Hari itu bulan Agustus 2015, cuaca cerah, matahari pagi menyapa dengan hangatnya. Tidak seperti agustus tahun sebelumnya yang sudah memasuki musim penghujan. Aku sedang berada di Pulau Bacan, Halmahera Selatan. Daerah asal batu bacan yang sempat menjadi primadona batu akik di Indonesia.
Pagi hari, aku sudah berada di pelabuhan perikanan. Kapal-kapal penangkap ikan mulai berlabuh satu demi satu, kuperhatikan wajah sumringah nelayan, yang aku duga hari ini ia memperoleh banyak ikan. Tak luput wajah-wajah tidak bersemangat dengan sebatang rokok diselipkan pada kuping kanannya, berjalan turun dari kapal, kuduga mereka tidak mendapatkan hasil tangkapan yang memuaskan.
Kulihat bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkumpul di tempat pelelangan ikan hasil tangkapan tadi malam. Sebuah bangunan pinggir laut, tempatnya terbuka tanpa ada satu pun jendela atau pintu, luasnya sekitar 10 x 8 m. Di tengah bangunan ada alat penimbang dan box tempat ikan diletakan. Suara riuh tawar menawar ikan pun terdengar jelas. Bapak-bapak dan ibu-ibu tersebut adalah tengkulak, orang yang membeli ikan langsung dari nelayan dan menjualnya kembali di pasar.
Tujuanku mendatangi pelabuhan perikanan bacan adalah untuk survey langsung ke nelayan. Aku ingin mendengar keluhan dan problematika manusia yang menggantungkan hidupnya di laut. Indonesia mempunyai luas 9 juta KM2 dengan luas daratan hanya 1/3 nya. 2/3 adalah lautan, sungguh negara yang makmur.
Setelah mengobrol dengan pegawai pelabuhan perikanan untuk menyampaikan maksudku, aku langsung mendatangi salah satu kapal penangkapan ikan.
Aku harus berbicara dengan sang kapten kapal, barulah setelahnya aku bisa berbicara dengan ABK (anak buah kapal). Aku naik ke kapal dari bagian samping, memang butuh sedikit perjuangan, kapal yang kunaiki tidak parkir menempel dengan dermaga.
"Assalamualaikum, permisi," ucapku kepada seorang nelayan yang tengah duduk di pinggir kapal.
"Wa’alaikumsalam," ucapnya yang sedikit keheranan melihatku. Kondisi kapal saat itu sedang sepi, ABK sedang ke daratan mengurusi perbekalan untuk pelayaran berikutnya.
"Saya Anta pak, mahasiswa dari Bandung, kalau Kapten kapalnya ada pak?" Tanyaku dengan sopan.
"Saya," jawabnya dengan nada halus dan berbicara sambil sedikit menunduk. Bapak ini mengenakan kaos partai, celana pendek, berbadan tegap, kulitnya sawo matang, namun berwajah dingin, dari awal kutemui wajahnya selalu tidak berekspresi. Aku yakin, memang pembawaannya seperti itu.
Ah senang hatiku, orang pertama yang kutemui ternyata sang Kapten kapal. "Oh iya pak, gini, saya mau tanya-tanya sedikit untuk penelitian saya, seputar penangkapan ikan disini. Kalau boleh tau bapak sudah berapa tahun jadi Kapten?"