Mohon tunggu...
Pendeta Sederhana
Pendeta Sederhana Mohon Tunggu... lainnya -

Sederhana itu adalah sikap hati. Hati adalah kita yang sesungguhnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkah Menghormati Orang yang Tidak Berpuasa

14 Juni 2016   08:42 Diperbarui: 14 Juni 2016   15:37 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : m.aktualpost.com

Siapakah orang yang paling berbahagia di bulan Ramadhan kali ini?

Tebakan saya akan jatuh kepada ibu Saeni, pemilik rumah makan yang sebelumnya dirazia oleh petugas Satpol PP Kota Serang, Banten.

Razia terhadap rumah makan selama bulan Ramadhan sebenarnya bukanlah berita baru, sebelumnya di Bogor, ada tiga belas orang digelandang ke kantor kecamatan karena kedapatan makan siang di warung, lalu kemudian mereka dihukum push up. Demikian juga di Padang, satpol pp setempat bahkan menggelandang ikan bakar lengkap dengan alat pemanggangnya dari warung sebagai bukti pelanggaran, karena telah berjualan di siang hari selama bulan Ramadhan.

Namun, apa yang dialami oleh ibu Saeni termasuk lain daripada yang lain. Bahkan saya berani meyakinkan partai politik yang hingga saat ini masih bingung mencari kandidat untuk diusung di pilkada serentak 2017, maka pilihlah ibu Saeni, besar kemungkinan calon yang anda usung akan menang! 

Ibu Saeni ini ternyata tidak hanya menjadi perhatian netizen di wilayah Provinsi Banten, tetapi juga di seluruh Indonesia. Bahkan, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sangat merakyat itu, turut berbela rasa atas apa yang dialami oleh ibu Saeni.

Pengakuan ibu Saeni, ia mendapat bantuan uang Rp10 juta dari Presiden Jokowi melalui dua orang yang mengaku ajudan Presiden. Ajudan Presiden tersebut datang ke Serang, Minggu (12/6). Mereka datang dan masuk ke warteg milik ibu Saeni. Kemudian, mereka menjelaskan tujuan kedatangannya, dan setelah menyerahkan uang, sekitar 10 menit kemudian ajudan tersebut langsung pergi. Uang tersebut sendiri diberikan agar perempuan yang akrab disapa Eni tersebut bisa segera membayar utang-utangnya.

Sebelumnya, Dwika Putra, penggagas donasi untuk ibu Saeni di akun twitternya menulis bahwa jumlah netizen yang menyumbang sebanyak 2.427 orang dengan jumlah donasi sebesar Rp 265.534.758. Luar biasa, nggak kebayang sedemikian bahagianya ibu Saeni di bulan Ramadhan kali ini. Seumur-umur, Ramadhan kali inilah yang paling membahagiakan. 

Mungkin inilah bulan puasa yang paling disyukuri seumur hidupnya. Dan tentu ini bukan soal uang semata, tetapi bagaimana ibu ini bisa merasakan secara nyata perhatian dan pembelaan dari masyarakat. Bahkan, presiden sendiri turut menunjukkan simpati dan perhatiannya yang tulus. Jarang-jarang seseorang didatangi oleh ajudan presiden, lalu dimintai nomor yang bisa dihubungi untuk ditelepon langsung oleh presiden. Padahal, ada banyak orang yang lebih susah dan menderita di negeri kita ini dibanding ibu Saeni. Dan ini juga bukan soal media sosial, karena kita sangat tahu ada banyak peristiwa yang lebih mengharukan dari apa yang dialami oleh ibu Saeni, namun tidak mendapatkan simpati dan belarasa yang sedemikian besar seperti apa yang diberikan kepada ibu Saeni ini.

Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh ibu Saeni bukanlah suatu tindakan yang fenomenal atau ekstra luar biasa. Ia hanya berjualan makanan seperti biasanya, karena memang itulah profesinya. Ia juga bukan pedagang makanan golongan besar, seperti restoran cepat saji atau rumah makan mewah yang bukan menjadi target razia satpol pp, karena promo dan iklan yang mereka lakukan berhasil menyihir banyak orang, seakan-akan mereka sangat menghormati Ramadhan bila memberi dikson, promo, atau berbagai program menarik selama Ramadhan. Padahal, mereka sedang menjalankan strategi pemasaran sebenarnya. Berbeda dengan ibu Saeni, Ia hanya pemilik warteg, dimana orang kebanyakan dan sederhana bisa membunuh rasa lapar mereka dengan harga yang sangat terjangkau. 

Kelebihan lain dari warung ibu saeni dan warteg lainnya adalah, kita bisa memilih makanan yang kita inginkan dengan metode touchscreen, tanpa menulis di  kertas menu order,  atau menggunakan tombol qwerty dan mouse untuk mengarahkan pointer ke obyek yang diinginkan. Teknologi warteg inilah yang kemudian ditiru oleh pabrikan smartphone dan peralatan elektronik canggih lainnya, yang mendapatkan inspirasi touchscreen system atau layar sentuh  dari pedagang warteg Indonesia. 

Kembali ke ibu Saeni, ia hanya melakoni profesi kesehariannya sebagai penjual makanan. Dan khusus di bulan puasa, ia tetap setia melakoni pekerjaannya karena ia tahu, tidak semua orang berpuasa di bulan puasa. Andai semua orang berpuasa, tentulah ia tidak akan membuka warungnya, karena akan percuma. Tidak akan ada orang yang makan di warungnya, sehingga ia akan mengalami kerugian karena jualannya akan terbuang dengan percuma.

Ia juga bukanlah pejabat yang mempunyai saldo lebih dari cukup di beberapa bank hingga di negara tax haven di luar negeri, sebagaimana yang ramai diberitakan lewat skandal Panama Papers. Sehingga, bila ia tidak berjualan selama satu bulan penuh, atau berjualan hanya di sore hari menjelang berbuka, maka ia tidak akan mampu membiayai hidupnya, bahkan juga untuk memperoleh uang untuk keperluannya berlebaran.

Kita sangat tahu, bahwa berbuka bersama keluarga di rumah atau di rumah makan dan restoran yang menyajikan makanan  enak, sudah menjadi pilihan kebanyakan orang saat ini. Sehingga perhitungan ibu Saeni untuk tidak hanya mengharapkan orang-orang makan saat berbuka adalah sangat rasional. Jauh lebih rasional dari mereka yang membuat perda, dan mereka yang bertugas menjalankan dilaksanakannya perda itu.

Itulah ibu Saeni, ia tahu apa yang dilakukannya. Ia tahu tidak semua orang berpuasa. Ia setia melakoni hidup kesehariannya, membunuh rasa lapar orang-orang yang tidak berpuasa. Saya tidak sedikitpun berprasangka buruk kepada ibu Saeni bahwa ia memiliki niat supaya orang membatalkan puasanya ketika berada di dekat warungnya. Tidak mungkin ibu Saeni berpikiran demikian. Tidak mungkin juga ia berharap dan mendoakan orang lain agar tidak berpuasa.

Justru orang-orang yang membuat dan membela peraturan seperti itu, dan yang ditugaskan mengawasi dan menjalankan aturan itu dilaksanakan, merekalah  yang sebenarnya berprasangka buruk kepada ibu Saeni. Mereka selalu melihat dari perspektif yang negatif, negative thinking kata para pengajar kepribadian. Mereka memikirkan dan mencari-cari hal negatif di pikiran orang-orang yang justru tidak memilikinya. Mereka merasa berhak dan boleh menghakimi pikiran dan niat orang orang yang bahkan sama sekali tidak memiliki niat dan pikiran demikian.

Adapun ibu Saeni, apa yang dilakukannya adalah suatu tindakan penghormatan kepada orang-orang yang tidak berpuasa. Bukan berarti ia tidak menghormati orang yang berpuasa. Tidak, ia tidak bermaksud demikian. Bagi mereka yang berpuasa, silahkan berpuasa, dan ibu Saeni sangat menghormati mereka. Ia tidak pernah marah, ia tidak kecewa, ia tidak akan membenci orang orang yang sebelumnya selalu makan siang di wartegnya namun ketika  bulan puasa tiba,  tidak lagi makan siang di sana. 

Ia juga tidak pernah meminta dan menyarankan pelanggannya untuk tidak berpuasa supaya wartegnya tetap ramai. Ia tidak melakukan itu. Lalu, kenapa ia dan ratusan atau bahkan ribuan penjual makanan seperti ibu Saeni harus diberantas? Bahkan, saya tidak habis pikir ketika membaca di perda itu disebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh ibu Saeni masuk kategori penyakit masyarakat, khusus di bulan puasa. Siapa sebenarnya yang sakit? Masyarakat atau mereka yang membuat dan yang membela aturan demikian?

Ibu Saeni sudah mengajarkan kepada kita arti sebuah penghormatan, bagaimana menghargai orang-orang yang tidak sama dan serupa dengan dirinya. Mereka-mereka yang semestinya tidak boleh diabaikan atau dianggap tidak ada, hanya karena mereka merupakan bagian kecil dari kebanyakan kita. Siapakah kita yang merasa berhak mengabaikan, dan menafikan keberadaan mereka? Apa yang sudah pernah kita lakukan untuk mereka?

Dan atas penghormatannya kepada mereka-mereka yang hendak diabaikan ini, ibu Saeni akhirnya mendapatkan berkah, "Berkah Ramadhan". Yang sangat mungkin juga  merupakan sesuatu yang dicari oleh orang-orang yang berpuasa. Namun ibu Saeni sudah berhasil mendapatkannya, ketika di bulan Ramadhan, ia bisa menghargai, menghormati orang-orang yang tidak berpuasa, tanpa harus menghina, dan melecehkan mereka yang berpuasa. Ia memberi dirinya untuk mengurusi orang-orang yang tidak berpuasa, karena bisa saja mereka yang biasanya mengurus mereka, sedang menjalankan ibadah puasa. Ia menggantikan peran sebagian dari mereka dengan tetap setia melakoni kesehariannya, tentu dengan pengharapan akan memperoleh rezeki dari apa yang dilakukannya.

Ia mengerti apa sejatinya arti berpuasa, ia menahan diri dari dan mengesampingkan egonya dengan tidak berhenti atau puasa melayani orang lain, mereka-mereka yang oleh karena sesuatu dan banyak hal tidak (bisa) berpuasa.

Dan atas penghormatannya, atas tindakannya menghargai orang lain di bulan puasa, ia pun berhak mendapatkan berkah puasa. Berkah Ramadhan yang dicari oleh banyak orang di bulan Ramadhan. Ia menjadi orang yang paling berbahagia di bulan Ramadhan kali ini. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah didapatkan oleh banyak orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, bila mereka hanya fokus dengan diri mereka sendiri. Puasa di benak mereka adalah segala hal tentang mereka, bagaimana supaya mereka bisa menjalankan puasa dan akhirnya tiba pada suatu kemenangan, tanpa gangguan, tanpa hambatan. 

Tidak peduli ada orang lain yang terabaikan, ada kebutuhan dan keperluan orang lain yang terenggut. Mereka lebih mementingkan pandangan dan penilaian orang lain terhadap mereka, orang-orang yang taat, taat berpuasa, taat beragama. 

Mereka menganggap bulan puasa itu sakral, sesuatu yang harus dijunjung tinggi sekalipun dengan mengabaikan orang lain. Bulan yang suci yang tidak boleh dikotori oleh apapun yang mereka anggap bisa merusak kesuciannya. Demikianlah akhirnya, mereka tidak pernah menemukan arti puasa yang mereka lakukan, karena memang tidak pernah mencari dan melakukannya.  Mereka hanya mementingkan ritualnya sehingga lupa dan gagal melakukan substansi dari puasa yang sesungguhnya.

Selamat menjalankan ibadah puasa, semoga kita keberkahan!

Salam

Pendeta Sederhana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun