Mohon tunggu...
Septi Rusdiyana
Septi Rusdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - Admin Project

Ada secuil kangen mengusik dan memaksa memutar kembali memori tentang indahnya bercinta dalam cerita....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Sipu di Kopi Pagi

20 Januari 2017   21:56 Diperbarui: 21 Januari 2017   19:41 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: berikopi.blogspot.co.id"][/caption]

'Kalau bukan sama kamu, siapa coba yang mau berbagi kopi setiap pagi, Lin?’ Bertha merobek Coffeemix dan memasukkan separuh isi ke cangkirnya lalu memasukkan separuh sisanya lagi ke cangkir yang lain. Aku mencoba mengambil alih untuk menyelesaikan tapi ia menampik. Tangan dengan bekas luka bakar yang masih basah itu gesit menuangkan air panas dari dispenser ke dalam cangkir yang satu dan satunya lagi, lalu tangan kirinya meraih dua sendok kecil dan mencelupkannya ke masing-masing. Satu cangkir disodorkannya padaku.

‘Thanks’ aku menerimanya dan mengaduk pelan sebelum akhirnya menyeruputnya sedikit. ‘Aah, nikmatnya’ lanjutku.

‘Ih, tidak takut gigi rontok masih panas begitu?’

‘Loh, sensasi minum kopi itu ada pada seruputan pertama paska diseduh. Kalau harus menunggu sampai dingin sudah kw sensasinya’

‘Halah, sensasi opo?’

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Aku dan Bertha sibuk menikmati kopi dengan rangkaian pikiran kami masing-masing. Ngopi kali ini memang sedikit beda dari biasanya.

‘Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?’ pertanyaan Bertha memecah keheningan. Aku hanya menjawab dengan anggukan dan senyuman kecil. ‘Lintang, saya tidak tahu apakah ada alasan lebih spesifik dari sekedar ingin mengurus Kalyna di rumah. Tapi ingat baik-baik ya, suatu saat kalau kamu akhirnya kangen kerja lagi tapi tidak juga mendapat pekerjaan....’ Bertha sengaja tidak meneruskan kalimatnya dan menatapku serius.

Aku membalas tatapannya dengan sok memasang wajah ingin tahu. ‘Apa, Mak?’

‘Jangan mencari saya dan minta kerja lagi disini.’ Lanjut Bertha sambil memasang muka sewot.’ Enak saja sudah keluar minta balik lagi. Memangnya perusahaan Bapak kamu.’

‘Ha..ha..ha, jahat kamu, Mak.’

‘Memang iya. Baru sadar kamu. Selama ini kemana saja?’

‘Eh, siapa coba sekarang yang mau diajak ngopi pagi-pagi? Sharing pula satu bungkus berdua.’

‘Justru itu, pengeluaran kantor akan lebih hemat. Biasanya kita habiskan satu bungkus per hari. Kalau kamu sudah tidak disini, satu bungkus kan bisa untuk dua pagi.’

‘Amit-amit ah, jadi bos perhitungan banget sih.’

Tiba-tiba ponsel Bertha berdering. ‘Ayo kerja! Kamu masih punya sebelas bulan kedepan ya disini.’ Bertha menenggak habis kopinya sambil merogoh ponsel di saku celananya. Ia menjawab panggilan tersebut sambil menggeloyor pergi.

Aku kembali ke meja dengan membawa secangkir kopi yang belum habis. Suasana kantor sepi, hanya ada aku, Bertha (red-bosku), serta Mia, sekretaris Bertha. Yang lain sedang ada tugas di lapangan. Maklum, kantorku bergerak di bidang riset dan penelitian sehingga lebih banyak staf yang mendapat tugas di luar kantor.

Aku duduk di depan laptopku yang menyala. Tidak ada email masuk. Aku masih enggan mengerjakan beberapa surat dan kontrak kerjasama yang harus segera diselesaikan. Masih jam delapan batinku, bolehlah menunda barang tiga puluh menit lagi.

Aku menyeruput kopiku. Kesal, dongkol tapi juga lega akhirnya Bertha mengijinkanku resign meski dengan syarat. Padahal aku berharap bisa sesegera mungkin hengkang, tapi apa daya masih ada satu projek kupegang sedang berjalan dan baru selesai di akhir tahun ini.

Sebenarnya bukan hal yang mudah untuk mengambil keputusan keluar dari kantor yang baru tiga tahun kujalani. Berat pasti iya, karena aku akan kehilangan penghasilan rutin bulanan sambil tetap harus membayar cicilan yang besarannya hampir dua per tiga gajiku, sampai dua puluh tiga bulan ke depan. Tapi keputusan ini bukan sekedar emosi sesaat. Sudah sejak enam bulan lalu kurenungkan. Bahkan sempat berdebat dengan suami dengan berbagai argumen kami masing-masing. Huft...semoga Tuhan melapangkan rejeki dan mengangkat suamiku sehingga tidak akan merubah apapun di rumah meski aku tidak lagi bekerja.

Aku iseng membuka-buka ponselku sambil membaca beberapa pesan whatsapp yang belum sempat terbalas. Ada satu pesan dari teman facebook yang sudah lama sekali lost contact. Ia mengirim sebuah link dan aku mengklik-nya. Rupanya tautan itu membawaku membaca blog miliknya. Ia bercerita tentang betapa indahnya destinasi pantai di Sabang. Menarik. Apapun topiknya aku akan selalu tertarik membacanya karena ialah penulisnya. Sama rasanya seperti mendengar Arman Maulana bernyanyi, apapun lagunya.

Satu demi satu judul kubaca sampai akhir. Meski tidak semua mampu kupahami, karena aku bukanlah ia. Gaya tulisannya yang liar dan mengalir namun tetap memberikan sumber informasi pendukung membuatku serasa menjadi abdi dalem yang sedang didongengi Sultan tentang sejarah berdirinya keraton Yogyakarta.

Hanya ada dua puisi yang kutemukan. Setidaknya dunia fiksi lebih mudah masuk ke otakku.

Gleg. Aku terpaku. Jantungku tetiba berdetak begitu kencang saat aku menemukan satu judul puisi yang tidak akan pernah asing di mataku. Jangankan hilang dari memori, bahkan raga pun tak bisa dibohongi. Hatiku berdesir. Perih. Ngilu rasanya. Semakin kubaca kata per katanya semakin menusuk. Sesak. Kepalaku sakit. Sendi-sendiku serasa terlepas. Salah tingkah seperti adik kelas yang jatuh cinta pada kakak kelas ganteng yang tidak pernah marah saat ospek. Aneh memang. Aku bahkan tidak menemukan gambaran yang pas untuk menceritakan seperti apa rasanya.

Selama beberapa detik aku terbius dengan aroma lawas yang membawaku kembali pada cerita sepuluh tahun lalu. Saat dimana duniaku sudah cukup hanya dengan ada dirinya saja. Ia adalah kawan. Ia adalah sahabat. Ia adalah abang. Ia adalah kekasih. Ia adalah ayah. Dan ia adalah bos. Setiap hari tak pernah gersang. Setiap malam tak pernah sunyi. Entah apa saja yang dulu kita saling ceritakan, tapi rasa-rasanya tak pernah ada satu haripun terlewat tanpa pesan. Indah sekali. Namun aroma lawas itu berangsur-angsur menghilang. Membawaku kembali ke dunia nyata saat sampai di baris terakhir dan terpatri angka 15052014.

Aku tersenyum. Ganjil dengan apa yang baru saja terjadi. Langsung kupukul kepalaku sendiri. Bego,batinku. Ini gila. Aku benar-benar sudah tak waras. Aku hanya bisa tersenyum malu. Sempat sangat percaya diri bahwa puisi itu hanya untukku. Aku lupa, bahwa bagi sebagian orang waktu bisa mengikis rasa. Aku juga lupa, bahwa seorang bintang tidak akan pernah tahu bagaimana menjadi penggemarnya. Tak lagi boleh cemburu, saat bintang yang dipuja merespon dengan cara yang sama terhadap penggemar-penggemarnya yang lain. Dan tak lagi boleh kecewa, saat bintang yang disuka memberikan ‘barang’ yang sama untuk penggemar-penggemarnya yang lain.

Aku meraih cangkir dari atas meja. Menyeruput kopi yang ternyata sudah dingin. Menjadi sama dinginnya dengan rasaku.

‘Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing’ line teleponku berdering. Kembali menyadarkan otak dan tubuhku bahwa sekarang aku masih di kantor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun