Mohon tunggu...
Septi Rusdiyana
Septi Rusdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - Admin Project

Ada secuil kangen mengusik dan memaksa memutar kembali memori tentang indahnya bercinta dalam cerita....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Sipu di Kopi Pagi

20 Januari 2017   21:56 Diperbarui: 21 Januari 2017   19:41 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya ada dua puisi yang kutemukan. Setidaknya dunia fiksi lebih mudah masuk ke otakku.

Gleg. Aku terpaku. Jantungku tetiba berdetak begitu kencang saat aku menemukan satu judul puisi yang tidak akan pernah asing di mataku. Jangankan hilang dari memori, bahkan raga pun tak bisa dibohongi. Hatiku berdesir. Perih. Ngilu rasanya. Semakin kubaca kata per katanya semakin menusuk. Sesak. Kepalaku sakit. Sendi-sendiku serasa terlepas. Salah tingkah seperti adik kelas yang jatuh cinta pada kakak kelas ganteng yang tidak pernah marah saat ospek. Aneh memang. Aku bahkan tidak menemukan gambaran yang pas untuk menceritakan seperti apa rasanya.

Selama beberapa detik aku terbius dengan aroma lawas yang membawaku kembali pada cerita sepuluh tahun lalu. Saat dimana duniaku sudah cukup hanya dengan ada dirinya saja. Ia adalah kawan. Ia adalah sahabat. Ia adalah abang. Ia adalah kekasih. Ia adalah ayah. Dan ia adalah bos. Setiap hari tak pernah gersang. Setiap malam tak pernah sunyi. Entah apa saja yang dulu kita saling ceritakan, tapi rasa-rasanya tak pernah ada satu haripun terlewat tanpa pesan. Indah sekali. Namun aroma lawas itu berangsur-angsur menghilang. Membawaku kembali ke dunia nyata saat sampai di baris terakhir dan terpatri angka 15052014.

Aku tersenyum. Ganjil dengan apa yang baru saja terjadi. Langsung kupukul kepalaku sendiri. Bego,batinku. Ini gila. Aku benar-benar sudah tak waras. Aku hanya bisa tersenyum malu. Sempat sangat percaya diri bahwa puisi itu hanya untukku. Aku lupa, bahwa bagi sebagian orang waktu bisa mengikis rasa. Aku juga lupa, bahwa seorang bintang tidak akan pernah tahu bagaimana menjadi penggemarnya. Tak lagi boleh cemburu, saat bintang yang dipuja merespon dengan cara yang sama terhadap penggemar-penggemarnya yang lain. Dan tak lagi boleh kecewa, saat bintang yang disuka memberikan ‘barang’ yang sama untuk penggemar-penggemarnya yang lain.

Aku meraih cangkir dari atas meja. Menyeruput kopi yang ternyata sudah dingin. Menjadi sama dinginnya dengan rasaku.

‘Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing’ line teleponku berdering. Kembali menyadarkan otak dan tubuhku bahwa sekarang aku masih di kantor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun