Mohon tunggu...
Peny Wahyuni Indrastuti
Peny Wahyuni Indrastuti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu Rumah Tangga yang berjuang melawan lupa

Ada kalanya, hati menunjukkan sisi terang. Ada kalanya pula bersembunyi pada sisi gelap. Hanya mantra kata yang bisa membuatnya bicara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah Ibu

21 Desember 2020   13:50 Diperbarui: 22 Desember 2020   22:30 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ke dua puluh dua bulan Desember, selalu jadi hari istimewa untuk semua orang yang pasti pernah menjadi anak.

Hari untuk mengenang ibunya. Hari Ibu.

Ibu yang dalam keseharian sudah menjadi 'sega jangan' (nasi sayur) kata orang Jawa, tidak ada istimewa-istimewanya, pada hari ini menjadi pusat perhatian. Sehari para ibu dimanjakan, dipuja dalam kenangan lewat tulisan dan ucapan-ucapan selamat.

Sebenarnya tak ada tendensi apa pun saat aku menulis ini.

Semuanya berawal dari sebuah cermin usang kecil yang tergantung di sebelah tempat tidurku. Kubilang usang sebab piguranya penuh tambalan isolasi, retak di sana sini.

Bergulingan di kasur sungguh melegakan punggung dan pinggang yang terasa kaku. Terhenti guling-gulingku karena cermin tak sengaja tersentuh kakiku. Kupungut. Aku melihat ke dalam cermin. Hah?! 

Terlihat wajah yang sangat kukenal. Wajah ibu.

Senyum tipis sekali, cenderung sekadar mengangkat ujung bibir. Sorot matanya penuh kesedihan meski tak setitik pun ada butir embun di pelupuknya. Anak rambut yang halus, merebak kelabu bak kembang jambu di sana sini. Wajah polos, tanpa rias wajah.

Potongan wajah itu membuatku terpana. Mengaduk sudut hati pada terenyuh dan tanya.

Gerangan kesedihan apa yang menjadi beban hatinya sehingga terpancar jelas di wajahnya?

Ibuku, perempuan tangguh yang tak pernah kulihat merasa merasa berat dengan beban hidupnya. Dengan enam orang anak dan suami pegawai swasta sederhana, tak pernah mengeluh dalam hidup berumah tangga dengan bapakku.

Ketika bapakku kena PHK dari tempat kerjanya, ibu mengambil alih tanggung jawab dalam hal keuangan.

Anak-anak tinggal aku seorang yang masih harus ditanggung biaya sekolahnya. Kakak-kakakku sudah mandiri berumah tangga.

Ada garasi di samping rumah, ruangan disulap jadi warung sederhana.

Tangannya dengan cekatan menggenggam ulekan, membuat bumbu rujak cingur di atas cobek besar. 

Pagi-pagi buta sudah membuat sawut, jajanan pasar berbahan singkong, untuk kemudian dititipkan di warung-warung. Siang sampai sore berjualan rujak cingur. 

Kadang malam hari membuat pastri kalau ada pesanan. Untuk membuat pastri ini, bapak adalah pasangan handal mengoven kue. Keahlian yang didapat dari pengalamannya mengoven tembakau. Oh, ya, bapakku sebelum PHK berkerja di perusahaan tembakau.

Malam hari ibuku tidur paling larut karena harus menyiapkan segala sesuatunya untuk esok pagi. Nyaris tak ada kesempatan bagi ibuku untuk terlarut dalam kesedihan.

Tapi mengapa wajah dalam cermin itu begitu penuh kesedihan?

Kutatap berkali-kali wajah dalam cermin itu. Tetap kulihat wajah ibuku.

Kuamati lebih dalam. Oh?!

Wajah muram bergeming kesedihan.

Bibir komat kamit seolah berkisah tentang mengarungi lautan hati penuh guncangan ombak air mata. 

Terlihat matanya terpejam seolah meminta. Ya, meminta agar tangguh dan lelap dalam keikhlasan. Mengikhlaskan semua sebab lara hati. Ingin agar senyum tipis berubah menjadi tawa berderai.

Berkali kuusap mataku. 

Sesaat mataku memburam, lalu terang, dan masih kulihat wajah ibuku.

Kutepuk jidatku. Masyaallah!

Itu adalah wajahku, yang memang mirip sekali dengan wajah ibu.

...

*Rumah Sunduk Sate, 21 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun