Mohon tunggu...
Pendeta Sederhana
Pendeta Sederhana Mohon Tunggu... lainnya -

Sederhana itu adalah sikap hati. Hati adalah kita yang sesungguhnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkah Menghormati Orang yang Tidak Berpuasa

14 Juni 2016   08:42 Diperbarui: 14 Juni 2016   15:37 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : m.aktualpost.com

Ia juga bukanlah pejabat yang mempunyai saldo lebih dari cukup di beberapa bank hingga di negara tax haven di luar negeri, sebagaimana yang ramai diberitakan lewat skandal Panama Papers. Sehingga, bila ia tidak berjualan selama satu bulan penuh, atau berjualan hanya di sore hari menjelang berbuka, maka ia tidak akan mampu membiayai hidupnya, bahkan juga untuk memperoleh uang untuk keperluannya berlebaran.

Kita sangat tahu, bahwa berbuka bersama keluarga di rumah atau di rumah makan dan restoran yang menyajikan makanan  enak, sudah menjadi pilihan kebanyakan orang saat ini. Sehingga perhitungan ibu Saeni untuk tidak hanya mengharapkan orang-orang makan saat berbuka adalah sangat rasional. Jauh lebih rasional dari mereka yang membuat perda, dan mereka yang bertugas menjalankan dilaksanakannya perda itu.

Itulah ibu Saeni, ia tahu apa yang dilakukannya. Ia tahu tidak semua orang berpuasa. Ia setia melakoni hidup kesehariannya, membunuh rasa lapar orang-orang yang tidak berpuasa. Saya tidak sedikitpun berprasangka buruk kepada ibu Saeni bahwa ia memiliki niat supaya orang membatalkan puasanya ketika berada di dekat warungnya. Tidak mungkin ibu Saeni berpikiran demikian. Tidak mungkin juga ia berharap dan mendoakan orang lain agar tidak berpuasa.

Justru orang-orang yang membuat dan membela peraturan seperti itu, dan yang ditugaskan mengawasi dan menjalankan aturan itu dilaksanakan, merekalah  yang sebenarnya berprasangka buruk kepada ibu Saeni. Mereka selalu melihat dari perspektif yang negatif, negative thinking kata para pengajar kepribadian. Mereka memikirkan dan mencari-cari hal negatif di pikiran orang-orang yang justru tidak memilikinya. Mereka merasa berhak dan boleh menghakimi pikiran dan niat orang orang yang bahkan sama sekali tidak memiliki niat dan pikiran demikian.

Adapun ibu Saeni, apa yang dilakukannya adalah suatu tindakan penghormatan kepada orang-orang yang tidak berpuasa. Bukan berarti ia tidak menghormati orang yang berpuasa. Tidak, ia tidak bermaksud demikian. Bagi mereka yang berpuasa, silahkan berpuasa, dan ibu Saeni sangat menghormati mereka. Ia tidak pernah marah, ia tidak kecewa, ia tidak akan membenci orang orang yang sebelumnya selalu makan siang di wartegnya namun ketika  bulan puasa tiba,  tidak lagi makan siang di sana. 

Ia juga tidak pernah meminta dan menyarankan pelanggannya untuk tidak berpuasa supaya wartegnya tetap ramai. Ia tidak melakukan itu. Lalu, kenapa ia dan ratusan atau bahkan ribuan penjual makanan seperti ibu Saeni harus diberantas? Bahkan, saya tidak habis pikir ketika membaca di perda itu disebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh ibu Saeni masuk kategori penyakit masyarakat, khusus di bulan puasa. Siapa sebenarnya yang sakit? Masyarakat atau mereka yang membuat dan yang membela aturan demikian?

Ibu Saeni sudah mengajarkan kepada kita arti sebuah penghormatan, bagaimana menghargai orang-orang yang tidak sama dan serupa dengan dirinya. Mereka-mereka yang semestinya tidak boleh diabaikan atau dianggap tidak ada, hanya karena mereka merupakan bagian kecil dari kebanyakan kita. Siapakah kita yang merasa berhak mengabaikan, dan menafikan keberadaan mereka? Apa yang sudah pernah kita lakukan untuk mereka?

Dan atas penghormatannya kepada mereka-mereka yang hendak diabaikan ini, ibu Saeni akhirnya mendapatkan berkah, "Berkah Ramadhan". Yang sangat mungkin juga  merupakan sesuatu yang dicari oleh orang-orang yang berpuasa. Namun ibu Saeni sudah berhasil mendapatkannya, ketika di bulan Ramadhan, ia bisa menghargai, menghormati orang-orang yang tidak berpuasa, tanpa harus menghina, dan melecehkan mereka yang berpuasa. Ia memberi dirinya untuk mengurusi orang-orang yang tidak berpuasa, karena bisa saja mereka yang biasanya mengurus mereka, sedang menjalankan ibadah puasa. Ia menggantikan peran sebagian dari mereka dengan tetap setia melakoni kesehariannya, tentu dengan pengharapan akan memperoleh rezeki dari apa yang dilakukannya.

Ia mengerti apa sejatinya arti berpuasa, ia menahan diri dari dan mengesampingkan egonya dengan tidak berhenti atau puasa melayani orang lain, mereka-mereka yang oleh karena sesuatu dan banyak hal tidak (bisa) berpuasa.

Dan atas penghormatannya, atas tindakannya menghargai orang lain di bulan puasa, ia pun berhak mendapatkan berkah puasa. Berkah Ramadhan yang dicari oleh banyak orang di bulan Ramadhan. Ia menjadi orang yang paling berbahagia di bulan Ramadhan kali ini. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah didapatkan oleh banyak orang yang berpuasa di bulan Ramadhan, bila mereka hanya fokus dengan diri mereka sendiri. Puasa di benak mereka adalah segala hal tentang mereka, bagaimana supaya mereka bisa menjalankan puasa dan akhirnya tiba pada suatu kemenangan, tanpa gangguan, tanpa hambatan. 

Tidak peduli ada orang lain yang terabaikan, ada kebutuhan dan keperluan orang lain yang terenggut. Mereka lebih mementingkan pandangan dan penilaian orang lain terhadap mereka, orang-orang yang taat, taat berpuasa, taat beragama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun