repost: http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=146 Mengemas Panggung: Hidup, Keganjilan, dan Seni Hari Ini oleh Sunlie Thomas Alexander
: being strikingly out of the ordinary or at variance with some standard real or implied: as a: not suited to the situation; especially: being at variance with good taste or accepted standards (as fashion, design, or color) a bizarre little house, fit home for a troll her bizarre hanging sleeves b: odd, extravagant, or eccentric in style or mode bizarre art forms the early 20th century he became increasingly bizarre in speech c: involving sensational contrasts or marked incongruities: FANTASTIC the bizarre assurance of this mousy little man d: not falling within the bounds of what is recognized as normal: ATYPICAL bizarre bone formation the bizarre test scores indicated a schizophrenic tendency.
(Merriam-Webster’s Unabridged Dictionary, 2000)
DALAM dimensi sosial, hidup memiliki aturan berupa seperangkat nilai yang telah disepakati berdasarkan kepentingan bersama. Entah itu atas nama norma, adat istiadat, etika-moral, agama, maupun hukum positif. Dari sinilah kemudian lahir rambu-rambu yang memberi manusia semacam kerangka sekaligus arahan untuk menentukan: mana yang layak dan tak layak, yang wajar dan tak wajar, normal dan abnormal.
Namun begitu, hidup bukanlah sepotong garis lurus dan manusia tidaklah serta merta dapat menjadi makhluk yang selalu manut. Manusia cenderung memiliki kehendak bebas dan ke-penasaran-an (baca: rasa ingin tahu) yang besar, serta perbedaan persepsi-pemikiran maupun kegemaran dan tendesi psikis-sosial-politik. Dari kecenderungan inilah lantas lahir beragam ‘pelanggaran’ dan ‘penyelewengan’, mulai dari yang rumit hingga kepada hal-hal paling sederhana dan remeh-temeh.
Tentunya tak semua ‘pelanggaran’ dan ‘penyelewengan’ ini sesuatu yang tabu, buruk, dan jahat tatkala berbenturan dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama itu. Kerap ia hanya dipandang sebagai hal aneh, tak lazim, dan eksentrik, sampai kepada anggapan ‘tak waras’ pada batas-batas tertentu yang lebih ekstrem—atau katakanlah, sebuah keganjilan yang melenceng dari kebiasaan umum (pakem); keluar dari bingkai kerangka normatif (sebagaimana coba divisualisasikan oleh desain poster Bizarre on Stage karya Gabriela Giegiel dan Ewa Smyk).
Toh, bagaimanapun keganjilan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Bahkan kadangkala alam pun menyuguhkan potensi subur bagi tumbuh-kembangnya hal-hal ganjil ini melalui fenomena-fenomenanya. Selain persoalan setiap person memang pribadi yang unik, seringkali pula sebuah keganjilan tercipta di lingkungan manusia lantaran perkara momen, situasi, kebiasaan, norma dan adat yang tak terlepas dari karakteristik ruang-waktu. Tanpa pemahaman secara komprehensif dan holistik, cara makan orang China dan Jepang menggunakan sumpit contohnya, adalah satu hal yang ganjil untuk orang Inggris. Tanpa pengetahuan dan empati, pengaulan bebas dan cara berbusana di Barat bagi sebagian orang Indonesia akan menjadi sesuatu yang aneh dan tidak senonoh.
Maka dalam hal ini, globalisme terkadang menimbulkan benturan-benturan kebudayaan di antara masyarakat dunia. Jika dulu melalui kolonisasi, Barat mencoba membakukan Timur sebagai sesuatu yang eksotik, terbelakang, dan tak logis; pasca-kolonial yang terjadi adalah sebuah orientalisme terbalik di mana Timur mencoba melakukan pembakuan atas kebudayaan Barat sebagai ihwal yang tak luhur, materialistik, dan banal. Sehingga dengan demikian, menjelmalah menjadi apa yang dilambangkan sastrawan Indonesia Sanusi Pane: Timur sebagai Arjuna dan Barat sebagai Faust.
Untuk itulah, seni (baca: Bizarre on Stage) di sini seyogianya hadir sebagai dialektika. Ia menyediakan ruang bagi manusia untuk berdialog secara terbuka dan terus-menerus melalui pencarian dan pengumulan tanpa batas—di mana kita bebas bermain-main (tapi) serius sembari berupaya membangun jembatan menuju orang lain. Di atas panggung kesenian-lah, sebuah keganjilan semestinya dengan gampang dan aman bisa diterima, diapresiasi, dan dikritik dengan terhormat. Eksplorasi bukanlah hal tabu, dan kejanggalan secara sah menjadi kekayaan berkreasi yang ‘berusaha’ autentik.
