Mohon tunggu...
Idris Salis
Idris Salis Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Ketua Yayasan Muttabi'il Ulama

Sedang belajar menulis dan belajar menjadi guru ngaji di yayasan sendiri, memiliki rutinitas setiap malam selasa dan malam kamis, rutinan berupa bedah buku / kitab ar-ruh dan durratun nashihin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wajah Penerjemah Setia dan Pengkhianat

18 Oktober 2022   12:39 Diperbarui: 18 Oktober 2022   13:04 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.jits.co.id

Skenario kedua ini nyata-nyata didahului dengan pergantian arah budaya dalam studi penerjemahan. Dan pada skenario kedua inilah sifat "propagandistik" kebanyakan penerjemahan ideologis tidak lagi mengejutkan. Seorang penyunting berkeyakinan satu faham (sekte aqidah) pada sebuah penerbit buku-buku agama mempekerjakan seorang penerjemah femnis untuk menerjemahkan naskah bagi pembaca-pembaca dari kalangan agamawan. Selain itu, buku agama yang mengagumkan itu mengandung satu bab bernada patriarkis yang cukup mengusik.

Haruskah si penerjemah mengabaikan perintah sang penyunting, penerbit, dan khalayak pembaca untuk menghasilkan sebuah teks yang feminis, demi mematuhi idealisme penerjemahan yang disusun ribuan tahun lampau oleh agamawan abad ke 16 yang terang-terangan beraliran patriarki, institusi agama yang aturan-aturan lainnya tidak diterima secara membabi-buta oleh semua prinsip dalam proses tersebut? Motivasi apa yang mungkin dimiliki penerjemah dalam menerjemahkan "dengan setia" bagian patriarkis tersebut?

Satu-satunya motivasi untuk menjaga sexism agar tetap sexist hanyalah kesetiaan khayalan yang tidak ditujukan kepada penerbit (yang membayar gajinya), juga tidak kepada pembaca (yang membeli buku-buku dan menjaga kelangsungan hidup penerbitan itu), tetapi kepada suatu otoritas lain dari abad pertengahan, otoritas institusi agama yang sudah lama mati dengan sisa-sisa kekuasaan ideologis sekedarnya yang menguasai penerjemah kontemporer-dan merupakan suatu ideologi sekaligus kekuatan yang paling pencuriga dalam hal tersebut!

Tentu saja, banyak pembaca yang akan berkata, dalam hal ini telah hilang sesuatu yang berharga. Penerjemahan bukan lagi sarana pendukung bagi orang jenius, bagi aliran-aliran ilham; penerjemahan hanyalah suatu usaha dagang kecil-kecilan yang tunduk pada perilaku pasar. Sungguh suatu pekerjaan yang kotor dan rendah bila menerjemah diperuntukkan bagi penawar tertinggi, atau melakukan pekerjaan itu dengan cara apapun yang diminta si penawar! Betapa tidak berperasaan! Sungguh jauh keterpurukan penerjemahan seperti itu!

Mungkin. Kendati demikian, di mata para penganjur pergantian arah budaya, keterpurukan itu menguntungkan. Kondisi "mulia" penerjemah dalam ideologi tradisional tak hanya luar biasa sempit dan terbatas-bahkan jauh dari mulia tetapi juga sangat tidak realistis. Kondisi "mulia" penerjemah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia nyata penerjemahan. Gambaran penerjemahan profesional yang dilukiskan para ilmuwan baru dalam bidang ini mungkin tidak semulia mitos humanistik lama, tetapi memiliki kelebihan, yaitu meninggalkan lebih jelas jejak sang penerjemah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun