Politik Nepotisme dan 'permainan' anggaran Museum Tsunami Aceh (baca: Museum Tsunami Aceh 'Ladang' Politik dan Nepotisme dan Terbongkar Dana 'Siluman' Museum Tsunami Aceh) menjadi "warna" yang tengah meronakan museum ini.
Kemewahan gedung tak mencerminkan kemewahan pengelolaan dan manajemen museum. Setelah polemik dikeluarkan SK Nomor 430/70/2018 tentang Penunjukkan Koordinator Pengelola Museum Tsunami Aceh oleh Gubernur Aceh awal tahun 2018, museum ini tak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Malah bergerak mundur dari langkah pembaruan dari tahun 2017.
Kemunculan nominal 'siluman' dalam RKA SKPA Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh tanpa dasar yang jelas membuktikan 'permainan cantik' dalam balutan nepotisme di museum ini. Anggaran yang awalnya direncanakan untuk perbaikan museum dan revitalisasi 'di-daur ulang' kembali oleh oknum yang memiliki kepentingan terhadap museum.
Seperti dalam Program  Pelayanan Administrasi Perkantoran Disbudpar Aceh tercantum gaji Koordinator Museum Tsunami Aceh Rp 4 Juta per bulan. Padahal yang menduduki jabatan tersebut merupakan seorang pegawai negeri sipil (PNS) golongan III/c yang setiap bulannya sudah memiliki gaji tetap, tunjangan, dan lain-lain. Sementara dalam SK yang dikeluarkan oleh Gubernur Aceh tersebut, tidak dijelaskan secara rinci tugas dan tanggung jawab untuk jabatan ini dengan dasar gaji sebesar itu.
![Foto 1: RKA SKPA Disbudpar Aceh 2018](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/14/screenshot-2018-04-25-10-12-47-720-com-google-android-apps-docs-5af9800bf133446adb0df684.png?t=o&v=770)
Anehnya, jabatan ini diberikan kepada staf kontrak biasa yang pada akhir tahun 2017 dimutasikan ke objek wisata lain dan di tahun ini tidak lagi diperpanjang kontrak kerjanya. Hanya karena status 'anak' dari keluarga oknum yang bermain dalam politik nepotisme ini.
Lebih aneh lagi, SK Koordinator ini dikeluarkan pada akhir Februari 2018, namun hitungan gaji berlaku surut hingga setahun penuh. Sangat jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, jabatan koordinator Museum Tsunami menjadi 'tugas pengabdian' bagi para pimpinan sebelumnya yang berstatus pegawai negeri sipil alias tidak digaji!
![Foto 2: RKA SKPA Disbudpar Aceh 2018](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/14/img-20180426-103510-5af981f15e1373693833cdf2.png?t=o&v=770)
Dalam perjalanan operasional museum yang semakin mundur, peran koordinator dan wakil hanya sebatas 'nama' dalam sebuah struktur. Ini terlihat sejak awal SK tersebut dikeluarkan pada bulan Februari hingga Mei 2018 tidak ada program atau kegiatan yang dilakukan oleh manajemen museum.Â
Pejabat tersebut hanya 'sibuk' mengurusi internal kedisiplinan pegawai melalui absensi yang ketat dan jadwal buka tutup museum (baca: Â Museum Tsunami Aceh Standar Internasional?). Sangat jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang ramai pemberitaan media dan program-program yang berkelanjutan. Seakan museum ini 'tertidur' dalam kelelahan yang panjang..
Isu perubahan status museum menjadi UPTD pun bergerak stagnan. Seakan tidak ada 'air hujan' di tengah kekeringan. Pengelolaan semakin tidak jelas dengan isu berakhirnya Perjanjian Kerjasama (MoU) antara Pemerintah Aceh dengan Badan Geologi, Kementerian ESDM.
Hal ini pun ikut berdampak pada empat situs wisata tsunami lainnya seperti PLTD Apung, Kuburan Masal Siron, Makam Syiah Kuala, dan Kapal di Atas Rumah (Lampulo) yang juga terikat dalam satu MoU. Sementara Perjanjian Kerjasama telah berakhir tepat 7 Mei 2018.
Kemunduran tak hanya dari program dan kegiatan, fasilitas publik seperti lift, toilet bersih, fisik gedung yang bocor dan lain-lain, fungsi pelayanan yang belum maksimal, serta kinerja pegawai yang belum berstandar internasional menjadi permasalahan serius bagi Pemerintah Aceh untuk lebih fokus memperhatikan museum ini.
Bagaimana pun Museum Tsunami telah menjadi ikon Aceh yang menyedot perhatian dan minat wisatawan. Masyarakat pun semakin kritis dan cerdas dalam memberi penilaian.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh mengambil kebijakan tegas terhadap oknum yang 'bermain' ditengah polemik politik di Aceh dan lebih menaruh perhatian pada museum yang manjadi simbol pengingat dan pembelajaran tentang musibah maha dahsyat gempa dan tsunami yang pernah terjadi di Aceh dan dunia 13 tahun yang lalu.(AJ)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI