Mohon tunggu...
Ali Eff Laman
Ali Eff Laman Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Lepas Bebas

Orang biasa yang dikelilingi orang luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Aku Perawat

20 April 2021   14:54 Diperbarui: 20 April 2021   16:06 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mantri Jamil 

            Tahun 89/90 an aku lulus sekolah lanjutan tingkat pertama dengan nilai evaluasi NEM tertinggi di sekolahku. Dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang menjadi pegangan anak-anak sekolah di masa itu, sebuah kebanggaan bisa dapat NEM tinggi, kamu bisa pilih sekolah yang kamu mau dan tentu sekolah menengah pavorite di kotamu.

            Di masa tahun ajaran baru, nilai nem jadi topik perbincangan para orang tua, bangga jika anaknya mendapat NEM tinggi, namun nyatanya kadang siswa pintar pun tidak mendapatkan nilai tinggi karena seluruh masa sekolahnya selama tiga tahun dipertaruhkan dengan ujian selama tak lebih dari lima hari masa ujian Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang dilakukan serentak seluruh Indonesia.

            Aku beruntung bisa dapat NEM tertinggi, namun sama sekali bukan karena paling pintar, hanya kebetulan soal-soal yang diberikan pada saat itu dapat kujawab sesuai dengan materi pelajaran yang kupelajari seminggu sebelum EBTANAS. Jika soalnya diganti mungkin yang paling tinggi nilainya saat itu pasti bukan aku. Jadi menurutku itu hanya faktor kebetulan.

            Dengan bekal NEM itu aku bisa pilih sekolah menengah yang kumau, namun takdir berkata lain. Kakak perempuanku mendorongku untuk masuk sekolah perawat. Entah darimana inspirasinya, karena tak satupun keluarga besar kami yang menjadi perawat. Saat itu akupun tak mengerti apa beda perawat dan dokter, yang kutahu adanya mantri sunat di kampungku, namanya Pak Jamil yang dipandang sukses dimasa itu, kata kakakku mantri jamil itu seorang perawat.

OSPEK itu Uji Mental, Bukan Uji Fisik

 

            Tidak terbayang seperti apa sekolah keperawatan. Disaat aku bisa saja memilih SLTA yang kumau, tapi akhirnya aku mendaftar Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), yang masuknya harus melalui seleksi yang sangat ketat, bukan hanya Nilai NEM tinggi tapi juga harus mengikuti serangkaian test yang pesertanya sangat banyak. Hanya untuk ambil formulir saja antrean seperti orang melamar pekerjaan.Tidak cukup itu saja, untuk mendaftar juga harus memiliki fisik yang sehat dan tinggi badan yang sesuai persyaratan.

           

            Singkat cerita, aku lulus ujian masuk SPK, menyisihkan banyak peserta, seingatku waktu itu yang lulus seleksi ada 80 an orang, sementara yang mendaftar sekitar 1000 orang dari berbagai wilayah dalam maupun luar kota tempat tinggalku. Di sekolah ini aku bertemu dengan teman-teman yang ternyata juga sebagian besar adalah juara-juara kelas dan anak-anak berprestasi disekolah asalnya.

           

            Masa orientasi sekolah yang tak akan pernah kami lupakan, Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) namanya, pada masa itu kami menyebutnya ”plonco.”  Kami diplonco oleh kakak tingkat ( senior) dengan berbagai tugas rumit dan aneh, yang belakangan aku tahu mengapa plonco ini harus dilakukan.

            Setiap siswa diberi “nama bagus” yang dipilih dari nama latin dan nama penyakit, kami harus menguasai nama yang diberikan, kami dipanggil dengan nama itu dan setiap itu pula kami harus menjelaskan apa maksud dari nama tersebut dan bahkan kami juga harus tahu nama bagus teman lainnya. Jadi kami sudah mulai belajar pengetahuan kesehatan sebelum kurikulum sekolah dimulai. Kami akan dibuat menangis jika tidak mampu menjelaskan apa yang ditanya para senior. Dalam perpeloncoan ini kemampuan belajar kami diuji.

            Tidak hanya itu,  kesalahan kecil yang kami lakukan kami harus pertanggungjawabkan dihadapan para senior, apalagi kesalahan besar. Kami digembleng untuk menghadapi cacian dan hinaan tanpa sebab. Kami dibuat menangis lalu kami yang diminta menyampaikan permohonan maaf. Ketika melihat hal lucu yang terjadi jangankan tertawa, tersenyumpun kami dapat hukuman. Kami diajarkan tidak boleh tersenyum melihat penderitaan orang lain. Kami diajarkan untuk sabar menghadapi kemarahan tanpa sebab.

            Seperti halnya kebanyakan orang   tetap ketakutan menonton film horror meskipun tahu hanya skenario yang diatur oleh sutradara. Seperti itu pula yang kami alami, kami tidak pernah berpikir perpeloncoan ini hanya skenario saja, apa yang kami alami benar-benar masuk ke dalam jiwa kami, kami begitu khawatir berbuat kesalahan meskipun kecil. Kami menyadari pentingnya untuk  belajar menguasai pengetahuan sebagai bekal pekerjaan kami. Kami terbiasa menghadapi kekesalan orang lain tanpa perlu membalasnya. Kami belajar menghadapi persoalan dengan komunikasi, kami tidak pernah diajarkan marah dengan fisik.

            Satu minggu OSPEK membuat kami tidak hanya mengenal kampus sebagai bangunan fisik, kami mengenal seluruh civitas kampus. Mulai dari keplala sekolah, guru, petugas administrasi sekolah, tak terkecuali petugas kebersihan, petugas keamanan bahkan ibu kantin yang berjualan di sekolah kami menjadi bagian yang wajib kami kenal, ini mengajarkan kami bahwa semua orang penting, kami bersosialisasi tanpa membeda-bedakan status sosial.

            Akhir masa OSPEK jangan heran jika peserta belajar berkurang jumlahnya, ada beberapa yang mengundurkan diri setelah mengikuti uji mental selama satu minggu dalam OSPEK. Kami mulai mengetahui gambaran apa yang akan dihadapi nanti sebagai seorang perawat,  tidak sanggup membayangkan apa yang akan dihadapi dalam masa-masa Pendidikan di SPK dan akhirnya ada yang memilih angkat kaki sebelum masa pendidikan dimulai.

 Masa Pendidikan

            Tahun pertama masa pendidikan  bagian dimana kami mulai sibuk dengan buku, materi-materi pendidikan yang sumbernya lebih banyak dari luar negeri, karena ilmu keperawatan lebih dahulu berkembang di sana, maka literasi pun berkiblat ke luar negeri. Dan mahalnya harga buku membatasi guru-guru kami untuk memiliki sumber bacaan asli. Bahan bacaan ringan kami dapat dari diktat yang disusun oleh guru-guru kami sendiri, materi sekolah hasil stensil dan fotocopy.

            Kami mempelajari mulai dari anatomi fisiology, farmakology, psikology, ilmu anak dan kebidanan serta kami juga belajar dalam laoratorium kimia dan tentu saja juga belajar  ilmu keperawatan dan praktik keperawatan. Tidak itu saja, kami juga belajar urusan kebersihan rumah tangga, mulai dari membersihkan kamar tidur sampai kamar mandi. Selama enam bulan pertama kami harus menguasai ilmu-ilmu yang diberikan dan jika tidak mampu mengikuti akan terkena sanksi, istilahnya “system gugur” bagi yang tidak sanggup maka tidak dapat melanjutkan pendidikan.

            Tahun kedua kami mulai mengikuti praktek klinik,  kami lebih banyak mempelajari praktek keperawatan di rumah sakit. Bekerja di rumah sakit layaknya karyawan rumah sakit. Kami ikut jadwal piket pagi sore dan malam hari,mengikuti peraturan tempat dimana kami mendapat tugas prektek klinik. Dalam setiap praktek kami diharuskan memenuhi target kompetensi, seperti injeksi, kateterisasi, pemasangan infus bahkan sampai pertolongan persalinan.

