Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

[Serial Orba] JS Badudu yang "Terlempar" dari TVRI

29 November 2018   17:17 Diperbarui: 12 Maret 2019   01:15 2838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa lalu, Jusuf Sjarif Badudu sangat identik dengan Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia yang ia bawakan di TVRI. Saking kuatnya "personal branding" JS Badudu sehingga namanya sukar dipisahkan dengan program keren di stasiun televisi milik pemerintah itu.

Lalu mengapa JS Badudu tiba-tiba berhenti menyampaikan siaran pembinaan Bahasa Indonesia dan seolah-olah setelah itu "terlempar" dari layar kaca satu-satunya di Indonesia saat itu?

Isu yang berkembang menyebutkan, karena dalam satu mata programnya JS Badudu mengeritik akhiran "kan" yang seharusnya diucapkan "kan", tetapi oleh orang-orang tertentu, biasanya pejabat, diucapkan "ken". "Mengatakan" menjadi "mengataken".

Pada masa itu, tidak ada pejabat yang "mengubah" akhiran "kan" menjadi "ken" selain Presiden Soeharto. Bahkan, "gaya ucapannya" ini menjadi khas dan hanya dia sendiri yang mengucapken, eh... mengucapkan. Pejabat lainnya mungkin rikuh kalau harus meniru-niru orang nomor satu di Indonesia itu.

Ketika JS Badudu "hiatus" selamanya dari layar kaca TVRI, ramailah orang berspekulasi karena Pak Harto memang menghendakinya untuk berhenti setelah sedemikian "lancang" mengeritiknya. Kritik keras dan terbuka di layar kaca, tanpa tedeng aling-aling, khas Gorontalo

Belakangan putri sulung JS Badudu, Dharmayanti Francisca Badudu, membantah rumor yang kadung tersebar luas itu bahwa apa yang dikatakan mendiang ayahnya itu tidak spesifik merujuk pada diri Pak Harto

Menurut Dharmayanti, JS Badudu selaku dosen dan pakar Bahasa Indonesia berbicara mengenai kesalahan-kesalahan umum yang sering dikatakan masyarakat luas, tidak sama sekali mengkoreksi ucapan Soeharto.

Namun demikian sejarah mencatat, "menghilangnya" JS Badudu dari TVRI usai mengkritik secara lantang penggunaan bahasa yang digunakan Presiden Soeharto kala itu. Tidak lama kemudian, ia tidak pernah nongol lagi. Faktanya memang seperti itu.

Apakah ini suatu kebetulan karena sebagaimana dikatakan putrinya tersebut bahwa alasan berhentinya di acara TVRI itu karena fokus ke tempatnya mengajar di Unpad? Juga karena alasan terlalu capek jika harus bolak-balik Bandung-Jakarta untuk pengambilan gambar secara langsung.

Pada tahun 1994 saat saya mengikuti pelatihan jurnalistik untuk menjadi wartawan di Harian Kompas, guru Bahasa Indonesia di kelas adalah JS Badudu yang sengaja didatangkan dari Bandung pada hari-hari tertentu. Saya selalu menikmati pelajarannya, khususnya mengenai "Bahasa Media" yang dibawakannya.

Jauh sebelum saya mengikuti pendidikan kewartawanan di tahun 1994 itu, saat menjadi mahasiswa saya sudah menjadi wartawan untuk sebuah mingguan yang terbit di Yogyakarta. Dalam salah satu inisiatif yang saya lakukan di tahun 1986 itu, saat saya baru menginjak tahun kedua kuliah di Fikom Unpad, saya mewawancarai JS Badudu di kediamannya di kawasan Dago atas. Tentu saja ia sudah tidak "mengajar" di TVRI saat itu, sebab ia "terpental" dari TVRI sejak 1979.

Saya tentu bertanya mengenai fakta yang sesungguhnya terjadi tentang "terpentalnya" dia dari TVRI apakah benar karena mengeritik ucapan Pak Harto yang mengucapkan akhir "kan" menjadi "ken"? JS Badudu sangat berhati-hati dalam menjawab pertanyaan itu.

"Di luar orang mengembangkan rumor seperti itu, tetapi sesungguhnya tidak demikian," katanya tanpa menjelaskan lebih lanjut. Ia lebih suka ditanya dan menjelaskan mengenai perkembangan Bahasa Indonesia di kalangan anak muda kala itu.

Demikian pula saat JS Badudu menyampaikan pelajaran Bahasa Indonesia di pelatihan jurnalistik khusus untuk menjadi wartawan Harian Kompas, saya coba mengingatkan mengenai peristiwa wawancara saya di rumahnya 8 tahun sebelumnya.

Luar biasa, JS Badudu masih mengingatnya. "Oh, kamu rupanya," katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun