Tidak ada yang tahu kapan Pak Tjiptadinata akan berhenti menulis. Hanya Tuhan yang tahu, bahkan beliau sendiri juga tidak tahu kapan. Boleh saja beliau mengatakan tahun depan. Akan tetapi, tidak ada yang tahu dengan pasti, apakah tahun depan beliau benar-benar berhenti menulis, atau malah tambah " keranjingan".
Saya baru mengenal Pak Tjip di Kompasiana, kebetulan saya juga belum terlalu lama aktif, jadi tulisan beliau hanya beberapa yang sudah saya baca. Tetapi percayalah! Saya tidak iri hati dengan beliau hingga saya menanyakan kapan beliau akan berhenti menulis. Ada beberapa hal yang saya perhatikan dari Pak Tjip: Bergabung 43 bulan yang lalu dengan artikel rata rata 10 per minggu. Dibaca lebih dari 1000 orang per artikelnya, 4 dari 5 artikel beliau masuk kategori pilihan, bahkan 390 diantaranya menjadi headline di kompasiana.
Oh ya, artikelnya selalu diberi judul aktual, artinya jauh dari kategori manipulatif, bombastis, apalagi hoax. Antara judul dengan isi selalu seiring dan seirama, sehingga pembaca tidak merasa terkecoh dan dikibuli. Dari hal ini setidaknya bisa disimpulkan, bahwa beliau memang apa adanya, bukan ada apanya. Tulisannya tidak dimaksudkan untuk mengejar rating, terlihat dari konsistensi beliau dalam menulis tema-tema sederhana, aktual, dan bermanfaat bagi mereka yang membacanya. Dibaca sedikit atau banyak orang tidaklah terlalu penting baginya, terlihat dari kesinambungan beliau dalam menayangkan artikelnya.
Maksud tulisannya jelas, sederhana, tidak perlu tafsir rumit untuk bisa dipahami. Jauh dari plintiran yang sengaja dibuat guna menggiring pembaca kepada suatu opini yang secara nyata maupun terselubung ikut menumpang, sebagaimana dilakukan oleh para penulis bayaran yang berprinsip serupa dengan pengamat politik dengan menjual kicauannya demi fulus dan perhatian.Â
Apa sebenarnya yang anda cari Pak Tjip?
Tentu hanya beliau yang tahu dengan pasti, namun bisa saja beliau juga tidak tahu apa yang sebenarnya dia cari dengan menulis. Mungkin saja beliau ingin menggoreskan lika-liku perjalanan hidupnya. Bisa saja beliau ingin menumpahkan apa yang ada di pikirannya dan mencoba menarik data yang pernah tersimpan di memorinya. Atau bisa juga dia menulis untuk mengatakan sesuatu, kepada seseorang, banyak orang, tentang apa yang dipikirkannya, apa yang diinginkannya dan apa yang tidak diinginkannya. Tentu tetap kembali ke beliau, sebab hanya dia lah yang tahu dengan pasti.
Namun tentu, tidak salah jika saya hendak mencoba mengutarakan apa yang saya pikirkan tentang Pak Tjip, seorang lelaki tua dan artikelnya tentunya. Menjelang usianya yang ke 73, semangat menulisnya tetap  tidak surut. Pastilah ada sesuatu hal yang mendorong atau energi yang membuatnya tetap semangat untuk menulis.  Energi ini tentu ada pemicunya, sehingga beliau tetap memiliki sangat cukup daya atau kekuatan untuk menolak berhenti atau tidak lagi menulis.
Inilah yang sedang saya cari dan sekaligus menjawab pertanyaan saya sebelumnya.
Tentu bukan uang yang menjadi tujuan beliau sehingga ia terus menulis. Setahu saya juga tidak ada bayaran jika tulisan kita ditayangkan di Kompasiana. Sekalipun menjadi headline, terpopuler, tren di google, gress, atau tertinggi dalam penilaian. Entahlah kalau Kompasiana kelak berubah pikiran. Dan ini juga tentulah hanya Tuhan yang tahu.Â
Dan jikalaupun menulis itu segalanya tentang uang, memang seberapa banyak uang yang bisa didapat dari menulis? Apalagi ke depan, dengan semakin terbukanya banyak hal, apalagi yang bisa diharapkan dari menulis? Tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa mustahil mendapatkan  uang dengan menulis. Akan tetapi saya menyikapinya dengan realistis. Bahwa ada satu, dua, atau bebebrapa orang yang bernasib baik dan beruntung dari tulisan, tentu hal itu bisa saja. Akan tetapi kemungkinan seperti itu untuk setiap orang tentu tidak perlu lagi saya jelaskan.
Kalau dibilang mau cari tenar, saya pikir tidak juga. Untuk apa dia tenar? Kecuali kepercayaan beliau mengharuskan ketenaran menjadi syarat untuk mendapatkan satu tempat di kehidupan yang akan datang. Dan juga kita bisa melihat bahwa tulisannya bukanlah menyangkut isu-isu spektakuler, revolusioner dan kontroversial.Â
Misalnya dalam satu tulisan beliau membahas efek  dua kata, yakni terima & kasih. Bukankah hampir setiap hari kata-kata ini terlalu biasa untuk setiap kita? Pernah juga saya baca tentang keterlambatan seorang bapak mengambil keputusan, dan tidak sempat lagi untuk disesali  setelah ia mengabaikan  asuransi. Lalu ketika harus diopname satu bulan di rumah sakit dan akhirnya meninggal, segala yang dipunya habis tak bersisa, dan akhirnya keluarga harus hutang kesana kemari guna biaya penguburannya. Ini juga isu yang sudah terlalu biasa kita dengar? Dan tentu beliau tidak sedang memasarkan produk asuransi untuk kita para pembaca.
Pernah saya membaca artikelnya tentang menjual dagangan dengan harga lebih murah dari harga beli, namun tetap bisa untung. Ada juga curahan hati ketika direndahkan namun tidak merasa rendah. Dan tentu ada sangat banyak lagi, dan memang saya belum sempatkan waktu untuk sekedar membaca judul dari sekian banyak artikelnya.
Bukankah tulisan demikian sangat bernilai, sarat makna dan mencoba  menyingkap rahasia kehidupan yang tersembunyi? Tentu mudah mengkhotbahkan hal demikian, namun akan sangat berbeda jika kita diperhadapkan dengan situasi demikian. Semuanya mengandung makna jika kita tidak mengabaikannya atau tidak menganggapnya sekedar bacaan rutin dan wajib mengisi daftar hadir guna menghargai sesama kompasianer karena kita juga berharap diperlakukan demikian. Dan juga tentunya, artikel tersebut bukan sekedar ditulis untuk dinilai dan diberi komentar: bagus, luar biasa, mencerahkan dan entah apa lagi.Â
Setiap kita akan menghadapi situasi yang sama dengan skala dan format yang mungkin berbeda, namun substansi persoalannya lebih kurang atau mungkin saja sama. Dan artikel beliau ini menjadi satu  inspirasi bagi kita saat berada di situasi yang sama untuk dapat memahami apa yang sedang terjadi dan bagaimana kisahnya orang lain yang pernah mengalami dan berhasil mengatasinya.
Kembali ke pertanyaan, apa yang anda cari Pak Tjip?
Setelah kucoba merenungkan beberapa artikel beliau yang sudah saya baca, kemudian saya mengaitkannya dengan data yang tertera di gambar di atas, saya berspekulasi memberi satu kesimpulan sederhana berikut tentang Pak Tjip, lelaki tua dan artikelnya:
1. Pak Tjip akan terus menulis sampai ia tidak lagi bisa menulis.
2. Pak Tjip akan tetap setia dengan tema- tema sederhana, membumi, aktual, praktis, bermanfaat, Â dan tidak akan terpengaruh dengan isu-isu spektakuler, bombastis namun tidak bermanfaat, meresahkan dan sifatnya sesaat.
3. Sedikit atau banyak dibaca, itu bukanlah hal yang terpenting dalam setiap artikel yang hendak dituliskannya. Sepanjang itu bermanfaat, satu orang pun sangat berharga jika dengan artikel yang ditulisnya orang tersebut memperoleh pencerahan dan mendapatkan kebaikan.
4. Dengan menulis, Pak Tjip sedang membagikan apa yang dimilikinya, sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan uang namun sangat mungkin lebih bernilai dari uang. Sesuatu yang sangat sering diabaikan oleh banyak orang karena manfaatnya seringkali tidak segera terlihat, tidak segera terealisasi dan mungkin saja tidak pernah terpikirkan  karena jalan dan waktu setiap kita tidak  selalu sama. Kita bisa saja tiba di situasi yang sama di waktu yang berbeda. Atau kita bisa menghindar dan tidak terperosok ke satu situasi karena kita pernah membaca dan  mendengar kisah serupa sebelumnya.Â
5. Pak Tjip memiliki hutang kepada banyak orang, lalu dengan menulis ia mencoba melunasi hutang-hutangnya. Pak Tjip menyadari bahwa hidup setiap kita adalah anugerah. Hidup bukanlah segalanya tentang diri kita, pencapaian, keberhasilan, dan kesenangan kita. Hidup kita ada untuk suatu maksud, dan Pak Tjip menyadari bahwa hidupnya pun demikian. Menulis membuatnya semakin dekat dengan maksud itu, ketika melalui tulisannya, orang lain bisa merasakan untuk apa Pak Tjip mampir di kehidupan mereka.
6. Pak Tjip tidak tahu kapasitas beliau batasnya sampai  dimana, namun dia tidak merisaukan hal itu. Selagi masih ada waktu dan kesempatan, ia akan menggunakannya dengan kemampuan dan apa  yang masih ada, dan membuatnya berguna bagi sebanyak mungkin orang.
7. Pak Tjip adalah orang biasa, sama seperti kita. Jika ia mengalami pahit getirnya hidup dan juga ada kesenangan, kegembiraan di dalamnya, kita juga demikian. Walaupun kapasitas dan jalan kita  tidak harus selalu sama, namun tujuan setiap kita tentu sama. Kita ada untuk suatu maksud, dan maksud itu bukanlah segalanya tentang kita, pencapaian, keberhasilan, dan kesenangan  hidup kita semata. Kita ada untuk dan juga menjadi bagian dari mereka-mereka yang pernah mampir di kehidupan kita.
Selamat menjelang usia ke 73 Pak Tjiptadinata, teruslah berkarya, sampai Dia yang ada  di sana berkata: "Hei Tjiptadinata, saatmu usai sudah."
Salam
Pendeta Sederhana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H