Padahal, yang lebih baik adalah semangat untuk menjadi yang terbaik (semangat berjuang menjadi yang terbaik). Tanpa harus punya karakter untuk mengalahkan pihak lain. Kata Sun Tzu, menang tanpa mengalahkan. Itulah esensinya. Kita berjuang saja yang terbaik. Hasilnya bukan menjadi ukuran.
Dalam konflik PSSI vs Menpora, terlihat sekali semangat saling mengalahkan. Menang vs menang. Saya tidak melihat salah satu pihak berjuang keras menjadi yang terbaik, tanpa mengalahkan yang lain. Apalagi semangat kolaborasi. Tak nampak sama sekali.
Di Finlandia, yang sekarang menjadi salah satu kiblat pendidikan usia 0 – 15 tahun, setiap anak diajarkan untuk selalu bekerjasama dalam menyelesaikan masalah. Hal yang masih sulit ditemukan di sekolah-sekolah Indonesia. Di negeri skandinavia itu, sampai umur 15 tahun tidak ada ujian harian atau ulangan semester. Setiap hari anak-anak selalu belajar membuat sesuatu dan menyelesaikan masalah. Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari kita memang selalu dihadapkan pada masalah, dan sebagian besar masalah akan lebih cepat diselesasikan jika dilakukan secara bersama-sama.
2. Kita diajarkan untuk menjadi manusia egois.
Masih terkait dengan point pertama. Karena semangat berkompetisi tersebut maka setiap anak (termasuk saya dulu) selalu melihat diri sendiri sebagai aku. Aku bisa melakukan ini dan itu. Tanpa terlalu banyak melibatkan orang lain. Jadilah kita sebagai manusia paling egois. Lihat artikel saya tentang hal tersebut disini.
Dalam konteks konflik PSSI vs Menpora, terlihat sekali betapa egoisnya masing-masing pihak. Yang satu merasa benar, yang satu lagi merasa lebih benar. Padahal, masing-masing punya salah. Apalagi Menpora, yang SK-nya tentang PSSI sudah dianulir oleh PTUN, PTTUN dan Mahkamah Agung. Karena sama-sama egois, sulit bagi kita untuk berharap masalah tersebut akan selesai dengan WIN – WIN. Padahal yang rugi bukan hanya mereka, tapi banyak orang lain yang terkait industri sepakbola. Tapi karena karakter EGOIS tadi, maka “bodo amat”.
3. Sulit Mengakui kesalahan.
Salah satu karakter di negeri kita yang lumayan sulit ditemukan, apalagi di level-level atas, pemimpin, dan elit di berbagai bidang. Sama seperti kompetisi, non kolaborasi dan egois, karakter ini juga hasil dari pendidikan kita selama masa 0 – 15 tahun. Sebagian besar budaya kita cenderung mudah memaafkan, melupakan dan toleransi tinggi terhadap kesalahan, sebelum orang yang melakukan kesalahan mengakui kesalahannya. Kebiasaan tersebut mengkristal menjadi karakter kuat dalam diri kita, bahwa mengakui kesalahan adalah sebuah aib, memalukan dan tidak ada nilai kehormatannya.
Padahal, dalam agama apapun yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia, terdapat pelajaran untuk mengakui kesalahan (tobat dan sejenisnya), meminta maaf dan memberi maaf. Tapi ajaran itu hanya di bibir saja, alias omdo. Dalam praktiknya, nol besar.