Pada masa lalu, Jusuf Sjarif Badudu sangat identik dengan Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia yang ia bawakan di TVRI. Saking kuatnya "personal branding" JS Badudu sehingga namanya sukar dipisahkan dengan program keren di stasiun televisi milik pemerintah itu.
Lalu mengapa JS Badudu tiba-tiba berhenti menyampaikan siaran pembinaan Bahasa Indonesia dan seolah-olah setelah itu "terlempar" dari layar kaca satu-satunya di Indonesia saat itu?
Isu yang berkembang menyebutkan, karena dalam satu mata programnya JS Badudu mengeritik akhiran "kan" yang seharusnya diucapkan "kan", tetapi oleh orang-orang tertentu, biasanya pejabat, diucapkan "ken". "Mengatakan" menjadi "mengataken".
Pada masa itu, tidak ada pejabat yang "mengubah" akhiran "kan" menjadi "ken" selain Presiden Soeharto. Bahkan, "gaya ucapannya" ini menjadi khas dan hanya dia sendiri yang mengucapken, eh... mengucapkan. Pejabat lainnya mungkin rikuh kalau harus meniru-niru orang nomor satu di Indonesia itu.
Ketika JS Badudu "hiatus" selamanya dari layar kaca TVRI, ramailah orang berspekulasi karena Pak Harto memang menghendakinya untuk berhenti setelah sedemikian "lancang" mengeritiknya. Kritik keras dan terbuka di layar kaca, tanpa tedeng aling-aling, khas Gorontalo
Belakangan putri sulung JS Badudu, Dharmayanti Francisca Badudu, membantah rumor yang kadung tersebar luas itu bahwa apa yang dikatakan mendiang ayahnya itu tidak spesifik merujuk pada diri Pak Harto
Menurut Dharmayanti, JS Badudu selaku dosen dan pakar Bahasa Indonesia berbicara mengenai kesalahan-kesalahan umum yang sering dikatakan masyarakat luas, tidak sama sekali mengkoreksi ucapan Soeharto.
Namun demikian sejarah mencatat, "menghilangnya" JS Badudu dari TVRI usai mengkritik secara lantang penggunaan bahasa yang digunakan Presiden Soeharto kala itu. Tidak lama kemudian, ia tidak pernah nongol lagi. Faktanya memang seperti itu.
Apakah ini suatu kebetulan karena sebagaimana dikatakan putrinya tersebut bahwa alasan berhentinya di acara TVRI itu karena fokus ke tempatnya mengajar di Unpad? Juga karena alasan terlalu capek jika harus bolak-balik Bandung-Jakarta untuk pengambilan gambar secara langsung.
Pada tahun 1994 saat saya mengikuti pelatihan jurnalistik untuk menjadi wartawan di Harian Kompas, guru Bahasa Indonesia di kelas adalah JS Badudu yang sengaja didatangkan dari Bandung pada hari-hari tertentu. Saya selalu menikmati pelajarannya, khususnya mengenai "Bahasa Media" yang dibawakannya.
Jauh sebelum saya mengikuti pendidikan kewartawanan di tahun 1994 itu, saat menjadi mahasiswa saya sudah menjadi wartawan untuk sebuah mingguan yang terbit di Yogyakarta. Dalam salah satu inisiatif yang saya lakukan di tahun 1986 itu, saat saya baru menginjak tahun kedua kuliah di Fikom Unpad, saya mewawancarai JS Badudu di kediamannya di kawasan Dago atas. Tentu saja ia sudah tidak "mengajar" di TVRI saat itu, sebab ia "terpental" dari TVRI sejak 1979.