Mohon tunggu...
Abdul Rahmat
Abdul Rahmat Mohon Tunggu... Guru - Guru

Suka dengan puisi dan novel. Menulis karena sudah jatuh cinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengoyak Luka

4 Agustus 2022   19:03 Diperbarui: 4 Agustus 2022   19:10 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala langit mulai dihias goresan cahaya jingga di arah barat. Sinar baskara yang tadinya terik menyengat, sekarang meredup tetapi tetap memberi rasa hangat. Aku kembali lagi di sini. Di tempat yang sudah memberi banyak kenangan dalam perjalanan hidupku. Di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Riuh manusia di luar terdengar jelas menemani dengan segala aktivitasnya.

Setiap ke Yogyakarta, Jalan Malioboro menjadi salah satu tempat yang wajib kudatangi. Siapapun wisatawan yang berlibur ke Kota Pelajar ini, Jalan Malioboro masih menjadi salah satu daftar tujuan wisata untuk dikunjungi. Selain populer, juga memang memiliki berbagai daya tarik yang jarang ditemukan di tempat lainnya. 

Aku bisa menikmati beragam hiburan, penggambaran kebudayaan yang kaya, bangunan-bangunan bernilai sejarah, buah tangan khas dan berbagai aktivitas wisata lainnya. Tempat ini juga menjadi bersejarah karena merupakan salah satu pusat berbagai aktivitas di masa lampau.

"Mas Rifan bohong..." terdengar suara tertahan seorang wanita.

Ia duduk di kursi kiri depan. Bersebelahan denganku yang menggenggam erat stir mobil yang terparkir di pinggir jalan. Aku menoleh ke arahnya. Dia masih melihat ke depan. Aku menatap dalam wajah perempuan yang dulu selalu menari-nari di taman hatiku. Wajah itu masih meneduhkan seperti biasanya. Namun kini, mulai ada rasa sakit saat mataku terus terpaku padanya.

"Mas Rifan bohong sama aku! Mas Rifan sebenarnya masih marah sama aku!" kini ia menoleh ke arahku. Dua pasang mata kita saling bertemu. Dulu saling memancarkan cinta, sekarang saling berbalas rasa sakit.

"Aku enggak marah sama kamu. Enggak ada yang perlu aku jadikan alasan untuk marah. Semua udah selesai," jawabku membalas tatapan sendunya.

Jantungku makin berdegup kencang. Ada sesak yang tiba-tiba menguasai dada. Ah, aku selalu saja seperti ini saat dekat dengannya! Berada beberapa sentimeter darinya membuat hatiku berdebar. Namun, aku tetap mencoba seperti tidak terjadi apa-apa. Mengatur nada suaraku agar terdengar seperti biasanya.

"Jangan bohong terus, Mas! Kamu udah berubah sekarang. Tadi di tempat pelatihan kamu seperti sengaja menghindar dari aku. Seakan-akan aku dianggap enggak ada!"

"Beneran aku enggak marah, Nana. Aku udah anggap selesai hal-hal yang dulu ada di antara kita. Kejadian lalu itu udah enggak perlu kita bahas lagi."

Aku masih saja mencoba baik-baik saja! Jujur rasa sakit dan kecewa yang dulu teramat itu masih bisa aku rasakan. Dipaksa menerima keputusan yang tidak bisa aku ajukan perihal keberatannya. Aku ingin bilang kalau yang terjadi dulu masih menyimpan trauma di hatiku. Membuat luka terperih yang tertatih-tatih aku usaha obati agar pulih. Sekarang, dia membuka kembali luka menganga itu padahal sudah aku tutup dengan jahitan air mata.

Nana pertama kali muncul di hadapanku saat kami mengikuti pelatihan kerja di Yogyakarta, tiga tahun silam. Iya, kami bekerja di bidang yang sama, pariwisata. Kami mendapat tugas yang sama, yaitu memajukan potensi wisata di kota asal kami masing-masing. Saat itu dia duduk tepat di sampingku. Pelatihan selama 3 hari itu membuat kami sepakat saling menjalin hubungan.             

Riang tawa manusia di luar tidak berhasil membawa suasana yang sama di dalam mobil. Hening menguasai kami. Nana masih menatapku. Kristal bening mulai terbendung di sudut matanya. Kian detik bulir itu makin membulat besar. Perlahan mulai ditarik gaya gravitasi bumi. Dan sekarang sudah tumpah menganak sungai di pipinya.

Ingin aku menghapus air mata itu dari mulus pipinya seperti yang dulu sering aku lakukan. Namun, tanganku seperti punya kendalinya sendiri. Seakan mengeras karena hati yang juga sudah mulai membatu akan hal-hal tentang Nana.

Jika mengingat dulu, aku dan Nana adalah sepasang hati yang meski dipisah jarak tetapi tetap memendam cinta yang mengerak. Ratusan kilometer hanya soal jarak saja, tidak pernah menjadikan masalah apalagi alasan untuk kami memilih pisah. Semua tentang dia, aku adalah ahlinya. Apa pun tentang aku, dia pasti tahu segalanya.

Dan tempat ini menjadi lokasi favoritku dan Nana berbagi afeksi. Setiap punya waktu untuk bertemu entah karena pekerjaan, libur cuti atau lainnya, Malioboro selalu jadi pilihan nomor satu. Aku paling bahagia saat menggenggam erat tangan Nana menyusuri trotoar jalan. Menikmati kuliner khas yang berhasil memanjakan lidah. Senyum manis dari lengkung bibirnya selalu bisa lebih kunikmati di sini. Kami betah menghabiskan berjam-jam hanya untuk berbagi canda dan kisah sembari duduk di kursi taman.

"Aku minta maaf Mas Rifan. Udah nyakitin dan bikin kamu kecewa," lirih Nana. Tiba-tiba ia rebahkan tubuhnya di atas dadaku. Ia memelukku erat. Mendekapku bersama penyesalan yang seakan sudah lama menyelimutinya. Nana menangis terisak.

Nana, kamu membuatku mulai goyah lagi. Dinding yang menjulang dan susah payah aku bangun di hatiku untuk mencegahmu masuk kembali, kini mulai retak. Tidak! Aku tidak boleh seperti ini! Ini adalah kesalahan! Aku bukan orang yang egois.

Perlahan, aku melepas pelukan Nana. Aku memegang kedua bahunya, mengusap pelan dengan tujuan menguatkannya. Ia mulai menyeka air matanya. Oh, Nana! Dia masih mengenakan cincin yang dulu aku berikan itu. Dan menyandingkannya dengan cincin lain di jari manisnya. Aku masih bingung dan belum sepenuhnya mengerti isi hatimu, Nana.

"Nana, yang terjadi di antara kita hanyalah kenangan yang mestinya tidak perlu kita ingat terus," ucapku mencoba membuatnya tegar.

"Tapi, Mas... Aku masih menyimpan cinta untuk kamu."

Ada rasa senang saat mendengar ucapan Nana. Seperti kembali merekahkan bunga-bunga di taman cintaku. Ucapan itu juga yang dulu sangat kupercaya tetapi justru membuatku bersahabat duka.

Bahagia kita sudah menjadi kisah yang jika diceritakan kembali selalu bermula dengan kata 'dulu'. Saat Nana tiba-tiba berdiri di depanku dan bilang akan menikah dengan seorang lelaki yang menjadi pilihan orang tuanya 6 bulan lalu, sejak itulah aku tersiksa karena luka dan kecewa.

Aku yang sebelumnya tak disinggahi firasat apa-apa, bagai ditimpa musibah mahadahsyat. Operasi bedah pun tak mampu mengobati luka hati yang tak meninggalkan luka fisik ini. Sakitnya berkali lipat dan teramat menyesakkan. Sepertinya, saat itu juga bahagia tidak boleh ada di kamus hidupku. Aku putuskan untuk berhenti mengharap bersamanya menjalani hidup.

"Jangan, Na. Hilangkan perasaan itu! Ada hati yang harus kamu jaga sekarang. Ada hati yang tidak boleh kamu lukai. Sekarang, kita coba untuk menjalani hidup masing-masing. Kisah kita sudah berakhir pisah."

"Kalau berteman masih boleh kan, Mas? Aku enggak mau hubungan kita malah seperti permusuhan."

Sukar bagiku untuk bersikap baik-baik saja saat bertemu dengan Nana. Aku tidak sekuat itu. Aku selalu rapuh saat melihatnya, dan aku akan memintanya untuk cepat-cepat siuh. Agar aku tak lebih dalam lagi terjatuh. Semakin lama tak melihatnya, lebih baik bagiku agar bisa menghilangkan Nana dari pikiranku.

"Kita sekarang hanyalah dua orang yang saling kenal dan bekerja sama jika dipertemukan dalam suatu pekerjaan. Tidak boleh ada perasaan yang lebih dari ini."

Nana diam. Ia hanya menatapku sekarang. Aku tahu tatapan itu. Namun, aku tidak boleh menggoyahkan tekadku lagi. Aku sudah memutuskan, bahwa kisahku dan Nana sudah menemui akhirnya untuk saat ini. Nana sudah menjadi milik orang lain. Tidak boleh lagi ada yang merasa sakit seperti yang aku rasakan. Cukup aku yang tersiksa karena ditinggal. Lelaki yang sudah menjadi teman hidup Nana tidak boleh merasakan hal yang sama.

"Mas Rifan tapi mau nemanin aku keliling Malioboro ya. Please. Kali ini aja. Mumpung aku masih di sini," pinta Nana. Aku mengangguk pelan.

"Setelah selesai, aku antar kamu kembali ke hotel."

Senja sudah beranjak pergi diganti oleh malam yang berhias lentera. Lampu jalan yang bentuknya antik itu menyala dan menambah kesan estetik. Kami menikmati suasana di Jalan Malioboro. Lebih tepatnya, aku mencoba menikmati.

Di malam hari tempat ini masih ramai didatangi wisatawan atau warga setempat untuk melepas penat atau menikmati rehat. Banyak orang menjadikan setiap sudut Malioboro sebagai tempat untuk berswafoto. Nana mengajakku berfoto. Dia menggandeng tanganku. Segera kulepas tangannya dan memberi isyarat penolakan. Nana paham sembari memberiku senyum tipis.

Sepanjang berjalan dengan Nana, aku tidak bisa membohongi diri untuk tidak selalu memandanginya. Takdir rasanya memang kejam untuk kisah kita berdua. Bukan  kuasaku untuk menentang apa yang sudah jadi ketentuan Sang Mahacinta. Jika memang ada jalan lagi untuk bisa menjadi pasangan Nana yang diridai Tuhan, aku pasti bersedia. Namun, aku juga tidak menutup peluang jika ada hati lain yang sudah disiapkan untukku melabuhkan diri. Sekarang, aku hanya menanti apa yang terbaik dari Pemilik Hati.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun