Mohon tunggu...
Fajar Kustiawan
Fajar Kustiawan Mohon Tunggu... -

Seorang Pemerhati Sosial, Penggali Rahasia Kehidupan, Penikmat Seni, Pengempul Aksara dan Penghibur Duka yang selalu berusaha ceria agar menjadi insan yang berarti bagi makhluk lainnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Maimun dan Seragam SMA

11 Mei 2016   07:26 Diperbarui: 11 Mei 2016   07:32 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit sore kuning kemerah-merahan bergumul dengan awan gelap. Dibawahnya sampan penuh ikan melaju pelan mengikuti aliran sungai. Diseberang, Maimun duduk diatas jembatan, sambil melempar satu demi satu kelopak bunga dalam genggaman tangannya.

Sepertinya gadis kecil itu sedang memikul beban masalah yang begitu berat. Mukanya yang hitam manis itu kini dihiasi banyak kerutan. Tak sebanding dengan usianya yang masih disebut anak SMP.

Maimun melamun dalam, lebih dalam dari sungai yang dipandanginya. Sesekali ia mendongak keatas, entah untuk sekedar melihat langit atau ingin menanyakan sesuatu kepada Tuhan. Diusianya yang bisa dikatakan belia, dia harus segera mengambil keputusan besar. Iya, melanjutkan sekolah atau menikah.

Di desanya, pernikahan dini yang orang kota sering bicarakan sudah sangat lumrah. Bahkan Jamilah, teman SDnya dulu, begitu selesai dari kelas 6 SD, langsung menikah. Dengan suami yang juga sekitaran usianya. Sekarang mereka sudah punya tiga orang anak.

Di desanya, kalau bertemu dengan gadis muda yang sedang mengasuh seorang anak, bisa dipastikan itu adalah anaknya bukan adiknya. Bahkan banyak juga wanita yang nampaknya masih muda belia tapi sudah janda berkali-kali. Bagi warga di desa itu, suatu kebanggan bila anak wanitanya berkali-kali menikah, makin sering maka dianggap makin cantik dan hebat. Namun, tidak bagi Maimun.

Di dalam hati yang terdalam, sebenarnya ia ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi, masalah ekonomi orang tuanya, nasib dua orang adiknya yang masih kecil-kecil--belum bersekolah. Bagi orang tua Maimun, nasi buat makan jauh lebih penting dari pendidikan. Menyambung hidup jauh lebih berharga dibanding menyambung sekolah.

"Sudahlah Mun, kamu kawin saja!" ujar Emak Maimun.

"Tidak ada gunanya kamu lanjut sekolah, sampai SMP saja sudah cukup" lanjut Emak.

Maimun sebenarnya manut dan menyadari keadaan itu semua. Tapi, sejak Pak Faizal guru muda yang mengajar dan memotivasinya saban hari, mengubah semua pemikiran Maimun. Cara pandangnya tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan jauh lebih luas.

***

Pak Faizal adalah sosok guru muda yang baru lulus Sarjana Pendidikan di salah satu universitas terbaik di kota. Ia baru enam bulan mengajar di SMP tempat Maimun mengenyam bangku sekolah. Pak Faizal juga bisa disebut seorang motivator, dengan perawakan putih bersih, badannya tinggi, beralis tebal dan memiliki senyum pipi yang menawan.

"Pak Faizal orangnya humoris, seru kalau ngobrol dan bermain dengannya," ujar Udin salah satu murid yang sering bercanda dengannya. Dengan kepiawaiannya berbicara, Pak Faizal menjelma sebagai seorang guru yang memiliki daya tarik. Bagai magnet yang menarik serbuk besi.

Pak Faizal pernah memotivasi seorang murid laki-laki yang semulanya penakut menjadi pemberani. Sebut saja namanya Sarmin, sebelumnya dia anak yang paling takut sama anjing, sedangkan teman-temannya yang lain terbiasa bermain-main dengan anjing untuk ke hutan, berburu dan lainnya. Sarmin, begitu terdengar longlongan anjing saja, badannya langsung lemas dan berkeringat dingin. Tubuhnya bisa-bisa mendadak menggigil.

Disuatu siang, saat semua murid istirahat diluar, Sarmin yang menyendiri di dalam kelas, tiba-tiba di datangi seekor anjing gila. Moncongnya tegas, mulutnya penuh buih, matanya menghujam, seolah mengincar santapan lezat. Di waktu bersamaan, Pak Faizal masuk ke kelas, melihat Sarmin terpojok, Pak Faizal berusaha mengalihkan perhatian si anjing. Namun, si anjing tak terpengaruh. Sarmin masih bertekuk dan sembunyi di balik bangku. Kini jarak si pemangsa buas itu dengan bangku Sarmin hanya satu hasta.

"Ayo Min, kamu bisa, lemparkan bangkumu pada anjing itu, lalu bergegas lari keluar pintu!" Pak Faizal menyemangati.

Sarmin masih tak banyak gerak, kakinya gemetaran, keringat di keningnya banjir sekali.

"Min, kalahkan takutmu, dia hanya binatang biasa yang tak punya otak, sedangkan kamu bisa memukulnya dengan bangku itu!"

Kini, si anjing beralih menatap Pak Faizal.

"Braaak....!!! Kaiiiiing....!!!" Pukulan keras Sarmin mengenai kepala si anjing yang langsung lunglai tersungkur ke lantai.

Sarmin berlari mendekati Pak Faizal, lalu dipeluknya dan mereka keluar bersamaan.

***

 "Kamu tahu kisah Ibu Kartini?" Tanya Pak Faizal pada Maimun.

Maimun hanya diam.

"Kartini mengangkat derajat kaum perempuan kala itu dengan pendidikan dan berbagai ilmu pengetahuan," lanjutnya.

"Perempuan dulu yang pemikirannya cenderung tertutup, akhirnya berubah, wawasan mereka meluas hingga turut membangun kemajuan bangsa ini."

Maimun masih terkesima dan terus tertarik ke dalam cerita yang disampaikan gurunya itu.

"Perempuan adalah gerbang pertama yang menciptakan generasi baru, bukankah kalian lahir dari rahim seorang ibu?" Kini Pak Guru menyapu wajah-wajah muridnya itu.

"Dan seorang ibulah yang terlibat banyak dalam membesarkan dan mendidik kalian,"

"Dibalik kesuksesan seorang anak ada ibu yang hebat, bukan hanya sekedar hebat membesarkan kalian dengan makanan tetapi jauh dari itu membuat kalian tumbuh menjadi seorang yang tangguh dan memilki impian besar dengan pendidikan."

Bel istirahat berbunyi. Semua murid meninggalkan kelas, hanya menyisakan Maimun dan Sarmin tentunya. Entah kenapa Maimun tak mau beranjak dari bangkunya. Pak Faizal melihat Maimun yang murung dan menghampirinya.

Maimun menceritakan semua dilema yang ia rasakan. Antara mewujudkan impiannya untuk terus sekolah atau kemauan orang tuanya yang menginginkan Maimun menikah saja. Dan sepertinya, menikah lebih aman baginya. Walau dalam batinnya seperti ada batu besar mengganjal.

Pak Faizal memahami itu semua. Dari awal kondisi ia datang kesekolah ini sudah melihat fenomena itu. Bagaimana tidak, baru satu minggu saja dia mengajar. Ada satu siswi yang tiga hari berturut-turut tidak masuk, dan keesokkannya dapat kabar kalau sudah menikah.

Di desa ini, menikah seperti mencarikan rumput untuk makan hewan peliharaan saja, terlalu mudah dan sesederhana itu. Laki-lakinya cukup bekerja nakok kebun karet, lalu punya uang beberapa rupiah saja, berasan pada calon mertua, undang tetangga sekitar makan-makan dan selesai, semudah itu.

Pak Faizal terus berusaha membangkitkan semangat Maimun untuk pantang menyerah berusaha sekuat mungkin agar mau melanjutkan pendidikan ke SMA. Walau berat dan penuh rintangan sekalipun. Bagaimana tidak, di desa Maimun sekolah hanya ada sampai tingkat SMP, untuk melanjutkan ke SMA harus menempuh jarak yang sangatlah jauh, lebih dekat ke kota.

Maimun sudah berbicara langsung mengutarakan niatnya melanjutkan sekolah, namun orang tuanya tetap menolak mati-matian untuk tidak melanjutkan dan menikah saja. Maimun hanya bisa menangis. Angin malam jadi saksi suasana itu, juga turut serta menghapus linangan air mata Maimun.

Bahkan Pak Faizal sudah mendatangi orang tuanya Maimun, bicara dari hati ke hati agar memperkenankan anaknya melanjutkan impian besarnya. Namun tak merubah sedikitpun keputusan mereka.

Sudah keberapa kalinya Pak Faizal membujuk orang tua Maimun. Dia bawakan roti cokelat dari kota buat keluarga itu, berharap kiranya terbuka hati dan pikiran mereka lantas mengizinkan Maimun melanjutkan SMA. Tetap yang keluar dari lisan orang tuanya "Tak ada gunanya" atau "Percuma saja, sama saja, ngerepotin saja...bla...bla..."

***

Akhirnya hari pengumuman kenaikkan kelas telah tiba. Maimun lulus dengan nilai terbaik di sekolah itu. Tapi tetap bukanlah kebanggaan bagi orang tuanya, prestasi terbaik itu tetap menikah bagi mereka.

Maimun menghilang. Orang tua dan warga sudah berusaha mencari kemana-mana tapi tetap tak ditemukan. Seperti debu disapu angin, Maimun tiba-tiba saja lenyap seketika. Tak ada jejak dan tak ada pesan sama sekali yang ditinggalkan.

Prabumulih, 11 Mei 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun