"Hi hi hi... Kau benar-benar lucu Tuan. Aku rasa kau tak perlu bertanya seperti itu. Bukankah kau seorang laki-laki dewasa dan aku lukisanmu. Akulah gambaran yang selama ini mengisi pikiranmu, akulah perwujudan kedewasaanmu. Sekarang kuserahkan padamu. Apapun yang akan kau lakukan, aku pasrah. Bukankah aku pernah mengatakannya padamu. Aku telah kau beli, jadi terserah kau saja Tuan," matanya mengerling manja.
"Tidak Nona. Aku tak akan melakukan apapun padamu. Aku belum begitu mengenalmu. Lagipula aku membeli lukisan bukan membeli seorang perempuan untuk kunikmati dengan nafsuku," mendengar jawabanku perempuan yang berdiri di depanku tersenyum simpul. Ekspresi wajahnya cerah taka da lagi raut muka menggoda. Kini dia terlihat lebih anggun seperti saat masih berdiam dalam lukisan.
"Tuan, kau berbeda dengan laki-laki lain di luar sana,"
"Maksudnya?"
"Kau lebih menghargai suatu karya dengan hati bukan semata dengan nafsu. Aku kini bahagia bisa berada dalam rumahmu. Tak seperti teman-temanku lainnya, mereka hanya menjadi budak pikiran-pikiran kotor seorang laki-laki. Sekarang aku lebih nyaman tinggal dalam rumahmu, meski hanya menjadi sebuah lukisan tapi aku yakin kau akan merawat dan menjagaku dengan baik. Aku harap suatu saat nanti kita bisa bertemu dan kau memiliki diriku, bukan lagi sebagai lukisan."
Sesaat setelah bicara seperti itu perempuan itu terdiam. Kulihat lambat laun, tubuhnya menipis kulitnya berubah warna seperti sapuan cat air di atas kanvas, perempuan itu kembali menjadi lukisan cat air. Meski tak secantik Monalisanya Leonardo Da Vinci tapi dia benar-benar anggun.
 Tumiyang, 24072017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H