Hal ini pun ikut berdampak pada empat situs wisata tsunami lainnya seperti PLTD Apung, Kuburan Masal Siron, Makam Syiah Kuala, dan Kapal di Atas Rumah (Lampulo) yang juga terikat dalam satu MoU. Sementara Perjanjian Kerjasama telah berakhir tepat 7 Mei 2018.
Kemunduran tak hanya dari program dan kegiatan, fasilitas publik seperti lift, toilet bersih, fisik gedung yang bocor dan lain-lain, fungsi pelayanan yang belum maksimal, serta kinerja pegawai yang belum berstandar internasional menjadi permasalahan serius bagi Pemerintah Aceh untuk lebih fokus memperhatikan museum ini.
Bagaimana pun Museum Tsunami telah menjadi ikon Aceh yang menyedot perhatian dan minat wisatawan. Masyarakat pun semakin kritis dan cerdas dalam memberi penilaian.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh mengambil kebijakan tegas terhadap oknum yang 'bermain' ditengah polemik politik di Aceh dan lebih menaruh perhatian pada museum yang manjadi simbol pengingat dan pembelajaran tentang musibah maha dahsyat gempa dan tsunami yang pernah terjadi di Aceh dan dunia 13 tahun yang lalu.(AJ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H