Mantri JamilÂ
      Tahun 89/90 an aku lulus sekolah lanjutan tingkat pertama dengan nilai evaluasi NEM tertinggi di sekolahku. Dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang menjadi pegangan anak-anak sekolah di masa itu, sebuah kebanggaan bisa dapat NEM tinggi, kamu bisa pilih sekolah yang kamu mau dan tentu sekolah menengah pavorite di kotamu.
      Di masa tahun ajaran baru, nilai nem jadi topik perbincangan para orang tua, bangga jika anaknya mendapat NEM tinggi, namun nyatanya kadang siswa pintar pun tidak mendapatkan nilai tinggi karena seluruh masa sekolahnya selama tiga tahun dipertaruhkan dengan ujian selama tak lebih dari lima hari masa ujian Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang dilakukan serentak seluruh Indonesia.
      Aku beruntung bisa dapat NEM tertinggi, namun sama sekali bukan karena paling pintar, hanya kebetulan soal-soal yang diberikan pada saat itu dapat kujawab sesuai dengan materi pelajaran yang kupelajari seminggu sebelum EBTANAS. Jika soalnya diganti mungkin yang paling tinggi nilainya saat itu pasti bukan aku. Jadi menurutku itu hanya faktor kebetulan.
      Dengan bekal NEM itu aku bisa pilih sekolah menengah yang kumau, namun takdir berkata lain. Kakak perempuanku mendorongku untuk masuk sekolah perawat. Entah darimana inspirasinya, karena tak satupun keluarga besar kami yang menjadi perawat. Saat itu akupun tak mengerti apa beda perawat dan dokter, yang kutahu adanya mantri sunat di kampungku, namanya Pak Jamil yang dipandang sukses dimasa itu, kata kakakku mantri jamil itu seorang perawat.
OSPEK itu Uji Mental, Bukan Uji Fisik
Â
      Tidak terbayang seperti apa sekolah keperawatan. Disaat aku bisa saja memilih SLTA yang kumau, tapi akhirnya aku mendaftar Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), yang masuknya harus melalui seleksi yang sangat ketat, bukan hanya Nilai NEM tinggi tapi juga harus mengikuti serangkaian test yang pesertanya sangat banyak. Hanya untuk ambil formulir saja antrean seperti orang melamar pekerjaan.Tidak cukup itu saja, untuk mendaftar juga harus memiliki fisik yang sehat dan tinggi badan yang sesuai persyaratan.
     Â
      Singkat cerita, aku lulus ujian masuk SPK, menyisihkan banyak peserta, seingatku waktu itu yang lulus seleksi ada 80 an orang, sementara yang mendaftar sekitar 1000 orang dari berbagai wilayah dalam maupun luar kota tempat tinggalku. Di sekolah ini aku bertemu dengan teman-teman yang ternyata juga sebagian besar adalah juara-juara kelas dan anak-anak berprestasi disekolah asalnya.
     Â