Jika sempat membaca kitab Mahabharata, Anda akan mengenal Arjuna, tokoh yang digambarkan berwajah tampan dengan “soulmate” bernama Kresna. Arjuna adalah anggota Pandawa berparas keren dan berhati lembut selembut salju. Di Indonesia, Arjuna telah menginspirasi banyak cerpenis, novelis maupun komponis.
Itu bukan isapan jempol. Yudhistira ANM Massardi pernah menulis novel “Arjuna Mencari Cinta”. Musisi Ahmad Dhani lewat grup musik Dewa19 menggubah lagu dengan judul yang sama persis. Bayangkan, para kaum pria pun terinspirasi wajah tampan sang Arjuna, menggerakkan pena mereka untuk menulis syair lagu indah maupun cerita mengharubiru.
Lantas, bagaimana ceritanya di tanah Papua bisa ada Arjuna?
Oalah.... jangan-jangan “nasib” saya juga sama dengan Yudhistira dan Ahmad Dhani, sama-sama kepincut Arjuna. Tidak. Saya terinspirasi menulis catatan ini karena ada wartawati di rombongan kami yang demikian terpana menemukan sekaligus dua Arjuna di tanah Papua!
Apakah mereka aktor atau pesinetron yang kebetulan sedang “shooting” di Papua? O bukan! Mereka adalah peneliti muda yang sedang menyelesaikan disertasinya dengan melakukan penelitian di Timika. Apakah mereka sedang meneliti pertambangan di Tembagapura milik PT Freeport Indonesia? Bukan juga! Dua Ajuna ini masing-masing calon Doktor dan seorang lagi dokter muda yang sedang melakukan penelitian tentang nyamuk malaria!
Arjuna mencari malaria, demikian saya menyebutnya.
Arjuna pertama bernama Steven Kho. Ia kuliah S1 sampai S3 di Australia, tetapi sesungguhnya dia orang Indonesia tulen meski wajahnya kebule-bulean. Saat kami temui di Pusat Penelitian Malaria yang merupakan bagian dari Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika, saya sempat terkecoh atas kefasihannya berbahasa Indonesia. “Kamu fasih sekali berbahasa Indonesia, jangan-jangan sudah lupa dengan bahasa Inggrismu,” kata saya. Jawaban yang saya terima cukup menampar saya, “Lha, saya memang orang Indonesia, Pak!”
Steven beribukan perempuan Inggris yang sudah menjadi WNI dengan ayah berdarah Kalimantan.
Tetapi dari peristiwa inilah cerita mengalir saat kami, sejumlah wartawan dari media arus utama dan penulis Kompasiana berkunjung ke Pusat Penelitian Malaria, sebuah lembaga penelitian khusus untuk penyakit malaria yang merupakan penyakit “khas” Papua. Pusat penelitian ini didirikan bersama pemerintah, PT FI, dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Komoro (LPMAK).
Amungme dan Kamoro adalah dua nama suku yang berada dekat dengan pusat penambangan Tembagapura di Kabupaten Mimika yang menjadi binaan utama PT FI, bersama lima suku lainnya; Nduga, Damal, Dani, Moni, dan Ekari.