Maimun hanya diam.
"Kartini mengangkat derajat kaum perempuan kala itu dengan pendidikan dan berbagai ilmu pengetahuan," lanjutnya.
"Perempuan dulu yang pemikirannya cenderung tertutup, akhirnya berubah, wawasan mereka meluas hingga turut membangun kemajuan bangsa ini."
Maimun masih terkesima dan terus tertarik ke dalam cerita yang disampaikan gurunya itu.
"Perempuan adalah gerbang pertama yang menciptakan generasi baru, bukankah kalian lahir dari rahim seorang ibu?" Kini Pak Guru menyapu wajah-wajah muridnya itu.
"Dan seorang ibulah yang terlibat banyak dalam membesarkan dan mendidik kalian,"
"Dibalik kesuksesan seorang anak ada ibu yang hebat, bukan hanya sekedar hebat membesarkan kalian dengan makanan tetapi jauh dari itu membuat kalian tumbuh menjadi seorang yang tangguh dan memilki impian besar dengan pendidikan."
Bel istirahat berbunyi. Semua murid meninggalkan kelas, hanya menyisakan Maimun dan Sarmin tentunya. Entah kenapa Maimun tak mau beranjak dari bangkunya. Pak Faizal melihat Maimun yang murung dan menghampirinya.
Maimun menceritakan semua dilema yang ia rasakan. Antara mewujudkan impiannya untuk terus sekolah atau kemauan orang tuanya yang menginginkan Maimun menikah saja. Dan sepertinya, menikah lebih aman baginya. Walau dalam batinnya seperti ada batu besar mengganjal.
Pak Faizal memahami itu semua. Dari awal kondisi ia datang kesekolah ini sudah melihat fenomena itu. Bagaimana tidak, baru satu minggu saja dia mengajar. Ada satu siswi yang tiga hari berturut-turut tidak masuk, dan keesokkannya dapat kabar kalau sudah menikah.
Di desa ini, menikah seperti mencarikan rumput untuk makan hewan peliharaan saja, terlalu mudah dan sesederhana itu. Laki-lakinya cukup bekerja nakok kebun karet, lalu punya uang beberapa rupiah saja, berasan pada calon mertua, undang tetangga sekitar makan-makan dan selesai, semudah itu.