            Di lokasi praktek klinik inilah kami baru menyadari manfaat dari apa yang kami alami selama pendidikan. Dalam praktek kerja kami harus terbiasa tidak tidur sepanjang malam karena harus mengganti popok bayi dan memberinya susu formula. Di tempat ini lah kami menghadapi kemarahan pasien yang kadang tanpa sebab yang jelas. Di tempat inilah kami mengalami kemarahan dokter yang katanya rekan sejawat, kesalahan kecil bisa membuat stetoskop dan korentang melayang di atas kepala kami. Makian dan umpatan jadi makanan sehari-hari meskipun kami sudah berusaha melebarkan senyuman seikhlas mungkin.

            Selain praktek klinik kami juga mengikuti pembelajaran praktek komunitas, Praktek Kerja Lapangan. Kami belajar di tengah-tengah masyarakat, belajar menyelesaikan permasalahan kesehatan dan lingkungan. Belajar berkoordinasi dengan tokoh masyarakat, belajar berkomunikasi dengan masyarakat.  Di sinilah kami menyadari manfaat  perlunya memahami masyarakat dengan perbedaan latar belakang sosial dan budaya. Praktek penyuluhan kesehatan merupakan salah satu kompetensi yang harus dicapai.

Dunia Kerja

 

            Tiga tahun mengikuti pendidikan di SPK tentu tidak lah cukup untuk bekal dalam kehidupan kami mengabdi di tengah masyarakat, namun di masa itu lulusan SPK terutama di daerah-daerah terpencil menjadi tumpuan harapan banyak orang. Bahkan sampai bertugas ke daerah pedalaman di pelosok negeri yang tak ada alat transportasi. Rekan kami berjuang berjalan kaki, pengabdian tulus memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan meskipun sebenarnya yang dilakukan menjurus ke  malpraktik.

            Ya, miris sebenarnya, saat itu kami bertugas melebihi kewenangan kami tanpa memikirkan payung hukum yang dapat melindungi dari pembiaran malpraktik dan pada akhirnya rekan kami beberapa harus menghadapi tuntutan hukum karena menjalankan “tugas pembiaran”.

            Tidak cukup itu saja, tidak hanya dipelosok negeri, di Kawasan-kawasan industri kecil maupun besar rekan kami bertugas menjadi “dokter”. Kebutuhan tenaga kesehatan dengan “kemampuan medis” namun dengan gaji murah, pilihan tepat untuk memilih perawat  menempati klinik pengobatan tanpa khawatir perawat akan menuntut jenjang karir.

            Rekan kami yang bertugas di kota juga tak kalah mirisnya, dimana perawat yang bertugas di puskesmas melayani pengobatan medis sementara dokter di bagian administrasi sebagai kepala tata usaha atau sebagai kepala puskesmas. Kepala Puskesmas sering meninggalkan tempat dengan alasan rapat, tugas medis diserahkan pada perawat.

            Yang agak lebih aman namun tak kalah mirisnya perawat ditugaskan di loket pendaftaran. Seolah negeri ini sudah kelebihan tenaga kesehatan. Sisi positifnya banyak perawat tercambuk dan akhirnya segera memutuskan untuk melanjutkan pendidikan berharap sedikit bisa dihargai,  yang masih berharap di dunia keperawatan melanjutkan pendidikan keperawatan, sebagian yang ragu memilih jalur kesehatan masyarakat meski pada akhirnya tetap dianggap profesi kelas dua juga, seberapapun tingginya pendidikan lanjutannya.  

            Bagaimana dengan di rumah sakit tidak kalah menariknya,  perawat dengan tugas paling banyak namun lagi-lagi jenjangnya tetap menjadi profesi kelas dua. Entah dunia kesehatan mengakui adanya ilmu keperawatan atau tidak, yang jelas bagian yang bernama keperawatan pada umumnya dikepalai oleh bukan perawat, hanya bedanya saat ini sudah tidak ada stetoskop atau korentang yang berani terbang di atas kepala perawat, karena perawat sudah banyak yang melanjutkan pendidikan ke bidang hukum, entah pengembangan karir entah lari dari karir. Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun