Ketika bapakku kena PHK dari tempat kerjanya, ibu mengambil alih tanggung jawab dalam hal keuangan.
Anak-anak tinggal aku seorang yang masih harus ditanggung biaya sekolahnya. Kakak-kakakku sudah mandiri berumah tangga.
Ada garasi di samping rumah, ruangan disulap jadi warung sederhana.
Tangannya dengan cekatan menggenggam ulekan, membuat bumbu rujak cingur di atas cobek besar.Â
Pagi-pagi buta sudah membuat sawut, jajanan pasar berbahan singkong, untuk kemudian dititipkan di warung-warung. Siang sampai sore berjualan rujak cingur.Â
Kadang malam hari membuat pastri kalau ada pesanan. Untuk membuat pastri ini, bapak adalah pasangan handal mengoven kue. Keahlian yang didapat dari pengalamannya mengoven tembakau. Oh, ya, bapakku sebelum PHK berkerja di perusahaan tembakau.
Malam hari ibuku tidur paling larut karena harus menyiapkan segala sesuatunya untuk esok pagi. Nyaris tak ada kesempatan bagi ibuku untuk terlarut dalam kesedihan.
Tapi mengapa wajah dalam cermin itu begitu penuh kesedihan?
Kutatap berkali-kali wajah dalam cermin itu. Tetap kulihat wajah ibuku.
Kuamati lebih dalam. Oh?!
Wajah muram bergeming kesedihan.