingin kenal kamu. Sebab, ia ingin tahun calon suami anaknya," tiba-tiba Sawitri mengangetkan dirinya saat ia sedang melamunkan pesan singkat Bunda saat itu.
Hari itu Asa dan Sawitri sedang menikmati masa liburan cuti kerjanya. Mereka berdua saat itu sedang makan siang di sebuah cottage. Sungguh jika ada dua orang saling berdekat ketiganya ada setannya yang menggodanya. Tetapi Asa adalah lelaki yang kuat iman dan sudah akhlaknya dari masih kecil oleh Bunda.
"I-iya. Jika aku tidak ada kerjaan yang tiba-tiba memanggilku nanti," jawab Asa terbata-bata.
"Ya, sudah nanti aku beritahukan ayah di sana."
Ah, Asa melepas lega nafasnya. Segala kekalutan sejenak terlepas.
Seminggu setelah Asa mengahbiskan masa cutinya bersama Sawitri tiba-tiba Bunda kembali memberitahukan. Kali ini Bunda menelpon dirinya.
"Besok kalau kamu tidak pulang! Kamu akan lihat nama Bunda saja. Sebab, Bunda sudah menanggung malu karena Zubaidah, anak kades di sini terus menunggu kepastian kamu. Jika kamu masih sayang Bunda kamu pulang dengan membawa kabar suka cita bukan duka."
Begitu Bunda memekik di balik ponsel yang Asa gunakan untuk selalu berhubungan dengan orang-orang tercinta di kampung halaman di Bukit Tinggi.
"Iya, iya aku akan datang, Bunda."
"Ya, sudah Mak tunggu!"
Klik.
Hubungan komunikasi putus.
Keesokannya....di sebuah kosan yang cukup mewah bagi seorang Asa menjadi senyap. Karena di sana tidak ada kehidupan. Tuan rumahnya sudah meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba saat itu angin berkesiur bertiup kencang dan menjatuhkan sepucuk surat.
ANAKMU bukan anakmu !
“Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.**)
Di lain tempat Asa sedang menikmati dunianya. Ia ingin lepas dari semua terkungkungan dari Bunda, Zubaidah dan Sawitri dari orang-orang yang selama ini dirinya telah membuat sepertinya lahir dari sebuah zaman Siti Nurbaya.
Tiba-tiba Asa tak menyadarinya kalau dirinya sudah direngkuh oleh alam. Seluruh tubuhnya sudah membatu di sebuah tebing. Sebab, pernah berjanji jika ia tidak bisa memilih kehidupannnya sendiri biar alam yang memilih dan merengkuh dirinya.
Kini di sana, di atas tebing tampak sebuah patung seperti orang yang sedang merengkuh bersidekap kedua tangan. Sedang merengkuh dengan alam.[]25042014
Keterangan:
**)Â Kahlil Gibran : "ANAKMU Bukan Anakmu !"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H