Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor l Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum maka KPU diberikan wewenang untuk membentuk KPU Provinsi Papua Selatan, KPU Provinsi Papua Tengah, KPU Provinsi Papua Pegunungan dan KPU Provinsi Papua Barat Daya, yang mana pembentukan KPU Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan dan Provinsi Papua Barat Daya pembentukannya akan diatur dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2023 tentang pembentukan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Pada Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Barat Daya.
Artinya akan semakin banyak terjadi permasalahan sengketa pemilu baik di Provinsi Papua, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Barat Daya dengan adanya pemekaran provinsi baru.
Secara hukum sengketa pemilu terbagi menjadi dua jenis yaitu:
- Sengketa Proses Pemilu dan
- Sengketa Hasil Pemilu.
Dr. H. Uu Nurul Huda, SH, MH. dalam bukunya Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia (Fokusmedia, Bandung, 2018, hal. 273), membedakan 4 jenis masalah hukum pemilu yaitu:
- Pelanggaran;
- Sengketa proses;
- Perselisihan hasil pemilu; dan
- Tindak pidana pemilu.
Sedangkan menurut Pasal 466 UU Pemilu mendefinisikan sengketa proses pemilu sebagai sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Komisi Pemilihan Umum ("KPU"), keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
APA ITU SENGKETA PROSES PEMILU?
Dr. H. Uu Nurul Huda, SH, MH. dalam bukunya Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia (Fokusmedia, Bandung, 2018, hal. 274) membedakan sengketa proses pemilu menjadi dua kategori yaitu:
- Sengketa pemilu antar peserta pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
- Sengketa pemilu antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Sedangkan yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut Pasal 473 ayat (1) UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
Lebih lanjut menurut Dr. H. Uu Nurul Huda, SH, MH. dalam bukunya Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia (Fokusmedia, Bandung, 2018, hal. 274), perselisihan hasil pemilu ini berkaitan dengan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat ("DPR"), Dewan Perwakilan Daerah ("DPD"), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ("DPRD") secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu, dan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden.
Jadi dapat disimpulkan, sengketa proses pemilu adalah sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, sedangkan sengketa hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
SIAPA YANG MENGADILI SENGKETA PEMILU?
Yang berwenang untuk mengadili dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana dikutip MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
- Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
- Memutus pembubaran partai politik; dan
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Adapun, putusan MK termasuk atas perselisihan hasil pemilu bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK dalam UU MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
DARI PENJELASAN TERSEBUT DAPAT KITA LIHAT BAHWA MK HANYA BERWENANG MEMUTUS SENGKETA HASIL PEMILU. LALU, SIAPA YANG BERWENANG MEMUTUS SENGKETA PROSES PEMILU?
Lembaga yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu ("Bawaslu") dan Pengadilan Tata Usaha Negara ("PTUN").
Dalam sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas melakukan pencegahan dan penindakan dengan rincian sebagai berikut:
- Pencegahan sengketa proses pemilu oleh Bawaslu bertugas:
- mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran Pemilu;
- mengoordinasikan, menyupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi Penyelenggaraan Pemilu;
- berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan
- meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu.
- Penindakan sengketa proses pemilu oleh Bawaslu bertugas:
- menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu;
- memverifikasi secara formal dan material permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu;
- melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa;
- melakukan proses adjudikasi sengketa proses pemilu; dan
- memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.
Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan:
- Verifikasi partai politik peserta pemilu;
- Penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan
- Penetapan pasangan calon.
Dalam hal penyelesaian sengketa proses pemilu di atas yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada PTUN.
Apabila berlanjut ke PTUN, maka penyelesaian sengketa proses pemilu di PTUN meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon peserta pemilu, atau bakal pasangan calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Sehingga berdasarkan penjelasan di atas, Sengketa proses pemilu adalah sengketa yang timbul antara:
- KPU dan partai politik calon peserta pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU tentang penetapan partai politik peserta pemilu;
- KPU dan pasangan calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon; dan
- KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap.
Adapun pengajuan gugatan atas sengketa proses pemilu ke PTUN dilakukan setelah upaya administrasi di Bawaslu telah digunakan. Mengenai tata cara penyelesaian sengketa proses pemilu di PTUN, Anda dapat merujuk dalam Perma 5/2017.
Kesimpulan dari penjelasan di atas yaitu, lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa (perselisihan) hasil pemilu adalah MK. Sedangkan, untuk sengketa proses pemilu, lembaga yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu adalah Bawaslu dan PTUN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H