Tengoklah, bagaimana dalam seni tari dan seni rupa hari ini: dari olah gerak, olah rupa, olah garis, bentuk dan warna mengerut menjadi eksplorasi tubuh belaka (Yoko Ono, Vito Acconci). Atau musik: dari olah nada, olah harmoni, dinamik, dan ritme menjadi olah bunyi yang berujung pada olah sunyi (John Cage). Teater dari olah cerita, olah jiwa, olah kata, menjadi sekadar gerak keliaran rasa (Antonin Artaud). Begitupun film menghapus gambarnya sendiri menjadi tayangan seluloid kosong (Nam Jun Paik). Dengan demikian seni menjadi perkara esensi, atau dari sudut bentuk menjadi "minimalis". Sehingga pada giliran selanjutnya yang penting adalah "konsep" itu sendiri.
Kalaupun ada yang dianggap penting dalam seni kontemporer barangkali adalah intensionalitas, yang bisa bersifat konseptual-filsafati, sekadar menggedor sensasi, memancing partisipasi, membongkar kecenderungan bawah-sadar, merayakan fantasi, bermain dengan ironi, sekadar parodi, pastiche, dan sebagainya.
Karena itu, pertunjukan Bizarre on Stage pada dasarnya adalah sebuah ruang dan waktu di mana keganjilan dalam kehidupan sehari-hari coba dibaca dan diproduksi ulang secara estetis sebagai tontonan. Sekaligus menjadi parodi untuk panggung pertunjukan lain dan event-event seni internasional lain. Kendati parodi di sini tidaklah serta merta berarti ejekan melainkan lebih kepada ajakan untuk bersama-sama menimbang kembali konsep dan hakikat seni kontemporer pasca avantgardisme itu. Di mana tendensi kritis-dekonstruktif bermunculan dengan kecenderungan bermain-main dan pencampuradukan segala konsep dan bahan, seraya menekankan aspek ‘keperistiwaan’.
Seperti apa saja sesungguhnya karya-karya yang ditawarkan dalam pertunjukan Bizarre on Stage?
Mari kita mencoba mengapresiasi pergulatan para artis dalam event yang berlangsung dua hari, 15-16 Maret 2012 di Auditorium Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan dibuka dengan Electronic Music oleh DJ Mateu B (Day #1) dan Sneaker DJ (Day #2) ini:
Sambutan ganjil ala si Tangan Reget
Aroma ganjil yang kental sudah terasa sejak Anda memasuki gedung pementasan di mana Tangan Reget (Graphic Art & Installation) mencoba meredesain pintu masuk Auditorium Teater ISI Yogyakarta dengan tempelan koran di semua dinding, atap, dan lantainya. Instalasi karya komunitas seni grafis ISI ini selain hendak menyampaikan kritik terhadap gedung-gedung pertunjukan Indonesia yang sering terkesan megah dari luar tapi melompong di dalam, juga berusaha mengingatkan kita kalau keganjilan memang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari—begitu dekat dan berseliweran di sekitar kita.
Di mana melalui berita-berita di surat kabar, majalah, media online, dan televisi misalnya, setiap hari kita diserbu oleh beragam peristiwa ganjil, ajaib dan tak masuk di akal, bahkan sebagian di antaranya mengerikan: lihat saja di Makassar seorang ibu tega mengancam anak balitanya dengan pisau dapur gara-gara cemburu pada sang suami, atau bayangkan saja bagaimana di jaman modern ini masih ada manusia memakan daging manusia seperti Soemanto, sampai pada kasus-kasus anyar yang ironis-menggelikan seperti kasus Nunun Nurbaity tersangka korupsi yang divonis oleh dokter menderita penyakit lupa ingatan.
Dalam hal inilah, saya kira Tangan Reget bermaksud mengemas sebuah pertemuan (ucapan welcome) lewat sapaan ‘peristiwa dalam berita’—“sebuah keganjilan ala Indonesia sebagai bagian dari keganjilan dunia”. Selain itu, mereka juga terkesan mencoba bermain-main dengan ruang, terutama dalam hal menata karya-karya grafis yang mereka pamerkan. Tentu saja, ini merupakan sebuah siasat seni yang jitu sekaligus sebuah wacana: ruang pameran adalah seni itu sendiri.
Membaca (lagi) Indonesia yang ganjil
Keganjilan ala Indonesia ini juga dikemas cukup menarik oleh artis-artis lain, baik para seniman asing maupun lokal. Mereka mencoba memotret Indonesia lewat frame of view masing-masing dan menuangkan ‘pembacaan ulang’ itu secara estetis-kritis ke dalam karya.