Tanpa berhasrat memaksudkan diri sebagai suatu gerakan pembaharuan dalam seni, Bizzare on Stage justru ikut merayakan kecenderungan seni dekade muktahir, di mana—melalui supremasi abstrak-ekspressionis—seni secara umum kian kehilangan bentuk fisik/ bakunya tatkala situasi jaman yang dialami memang dipenuhi ketidakpastian, ambruknya tata nilai, kekosongan, paradoks dan kekonyolan.
Apabila seni pramodern dan modern cenderung melahirkan karya yang bersifat langgeng perenial, seni kontemporer merayakan realitas efemeral, real time, dan totalitas kesesaatan. Tidaklah mengherankan karenanya jika seringkali seni kontemporer berwajah patologis, konyol, tak senonoh, dan mengganggu, jauh dari citra keindahan. Kegilaan kesenian di sini adalah pantulan dari ketidakwarasan, kekonyolan, dan ketidaksenonohan kehidupan nyata itu sendiri. Dengan cara yang tak lazim itulah, seni kontemporer mengartikulasikan kenyataan yang kerap disembunyikan atau tak disadari.
Seni kontemporer juga tak lagi mesti berbentuk karya rupa, gerak, kata ataupun suara. Ia bisa hadir dalam bentuk apa saja; ungkapan bentuk pun menjadi semena-mena, tanpa rambu, tanpa tata cara. Ia tak lagi representasi beku dan baku dari denyut aliran kehidupan, tetapi presentasi denyut dan gerak aliran kehidupan itu sendiri.
“What if in fact it is not the painter who paints an imagined reality but the imagination is shaping, painting the painter...,” tukas Eva Bubla, salah seorang artis dalam event ini.
Tengoklah, bagaimana dalam seni tari dan seni rupa hari ini: dari olah gerak, olah rupa, olah garis, bentuk dan warna mengerut menjadi eksplorasi tubuh belaka (Yoko Ono, Vito Acconci). Atau musik: dari olah nada, olah harmoni, dinamik, dan ritme menjadi olah bunyi yang berujung pada olah sunyi (John Cage). Teater dari olah cerita, olah jiwa, olah kata, menjadi sekadar gerak keliaran rasa (Antonin Artaud). Begitupun film menghapus gambarnya sendiri menjadi tayangan seluloid kosong (Nam Jun Paik). Dengan demikian seni menjadi perkara esensi, atau dari sudut bentuk menjadi "minimalis". Sehingga pada giliran selanjutnya yang penting adalah "konsep" itu sendiri.
Kalaupun ada yang dianggap penting dalam seni kontemporer barangkali adalah intensionalitas, yang bisa bersifat konseptual-filsafati, sekadar menggedor sensasi, memancing partisipasi, membongkar kecenderungan bawah-sadar, merayakan fantasi, bermain dengan ironi, sekadar parodi, pastiche, dan sebagainya.
Karena itu, pertunjukan Bizarre on Stage pada dasarnya adalah sebuah ruang dan waktu di mana keganjilan dalam kehidupan sehari-hari coba dibaca dan diproduksi ulang secara estetis sebagai tontonan. Sekaligus menjadi parodi untuk panggung pertunjukan lain dan event-event seni internasional lain. Kendati parodi di sini tidaklah serta merta berarti ejekan melainkan lebih kepada ajakan untuk bersama-sama menimbang kembali konsep dan hakikat seni kontemporer pasca avantgardisme itu. Di mana tendensi kritis-dekonstruktif bermunculan dengan kecenderungan bermain-main dan pencampuradukan segala konsep dan bahan, seraya menekankan aspek ‘keperistiwaan’.
Seperti apa saja sesungguhnya karya-karya yang ditawarkan dalam pertunjukan Bizarre on Stage?
Mari kita mencoba mengapresiasi pergulatan para artis dalam event yang berlangsung dua hari, 15-16 Maret 2012 di Auditorium Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan dibuka dengan Electronic Music oleh DJ Mateu B (Day #1) dan Sneaker DJ (Day #2) ini:
Sambutan ganjil ala si Tangan Reget
Aroma ganjil yang kental sudah terasa sejak Anda memasuki gedung pementasan di mana Tangan Reget (Graphic Art & Installation) mencoba meredesain pintu masuk Auditorium Teater ISI Yogyakarta dengan tempelan koran di semua dinding, atap, dan lantainya. Instalasi karya komunitas seni grafis ISI ini selain hendak menyampaikan kritik terhadap gedung-gedung pertunjukan Indonesia yang sering terkesan megah dari luar tapi melompong di dalam, juga berusaha mengingatkan kita kalau keganjilan memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari—begitu dekat dan berseliweran di sekitar kita.
Di mana melalui berita-berita di surat kabar, majalah, media online, dan televisi misalnya, setiap hari kita diserbu oleh beragam peristiwa ganjil, ajaib dan tak masuk di akal, bahkan sebagian di antaranya mengerikan: lihat saja di Makassar seorang ibu tega mengancam anak balitanya dengan pisau dapur gara-gara cemburu pada sang suami, atau bayangkan saja bagaimana di jaman modern ini masih ada manusia memakan daging manusia seperti Soemanto, sampai pada kasus-kasus anyar yang ironis-menggelikan seperti kasus Nunun Nurbaity tersangka korupsi yang divonis oleh dokter menderita penyakit lupa ingatan.
Dalam hal inilah, saya kira Tangan Reget bermaksud mengemas sebuah pertemuan (ucapan welcome) lewat sapaan ‘peristiwa dalam berita’—“sebuah keganjilan ala Indonesia sebagai bagian dari keganjilan dunia”. Selain itu, mereka juga terkesan mencoba bermain-main dengan ruang, terutama dalam hal menata karya-karya grafis yang mereka pamerkan. Tentu saja, ini merupakan sebuah siasat seni yang jitu sekaligus sebuah wacana: ruang pameran adalah seni itu sendiri.
Membaca (lagi) Indonesia yang ganjil
Keganjilan ala Indonesia ini juga dikemas cukup menarik oleh artis-artis lain, baik para seniman asing maupun lokal. Mereka mencoba memotret Indonesia lewat frame of view masing-masing dan menuangkan ‘pembacaan ulang’ itu secara estetis-kritis ke dalam karya.
Anna Pozzali, Magdalena Kubala & Alida Szabo (Instalation Art) contohnya, membuat pos ronda yang khas dan biasa kita temui di kampung-kampung di DIY dan daerah lain di pulau Jawa. Sesuatu yang tak mungkin bisa mereka temukan di negara mereka, di Eropa. Bagi Anna dan Magdalena, pos ronda adalah sesuatu yang ganjil dalam kehidupan di negeri asal mereka yang individualistik. Sehingga mereka pun merindukan kekariban khas Jawa ini. Karena itu, Pos Ronda boleh disebut sebuah karya instalasi yang mengapresiasi budaya Jawa secara positif. Meskipun saya ragu, apakah Anna & Magdalena mengetahui jika sebetulnya bagi orang Indonesia yang berasal dari luar Jawa, pos ronda juga merupakan sesuatu yang langka?
Lalu pertanyaannya berikutnya, benarkah budaya siskamling (ronda) di Jawa tak mengandung sisi negatif dari watak kebudayaan suatu masyarakat? Bukankah di balik spirit gotong-royong dan ihwal keintiman antarmanusia, pos ronda sesungguhnya juga mempresentasikan sifat masyarakat Jawa yang suka berbasa-basi dan memboloskan waktu sesuai dengan falsafah ‘mangan ora mangan kumpul’?
Keindonesiaan yang lain dipotret secara satir oleh Ida Lawrence & Darlane Litaay lewat karya perfomance-visual art-nya yang berjudul Bule. Keduanya mencoba mempertanyakan pandangan orang Indonesia tentang orang kulit putih (bule/ londo)—yang mana, secara tak langsung pandangan dan stigma ini tanpa disadari sesungguhnya berpotensi rasis-merendahkan. Di mata masyarakat Indonesia, ‘bule’ adalah the other, atau liyan dalam bahasa Jawa: Ia bukanlah kita, tapi orang asing yang aneh, banyak uang, tak punya tata krama, bahkan dalam lingkungan tertentu: kafir. Kasus ini ‘bisa jadi’ tak berbeda dengan persoalan rasisme di tempat lain: kasus negro (nigger) di Amerika misalnya, atau inlander dalam konteks jaman kolonial Belanda.
Perkara senada juga diungkapkan secara beramai-ramai oleh Teguh Hartono Patriantoro, Iris Schmidt, Nuno Barreira, Anna Pozzali, Magdalena Kubala, Monika Anna Proba, Dorota Proba, cs melalui karya happening art bertajuk Komodo Island—di mana dalam hal ini kehadiran ‘orang bule’ di Indonesia baik dalam kapasitas turis, pekerja, maupun mahasiswa yang seyogianya dapat menikmati obyek-obyek keindahan alam-budaya dan keramah-tamahan masyarakat Indonesia justru diperlakukan sebaliknya (sebagai obyek) oleh kenorakan masyarakat Indonesia. Contohnya, tak jarang terjadi kasus seorang turis diajak berfoto bersama.
Sedangkan happening art lain, Asongan, karya kolaborasi Alejandro Pino Rojas, Mathew Benuska & Ida Lawrence menggugat perlakuan diskriminatif para pedagang di Indonesia (baca: Jogja), terutama di sini para pedagang asongan yang sering menjual rokok dan lain-lain kepada orang asing (bahkan para perantau sesama orang Indonesia) dengan harga lebih mahal. Sesuatu yang seharusnya tak perlu terjadi di Ngayogyakarta yang selalu mengklaim ‘dirinya’ memiliki budaya luhur, elegan dan istimewa. Apakah hal ini bisa dikategorikan sebagai ‘kejahatan ala wong cilik’?; sehingga mall dan supermarket pun menjadi lebih manusiawi bagi kaum pendatang dan orang asing. Atau inilah salah satu bentuk orientalisme terbalik ala orang Indonesia?
Sementara itu, Adel Boros menyuguhkan kepada kita karya fotografinya: sebuah potret Indonesia yang menampilkan warna bendera Indonesia: merah dengan cabe dan putih dengan beras. Tak jelas di sini, apakah Adel hendak mengatakan bahwa ciri khas orang Indonesia adalah makan nasi dan suka lauk yang pedas?
Ada pula Michal Bielecki yang menceritakan sebuah sudut Indonesia lewat Bathup Singer. Dalam karya ini, ia tak lain mengemas ‘ritual’ menyanyi di kamar mandi yang sering dilakukan dengan riang gembira oleh perempuan Indonesia ke atas pentas, menjadi sebuah pementasan yang unik.
Masih dalam rangka membaca (ulang) Indonesia ini: tiga seniman Yogyakarta, Husni Wardhana, Aphit Chaniago & Nurul Hadi Koclok (Clown Serenade) mencoba menghadirkan sebuah dunia antahberantah dengan menuangkan nuansa gelap di atas panggung. Karya ini notabene adalah sebuah drama tragedi, di mana ironisnya kehidupan seorang pesulap amatir seolah-olah melebur dengan alam magis yang tidak riil.
Membangun kesadaran transkultural: upaya menjembatani keganjilan budaya
Namun toh, berbagai persoalan sosial-budaya-politik yang dikritik oleh para seniman di atas, baik yang timbul akibat benturan karakteristik budaya, keangkuhan lokalitas yang rasis dan primordial, maupun romantisasi terhadap Barat yang berlebihan, tentunya merupakan persoalan dunia hari ini yang masih akan terus menghantui kita pada masa-masa mendatang.
Banyak orang menyangka pluralisme dan multikulturisme merupakan penawar yang manjur. Tetapi nyatanya tidak. Tengoklah bagaimana di tengah pesatnya migrasi manusia, benda dan tanda—etnosentrisme, nasionalisme, dan xenofobia justru bangkit secara membabi buta di banyak tempat.
Globalisme—proses penunggalan mendunia di bawah kepentingan ekonomi—bukannya tak mengundang resiko. Seringkali kenyataan menunjukkan alih-alih mempersatukan dunia, globalisasi justru meningkatkan fanatisme lokal, dan tidaklah selalu dengan cara yang baik.
Karena itu, tak heran jika dalam pengantar bukunya tentang kekuatan globalisasi dalam sepakbola, “How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization” (2004), sembari mengajukan pertanyaan perihal masa depan dunia, Franklin Foer pun menunjukkan betapa banyak orang memeluk erat tradisionalisme karena takut globalisasi akan menggerus budaya lokal (di Indonesia misalnya, kita kerap mendengar anjuran “marilah kembali ke akar tradisi” atau istilah “kepribadian nasional”).
“Beredar di antara para penggemar edan, penguasa gangster, dan pencetak gol Bulgaria yang sinting, saya terus-terusan memperhatikan bagaimana globalisasi telah gagal melenyapkan kultur, pertumpahan darah, dan bahkan korupsi lokal..,” kata wartawan The New Republic ini.
Karena itu, kesadaran multikultural tidaklah cukup meskipun ia menjanjikan dialog dan usaha ke arah saling memahami. Begitu pula dengan pluralisme; sebab sebuah proses peleburan identitas di padang pasir yang melenyapkan orisinalitas suatu budaya sebagaimana terjadi pada tokoh utama novel “Lawrence of Arabia, The Seven Pillars of Wisdom” bukanlah jawaban yang tepat untuk persoalan-persoalan dunia hari ini yang telah sebegitu kompleks.
Di sini, yang diperlukan adalah suatu kesadaran transkultural: sebuah usaha keluar-masuk dengan bebas dan enjoy berbagai lingkungan kebudayaan. Di mana bukan saja sebuah saling pengertian yang akan terbangun tetapi juga saling menyerap dan menajamkan.
Transkulturalisme adalah sebuah ‘dunia-antar’: secara sederhana, ia bisa jadi adalah seorang Indonesia, makan di restoran Italia, mengenakan kemeja buatan Prancis, jeans made in Amerika, jam tangan produksi Jepang, dan sepatu kulit Jerman, namun tak gagap berbicara bahasa Madura. Kesadaran “transkulturalisme”—meminjam penyair dan kritikus/ kurator seni Indonesia Nirwan Dewanto—lahir dari reaksi seseorang yang menyadari keberagaman lingkungan budaya dan memilih merangkap sekian banyak lingkungan budaya itu untuk menguji lingkungan budaya dari mana ia berasal.
Pada pertunjukan Bizzare on Stage: Flamenpati, tarian flamengo yang dibawakan dengan mengenakan pakaian Bali oleh Angela Lopez Lara adalah salah satu karya seni panggung yang menurut saya mencerminkan kesadaran transkultural ini. Demikian pula lagu False Adress (‘Alamat Palsu’ dalam bahasa Inggris) yang dinyanyikan oleh trio electon Helena Dad’ova, Adam Malik, dan Yohanes Tri Fajar dalam format pengantin Indonesia, ataupun Sonata Javanica yang dibawakan secara keroyokan oleh sejumlah artis (Leinad, Monika Anna Proba, Dorota Proba, Eva Bubla, Magdalena Kubala, Anna Pozzali, Vaida Kia, Suzanne, Ecaterina, Saori Yago, Angela Lopez Lara, dll).
Bahkan, betapa tampak pula bagi saya dalam karya-karya ini, usaha para artis membangun kesadaran transkultural lebih lanjut. Di mana berkesenian adalah sebuah usaha memproduksi sekaligus memparodikan diri. Karena bagaimanapun karya kepengrajinan seorang seniman tidaklah serta merta menjadi karya adiluhung yang lahir sebagai buah kreativitas menakjubkan individual. Melainkan akan selalu (dan pada akhirnya) merupakan: Pertama, buah modernisme artistik di belahan dunia mana pun. Kedua, hasil disiplin keilmuan di ruang studi yang telah berlangsung berabad-abad lamanya.
Seperti halnya karya-karya prosa sastrawan Argentina, Jorge Luis Borges yang menulis ulang kisah tokoh-tokoh masyhur sebagai parodi dengan adonan unik antara fakta, fiksi dan sikap yang seolah-olah ilmiah; Angela, Helena, Leinad, dll juga tak segan-segan memperolok proses kerja kreatif seniman: memalsu dan menyelewengkan karya orang lain secara kreatif tanpa hasrat mencari pengakuan. Sehingga di sini penciptaan seni bukanlah hal sakral yang lahir dari rahim inspirasi suci seorang artis yang bebas dari keterpengaruhan. Tetapi seni—seperti juga sastra—seyogianya adalah jalinan intertektualitas mahaluas, yang pada giliran berikutnya merupakan awal dari proses pemaknaan terus-menerus di ruang publik.
Karena itu, seniman seharusnya tidaklah canggung menerima seluruh khazanah dunia sebagai warisannya yang wajar.
Eksperimen-eksperimen rada nekat
Buat seorang Ewelina Eve Smereczyńska: Bizarre is free expression of our so-called ‘abnormalities’ through the act of exposing our true nature. It can take place when we, consciously or unconsciously, abandon all social and political boundaries and we are not afraid of being judged or insulted. Karena itu, demi karyanya yang berjudul Laboratorium, seniman ini pun nekat mengemas seni pertunjukan sendirian di lokasi lain di luar Auditorium Teater ISI yang menjadi tempat pentas Bizarre on Stage. Tak tanggung-tanggung ia akan bermain selama lima jam penuh dan yakin jika pertunjukannya tersebut tidaklah selalu membutuhkan penonton.
Upaya mengkawinkan seni rupa dengan musik juga dilakukan oleh Matilda Komodo (????), Bintang, dan Luqi yang mencoba menciptakan sebuah video instalasi dengan bunyi-bunyian magis.
Berikutnya Opera Jogja dari Michal Bielecki membawa pesan bahwa sebuah musik tidaklah mesti selalu membutuhkan panggung konvensional apalagi yang akbar seperti halnya sebuah panggung opera, tetapi semua tempat semestinya tak haram menjadi tempat pertunjukan, termasuk bangku penonton.
Perkara-perkara ganjil lainnya
Meneruskan pembahasan saya: karya-karya yang lain berupaya mengakomodasi keganjilan secara lebih umum. Nurul Hadi (Performance Art) berperan jadi pengemis di samping ticket box untuk meneror mentalitas para penonton yang sedang antri membeli tiket. Alejandro dalam ‘El Mercade De?: Break with Cellphone Ring’ tampil menggugat ketergantungan ponsel: di mana kemajuan teknologi saat ini membuat manusia tidak bisa lepas lagi dari penggunaan telepon genggam, kendati dering ponsel terkadang merupakan hal yang sangat mengganggu keseharian dan aktivitas kita.
Sementara itu, R.A Yopie berusaha meneror kesabaran penonton dengan menampilkan perfomance memancing di atas panggung, Sammi Rian Afanto berakting sebagai anak muda yang tidak memiliki kemampuan tetapi selalu kepingin tenar—sebuah kritik atas fenomena kaum muda Indonesia kontemporer yang tersihir oleh dunia entertainment dan ajang pencarian bakat yang serba instan.
Selanjutnya, karya perfomance Iris Schmidt, Nuno Barreira, Michal Bielecki bertajuk Yes, I Do! mengandung pesan bahwa sebagai manusia kita senantiasa memiliki pilihan untuk hidup kita, termasuk dalam hal ini pilihan untuk menikah dan tak menikah, sebagaimana juga halnya: ‘option for music”. Untuk ini Iris menyampaikannya lewat kata-kata sederhana: No matter if we want to marry or not, if music is our dream, or we want to celebrate our life in our own way because we love it. The most bizarre thing in this ONE life is if we not follow our dream.
Kangen Punk dari Cinemarebel mencoba memparodikan musik pop dengan video klip berisi anak-anak muda berpenampilan ala kaum punk yang sedang bermain musik pop. Unsur humanis yang ingin diangkat mereka di sini adalah bahwa kaum punk juga manusia. Namun untuk menghindarinya dari sebuah screening film, mereka membalut penayangan video klip tersebut dengan aksi perfomance di atas pentas yang melibatkan para aktor dalam video klip itu sendiri. Karya yang lain lagi dari mereka, The Artist berkisah tentang film maker yg perfeksionis. “Kita komunitas film maker, jadi ketika bikin pementasan, yang muncul tetap dalam koridor new media, setidaknya isu yang kami angkat adalah seputar itu…,” kata salah seorang dari mereka.
Sedangkan Angry Musician (Andreas Marcus Moses) mengemas kemarahan sebagai pertunjukan, seraya mengingat kita kembali betapa ganjilnya kejiwaan manusia sehingga kekerasan pun bisa menjadi satu tontonan yang menghibur (pertengkaran tetangga, berita televisi dan film action).
Terakhir, di samping Ofy Nuhansyah yang akan menampilkan happening art berjudul Tukang Foto, ada pula sebuah penampilan yang sangat biasa sekali, paling normal, wajar dan konvensional, yaitu persembahan Tarian Saman—sebuah tarian tradisional dari Aceh yang dibawakan oleh kelompok tari Samantraya (UGM Yogyakarta). Tapi dengan begitu, ia justru menjadi sebuah pertunjukan yang sangat bizarre (ganjil) di tengah karya-karya ganjil dalam Bizarre on Stage, karena ketidakganjilannya itu.
Ah, mari kita rayakan bersama!
Tulisan ini merupakan catatan kuratorial untuk “Bizarre on Stage: Jogja International Art Perfomance 2012” yang berlangsung 15-16 Maret 2012 di Auditorium Jurusan Teater ISI Yogyakarta.Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H