Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Pendidikan Karakter dari PSSI vs Menpora

10 Maret 2016   09:29 Diperbarui: 13 Maret 2016   20:42 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mulutmu harimaumu…” Pernah dengar pepatah ini?

“Cakarmu singamu…” Kalau yang ini, apakah pernah dengar?

Pepatah pertama pasti sering kita dengar, sebagai ungkapan untuk menggambarkan betapa kuatnya pengaruh ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Intinya adalah jangan pernah abaikan perkataan Anda. Jangan pernah sembarangan berkata-kata, karena setiap kata punya makna. 

Kalau pepatah kedua?  Hehe, mungkin Anda baru mendengarnya ya. Saya modifikasi dari pepatah pertama, untuk menggambarkan bahwa setelah ucapan, maka tindakanlah yang akan menjadi ukuran selanjutnya. Apakah ucapan Anda benar-benar akan menjadi kenyataan, atau omong doang (omdo)? Tindakan menjadi pembukti terhadap setiap ucapan yang Anda keluarkan. 

Apa hubungan kedua pepatah tersebut dengan pendidikan karakter dari kasus konflik PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dengan Menpora (Menteri Pemuda dan Olahraga)? 

Banyak! Yuk kita kupas satu persatu. 

Karakter itu bukan hasil belajar instan, melainkan produksi dari kebiasaan kita sehari-hari yang berproses panjang sejak kita lahir sampai sekarang. Mendidik karakter manusia adalah hal paling sulit dilakukan, karena panjangnya durasi tersebut dan beragamnya sifat dasar manusia serta besarnya pengaruh dari lingkungan. Tak heran jika sebagian praktisi pendidikan karakter atau pegiat parenting, menyebutkan bahwa untuk mendidik karakter seorang anak, dibutuhkan keterlibatan seluruh masyarakat. Bukan hanya orangtuanya saja, atau gurunya atau tetangganya. 

Apa yang terjadi dalam negara kita dewasa ini, khususnya yang melibatkan para pemimpin dan elit-elit dapat menjadi gambaran tentang bagaimana karakter anak-anak bangsa kita. Di berbagai bidang. Kebetulan saja yang dikupas tuntas dalam artikel ini adalah konflik PSSI dengan Menpora, karena saya penggemar olahraga (khususnya sepakbola) dan sudah mengikuti perkembangan olahraga nasional sejak kelas 4 SD. Masih banyak konflik lain yang membuat dada berkerut (bukan hanya kening) terutama yang melibatkan para elit partai politik.

 

1.      Kita biasa diajarkan kompetisi bukan kolaborasi.

Sejak kecil, kita dibiasakan untuk berkompetisi (termasuk saya). Sejak SD, saya dipacu untuk selalu menjadi peringkat 1, juara kelas, bintang kelas. Saya harus mengalahkan teman-teman sekelas. Hal itu berlanjut sampai ke level SMA. Barulah pada masa kuliah, semangat kompetisi itu menurun. Menurut para ahli perkembangan anak, pendidikan karakter dasar efektif dilakukan pada usia 0 hingga 15 tahun. Semua hal yang dibiasakan pada usia tersebut, akan menjadi karakter kita ketika sudah dewasa. Semangat saling mengalahkan lumayan mendarahdaging, hehe. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun