Mohon tunggu...
Zulkarnain Nggiu
Zulkarnain Nggiu Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran

(Son of Effendi Nggiu with Sa'dia Martanom) "Tapi tak semua orang Jalannya itu Jalani sendiri Jalan ninjamu Lagipula hidup Sebebas itu Jadilah apapun Yang kamu rindu"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dialog Politik Singkat Malam Itu

5 Januari 2024   07:23 Diperbarui: 5 Januari 2024   07:31 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adobe Stock | #578188975

Malam dengan angin syahdu menerpa pohon yang diam tanpa langkah, bulan berdansa liar dengan ribuan bintang kecil, betapa syahdu dan bisu malam itu. Seorang anak muda dengan gaya yang seakan cool duduk di pinggir jalan sambil menikmati rokok dan bir yang ia beli dengan kumpulan uang recehan.

Menatap kosong jalan yang sunyi dengan hembusan asap rokok tanpa makna, ribuan realita menyerang isi kepalanya tanpa bercanda. Anak muda tersebut mengalami stres negatif dengan realitas yang ada, entah dari segi norma agama, politik dan norma kemanusiaan sekitar.

Ketika anak muda beranjak untuk pergi datang seorang lelaki asing dengan pakaian yang terlihat kumuh bagi anak muda tersebut, menggunakan jaket yang tebal dengan pakaian ciri khas orang rusia zaman dahulu dangan keadaan yang sudah tua, secara perlahana kakek itu mendekati anak muda dan bertanya.

"apakah kamu baik-baik saja anak muda?"

Dengan wajah yang tidak bernergi anak muda tersebut menjawab dengan spontan

"aku lagi banyak masalah, bisakah kau pergi dari sini atau aku yang pergi?"

"kau terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa harus komunikasi dengan baik, apakah semua anak muda di negerimu seperti ini tingkahnya?" kakek itu tersenyum

"jikalau aku cepat mengambil kesimpulan, apakah kau bisa memberi kesimpulan dengan layak terhadap realitas kehidupan?" jawab anak muda

Sambil tersenyum kakek itu duduk di samping anak muda itu dan berkata

"aku tidak bisa memberimu kesimpulan, akan tetapi aku hanya memberimu sebuah penjelasan. Kesimpulan kau maknai sendiri ketika aku selesai menjelaskan apa kau bisa menerima penjelasan ini?"

Dengan wajah yang datar anak muda itu berkata

"jika kau bisa komunikasikan dengan baik aku bisa menerimanya"

"aku bisa menjelaskannya dengan baik coba pahamilah" jawab kakek tersebut

Kakek itu mulai menjelaskan

"aku lihat kau hidup dibawah sistem yang berbeda denganku sedangkan aku hidup dibawah sistem komunisme selama bebrapa generasi, dengan rendahnya hingga tidak adanya peluang ekonomi, pada masa-masa itu masyarakat menemukan bahwa mata uang paling bernilai adalah kepercayaan". Sambil tersenyum dan melanjutkan penjelasan

"dan untuk membangun kepercayaan, kau harus jujur. Artinya ketika kau melihat suatu hal yang buruk, kau mengakatakannya dengan terbuka tanpa perlu permintaan maaf. Kejujuran tidak menyenangkan yang ditunjukkan orang pada masa itu berkaitan dengan fakta sederhana bahwa itu penting untuk bertahan hidup . kau harus tahu siapa yang dapat dipercayai dan siapa tidak bisa, dan kau harus tahu dengan cepat". Masih dengan ekspresi tersenyum dan bertanya pada anak muda itu

"apakah aku masih bisa melanjutkan pembahasaanya?"

"yah, kau bisa melanjutkannya. Pembahasannya cukup menarik buat aku yang berbeda sistem denganmu" sambil mematikan bara api rokok yang tinggal filternya saja

"kau hidup dibawah sistem dengan budaya yang bebas, peluang ekonomi begitu melimpah sangat banyak sehingga jauh lebih bernilai untuk manampilkan diri Anda dengan cara tertentu, bahkan jika itu palsu, ketimbang menjadi apa adanya. Kepercayaan kehilangan nilainya. Tunggu aku nyalakan rokok dulu"

Sambil mengambil sebatang rokok dari saku jaketnya dan menyalakan api untuk sebatang rokok itu untuk mengisapnya dan melanjutkan pembahasan

"penampilan dan keahlian dagang menjadi bentuk ekspresi diri yang lebih menguntungkan. Kau mengenal orang secara dangkal lebih menguntungkan ketimbang mengenal orang sedikit orang secara dekat. Bukan itukah yang kau rasakan dikehidupan realitasmu sekarang?"

"dengan penjelasanmu dari awal aku sudah merasa agak relate dengan kehidupanku sekarang, apakah kau masih punya penjelasan selanjutnya?" Tanya anak muda itu

"yah tentu saja. Di budayamu, tersenyum dan mengatakan hal-hal dengan sopan meskipun kau tidak menyukainya, berbohong demi kebaikan, setuju dengan orang yang sebenarnya tidak anda setuju, menjadi norma." Kakek itu menghembuskan asap rokok dengan makna yang ambigu dan melanjutkan penjelasannya 

"inilah mengapa orang-orang belajar berpura-pura menjadi teman dengan orang yang mereka tidak sukai, membeli barang yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Sisten ekonomi mendukung penipuan macam ini. Sisi buruk dari hal ini ada semacam tekanan di realitasmu untuk menjadi orang yang disukai atau tidak, sehingga orang sering menyusun ulang seluruh kepribadian mereka tergantung pada siapa yang mereka hadapi. Mungkin itu yang bisa aku jelaskan untukmu wahai anak muda"

"apakah mentalku saat ini secara tidak langsung terbentuk dari sistem?" Tanya anak muda

"yah bisa saja. Dan mungkin tidak, karena ada faktor lain, simpulkan saja di rumah ketika kau sebelum tidur, aku lanjut jalan, malam ini terlalu dingin untuk aku" kakek itu berjalan meninggalkan anak muda sambil menikmati rokok yang hampir habis itu

Anak muda itu terdiam sejenak dan seketika ribuan realitas kehidupan di dalam otaknya tertampar, jiwa dengan kekosongan terisi, pandangan yang buram menjadi brutal  dengan penjelelasan kakek tua itu. Seketika anak muda itu berkata pada dirinya sendiri

"mungkin aku terlalu sering menutup telinga untuk kepengtingan diri karena terbawa arus sistem, aku hanya memperbanyak relasi tapi tidak dengan kualitas esensi dalam relasi, hari ini aku akan pulang dan lebih banyak melihat realitas keadaan di penjuru dunia, salah satunya dengan melihat perbedaan dari setiap realitas kehidupan yang ada"

Anak muda itu bergegas meninggalkan tempat yang ia duduki itu menuju rumahnya untuk membuka mata dan hatinya dengan memperbanyak melihat jendela dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun