Selain praktek klinik kami juga mengikuti pembelajaran praktek komunitas, Praktek Kerja Lapangan. Kami belajar di tengah-tengah masyarakat, belajar menyelesaikan permasalahan kesehatan dan lingkungan. Belajar berkoordinasi dengan tokoh masyarakat, belajar berkomunikasi dengan masyarakat. Di sinilah kami menyadari manfaat perlunya memahami masyarakat dengan perbedaan latar belakang sosial dan budaya. Praktek penyuluhan kesehatan merupakan salah satu kompetensi yang harus dicapai.
Dunia Kerja
Tiga tahun mengikuti pendidikan di SPK tentu tidak lah cukup untuk bekal dalam kehidupan kami mengabdi di tengah masyarakat, namun di masa itu lulusan SPK terutama di daerah-daerah terpencil menjadi tumpuan harapan banyak orang. Bahkan sampai bertugas ke daerah pedalaman di pelosok negeri yang tak ada alat transportasi. Rekan kami berjuang berjalan kaki, pengabdian tulus memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan meskipun sebenarnya yang dilakukan menjurus ke malpraktik.
Ya, miris sebenarnya, saat itu kami bertugas melebihi kewenangan kami tanpa memikirkan payung hukum yang dapat melindungi dari pembiaran malpraktik dan pada akhirnya rekan kami beberapa harus menghadapi tuntutan hukum karena menjalankan “tugas pembiaran”.
Tidak cukup itu saja, tidak hanya dipelosok negeri, di Kawasan-kawasan industri kecil maupun besar rekan kami bertugas menjadi “dokter”. Kebutuhan tenaga kesehatan dengan “kemampuan medis” namun dengan gaji murah, pilihan tepat untuk memilih perawat menempati klinik pengobatan tanpa khawatir perawat akan menuntut jenjang karir.
Rekan kami yang bertugas di kota juga tak kalah mirisnya, dimana perawat yang bertugas di puskesmas melayani pengobatan medis sementara dokter di bagian administrasi sebagai kepala tata usaha atau sebagai kepala puskesmas. Kepala Puskesmas sering meninggalkan tempat dengan alasan rapat, tugas medis diserahkan pada perawat.
Yang agak lebih aman namun tak kalah mirisnya perawat ditugaskan di loket pendaftaran. Seolah negeri ini sudah kelebihan tenaga kesehatan. Sisi positifnya banyak perawat tercambuk dan akhirnya segera memutuskan untuk melanjutkan pendidikan berharap sedikit bisa dihargai, yang masih berharap di dunia keperawatan melanjutkan pendidikan keperawatan, sebagian yang ragu memilih jalur kesehatan masyarakat meski pada akhirnya tetap dianggap profesi kelas dua juga, seberapapun tingginya pendidikan lanjutannya.
Bagaimana dengan di rumah sakit tidak kalah menariknya, perawat dengan tugas paling banyak namun lagi-lagi jenjangnya tetap menjadi profesi kelas dua. Entah dunia kesehatan mengakui adanya ilmu keperawatan atau tidak, yang jelas bagian yang bernama keperawatan pada umumnya dikepalai oleh bukan perawat, hanya bedanya saat ini sudah tidak ada stetoskop atau korentang yang berani terbang di atas kepala perawat, karena perawat sudah banyak yang melanjutkan pendidikan ke bidang hukum, entah pengembangan karir entah lari dari karir. Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H