Nana pertama kali muncul di hadapanku saat kami mengikuti pelatihan kerja di Yogyakarta, tiga tahun silam. Iya, kami bekerja di bidang yang sama, pariwisata. Kami mendapat tugas yang sama, yaitu memajukan potensi wisata di kota asal kami masing-masing. Saat itu dia duduk tepat di sampingku. Pelatihan selama 3 hari itu membuat kami sepakat saling menjalin hubungan. Â Â Â Â Â Â Â
Riang tawa manusia di luar tidak berhasil membawa suasana yang sama di dalam mobil. Hening menguasai kami. Nana masih menatapku. Kristal bening mulai terbendung di sudut matanya. Kian detik bulir itu makin membulat besar. Perlahan mulai ditarik gaya gravitasi bumi. Dan sekarang sudah tumpah menganak sungai di pipinya.
Ingin aku menghapus air mata itu dari mulus pipinya seperti yang dulu sering aku lakukan. Namun, tanganku seperti punya kendalinya sendiri. Seakan mengeras karena hati yang juga sudah mulai membatu akan hal-hal tentang Nana.
Jika mengingat dulu, aku dan Nana adalah sepasang hati yang meski dipisah jarak tetapi tetap memendam cinta yang mengerak. Ratusan kilometer hanya soal jarak saja, tidak pernah menjadikan masalah apalagi alasan untuk kami memilih pisah. Semua tentang dia, aku adalah ahlinya. Apa pun tentang aku, dia pasti tahu segalanya.
Dan tempat ini menjadi lokasi favoritku dan Nana berbagi afeksi. Setiap punya waktu untuk bertemu entah karena pekerjaan, libur cuti atau lainnya, Malioboro selalu jadi pilihan nomor satu. Aku paling bahagia saat menggenggam erat tangan Nana menyusuri trotoar jalan. Menikmati kuliner khas yang berhasil memanjakan lidah. Senyum manis dari lengkung bibirnya selalu bisa lebih kunikmati di sini. Kami betah menghabiskan berjam-jam hanya untuk berbagi canda dan kisah sembari duduk di kursi taman.
"Aku minta maaf Mas Rifan. Udah nyakitin dan bikin kamu kecewa," lirih Nana. Tiba-tiba ia rebahkan tubuhnya di atas dadaku. Ia memelukku erat. Mendekapku bersama penyesalan yang seakan sudah lama menyelimutinya. Nana menangis terisak.
Nana, kamu membuatku mulai goyah lagi. Dinding yang menjulang dan susah payah aku bangun di hatiku untuk mencegahmu masuk kembali, kini mulai retak. Tidak! Aku tidak boleh seperti ini! Ini adalah kesalahan! Aku bukan orang yang egois.
Perlahan, aku melepas pelukan Nana. Aku memegang kedua bahunya, mengusap pelan dengan tujuan menguatkannya. Ia mulai menyeka air matanya. Oh, Nana! Dia masih mengenakan cincin yang dulu aku berikan itu. Dan menyandingkannya dengan cincin lain di jari manisnya. Aku masih bingung dan belum sepenuhnya mengerti isi hatimu, Nana.
"Nana, yang terjadi di antara kita hanyalah kenangan yang mestinya tidak perlu kita ingat terus," ucapku mencoba membuatnya tegar.
"Tapi, Mas... Aku masih menyimpan cinta untuk kamu."
Ada rasa senang saat mendengar ucapan Nana. Seperti kembali merekahkan bunga-bunga di taman cintaku. Ucapan itu juga yang dulu sangat kupercaya tetapi justru membuatku bersahabat duka.