Mohon tunggu...
Pensil Kajoe
Pensil Kajoe Mohon Tunggu... Penulis - Kolumnis Basa Banyumasan di Majalah Djaka Lodang, Yogyakarta

Seorang Murid

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan dalam Lukisan

15 Maret 2018   11:53 Diperbarui: 15 Maret 2018   12:19 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sesosok perempuan cantik keluar dari lukisan yang baru kubeli di taman kota. Ia menatapku tajam.

"Siapa kau?" tanyaku

"Aku perempuanmu,"

"Ah bullshit!! Kau jangan mengada-ada,"

"Aku tak pernah mengada-ada. Aku serius. Sudah ditakdirkan aku jadi milikmu sekarang. Bukankah kau telah membayarku dari laki-laki tua yang kau temui,"

"Iya memang. Tapi aku membeli lukisan bukan membeli seorang perempuan," aku berusaha membela diri.

"Lukisan atau bukan, yang jelas aku sudah menjadi milikmu. Aku ingin mengabdikan diri padamu, seutuhnya. Bila perlu dengan tubuhku," ucapan perempuan itu membuatku panas dingin.

Tanpa kuduga dia melangkah mendekat dan cupp satu kecupan mendarat di bibirku. Secara reflek kudorong tubuhnya hingga dia hampir terjungkal ke belakang.

"Maaf, aku tak bermaksud kasar padamu, tapi..."

"Ah, Kau tak perlu jadi laki-laki munafik seperti itu. Menolak ciuman dari seorang lawan jenis. Aku tahu kau sebenarnya juga suka bukan?" ujar perempuan itu kecewa.

Perempuan agresif. Satu kancing bajuku terlepas, mungkin karena ditariknya tadi waktu ku mendorong tubuhnya ku bantu dia untuk bangkit dari lantai.

"Sekali lagi, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu," ucapku seraya memapahnya.

Perempuan itu duduk di sofa dekat meja kecil yang di atasnya ada sebuah tv 14 inch.

"Laki-laki bodoh! Harusnya kau manfaatkan kesempatan tadi untuk memuaskan nafsumu di tubuhku. Lalu untuk apa kau membeliku jika kau tak pernah memakaiku?"

Kubiarkan omelan-omelannya keluar dari mulutnya dengan gincu menyala mewarnai bibirnya.

Aku tak habis pikir, kenapa dia menyerangku dengan cumbuan seperti tadi? Ya, aku memang laki-laki normal tapi, aku tak akan melakukan hal konyol seperti itu

Sesaat, ruangan dalam kamarku hening. Hanya suara tarikan nafas masing-masing yang silih berganti.

"Nona, sejak awal kau datang, aku belum tahu siapa namamu dan kenapa kau tiba-tiba keluar dari lukisan itu.

Perempuan itu terdiam, seolah tak mendengarkan pertanyaanku. Matanya menyapu seisi ruangan kamarku. Apa yang dia cari? Ah sudahlah aku tak mau menebak apa yang ada dalam benaknya. Yang kuingin sekarang, aku tahu siapa dia sebenarnya.

"Namaku Hapsari. Aku berasal dari pikiran-pikiran manusia terutama dari kaummu, para laki-laki. Aku datang dalam bentuk seperti yang kau lihat sekarang. Inilah takdir yang harus kujalani. Seperti halnya Hawa ada untuk Adam. Sebab Tuhan tahu, Adam adalah seorang laki-laki normal. Tuhan juga tahu apa yang ada dalam pikirannya. Untuk itulah Tuhan menciptakan seorang perempuan untuk meredakan gejolak seorang Adam,"

Tak kusangka, perempuan yang awalnya bukan perempuan baik-baik, ternyata ucapan yang keluar dari mulutnya membuatku tercengang. Sangat logis dan memang benar argument yang dia sampaikan. Dunia, tanpa perempuan seperti notasi-notasi yang tak pernah dimainkan, sepi.

"Nona, lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Di sini hanya ada aku dan kau berdua dalam kamar?" pertanyaanku dibalasnya dengan tawa kecilnya.

"Hi hi hi... Kau benar-benar lucu Tuan. Aku rasa kau tak perlu bertanya seperti itu. Bukankah kau seorang laki-laki dewasa dan aku lukisanmu. Akulah gambaran yang selama ini mengisi pikiranmu, akulah perwujudan kedewasaanmu. Sekarang kuserahkan padamu. Apapun yang akan kau lakukan, aku pasrah. Bukankah aku pernah mengatakannya padamu. Aku telah kau beli, jadi terserah kau saja Tuan," matanya mengerling manja.

"Tidak Nona. Aku tak akan melakukan apapun padamu. Aku belum begitu mengenalmu. Lagipula aku membeli lukisan bukan membeli seorang perempuan untuk kunikmati dengan nafsuku," mendengar jawabanku perempuan yang berdiri di depanku tersenyum simpul. Ekspresi wajahnya cerah taka da lagi raut muka menggoda. Kini dia terlihat lebih anggun seperti saat masih berdiam dalam lukisan.

"Tuan, kau berbeda dengan laki-laki lain di luar sana,"

"Maksudnya?"

"Kau lebih menghargai suatu karya dengan hati bukan semata dengan nafsu. Aku kini bahagia bisa berada dalam rumahmu. Tak seperti teman-temanku lainnya, mereka hanya menjadi budak pikiran-pikiran kotor seorang laki-laki. Sekarang aku lebih nyaman tinggal dalam rumahmu, meski hanya menjadi sebuah lukisan tapi aku yakin kau akan merawat dan menjagaku dengan baik. Aku harap suatu saat nanti kita bisa bertemu dan kau memiliki diriku, bukan lagi sebagai lukisan."

Sesaat setelah bicara seperti itu perempuan itu terdiam. Kulihat lambat laun, tubuhnya menipis kulitnya berubah warna seperti sapuan cat air di atas kanvas, perempuan itu kembali menjadi lukisan cat air. Meski tak secantik Monalisanya Leonardo Da Vinci tapi dia benar-benar anggun.

 Tumiyang, 24072017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun