Mohon tunggu...
Adriansyah Abu Katili
Adriansyah Abu Katili Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo.

Saya dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Memiliki hobi membaca dan menulis. Saya membaca buku fiksi maupun non fiksi dan puisi. Saya juga suka menulis, baik tulisan ilmiah, ilmiah populer, fiksi, dan puisi.,

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bahasa sebagai Alat Ungkapan Kesadaran Reflektif

24 Juni 2023   19:14 Diperbarui: 16 April 2024   05:41 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi


BAHASA SEBAGAI ALAT UNGKAPAN KESADARAN REFLEKTIF

Adriansyah A. Katili

adriansyahkatili@ung.ac.id

Selama ini bahasa lebih dikenal sebagai media komunikasi. Sebagai media komunikasi, bahasa memediasi dua orang yang saling mengirim pesan. Ketika dua orang sedang berbicara,mereka sedang menyampaikan pesan kepada pendengar melalui bunyi-bunyi bahasa yang mengandung makna. Pendengar kemudian mengartikan pesan itu.

Namun bahasa ternyata berperan lebih dari sekedar media komunikasi. Bahasa bisa menjadi ekspresi perasaan, baik perasaan bahagia, senang, sedih, marah, dan perasaan lainnya. Bahasa juga bisa menjadi alat ungkapan kesadaran reflektif manusia.

Apa itu kesadaran reflektif? Kesadaran reflektif adalah kesadaran manusia yang dikemukakan oleh seorang filsuf beralirang eksistensialisme dan berkebangsaan Prancis, Jean Paul Sartre. Namun sebelum membahas kesadaran reflektif, ada baiknya saya membahas dulu hakekat filsafat eksistensialisme.

Sebagaiman diketakan di atas, filsafat eksistensialisme keajarkan oleh filsuf bernama Jean Paul Sartre. Filsafat membahas hakekat keberadaan manusia. Eksistensialisme berasal dari kata eksis, atau berada. Menurut filsafat ini, ada terdiri dari dua jenia, yaitu Yang pertama adalah ada dalam dirinya atau L’Etre-en-soi. Ada jenis ini adalah ada yang tidak memiliki kesadaran, dia cukup berada dan tidak memerlukan apa-apa. Yang memiliki ada jenis ini adalah benda mati atau non-manusia, misalnya kursi, meja, rumah, dll.

Ada jenis kedua adalah ada bagi dirinya atau L’etre-pour-soi. Ada jenis ini adalah ada yang lebih tinggi dari ada yang pertama. Ada jenis ini disertai kesadaran, kesadaran sebagai individu. Individu yang hadir di dunia. Ada jenis ini memerlukan energi untuk bertahan, maka dia butuh makan, minum, ada jenis ini dimiliki oleh manusia.

Ada jenis kedua disertai kesadaran, maka Sartre membagi kesadaran menjadi dua. Kesadaran yang pertama adalah kesadaran non-reflektif. Kesadaran non-refelektif adalah kesadaran tingkat rendah. Kesadaran ini tidak disertai refleksi diri, tentang makna keberadaan. Dia hanya sadar bahwa dia ada, tapi tidak ada refleksi tentang mengapa dia ada, untuk apa dia ada, apa hubungan ada-nya dengan yang lain.

Kesadaran kedua adalah kesadaran reflektif. Kesadaran ini lebih tinggi daripada kesadarang yang pertama. Kesadaran ini disertai refleksi diri, tentang makna keberadaan. Dia sadar sebagai bagian dunia, sebagai subyek sekaligus obyek. Sebagai subyek dia bisa memperngaruhi dunia, sebagai obyek di juga dipengaruhi dunia. Dia adalah subyek bagi obyek individu lainnya dan sebaliknya.

Sebagai individu, dia memiliki kebebasan. Maka dalam hubungannya dengan dunia dan individu lainnya, dia mempertahankan kebebasannya ini dinarasikan oleh Sartre seperti orang yang berjanji dengan seseorang untuk bertemu di suatu taman untuk keperluan bisnis. Orang itu datang menepati janjinya, dia datang ke taman itu. Namun ternyata orang yang berjanji tidak datang. Pada saat itu timbul kesadaran yang bersifat reflektif tentang mengapa dia berada di taman itu, dan hubungannya dengan individu lain yang telah berjanji dengannya. Dia menjadi subyek yang datang ke taman itu sebagai sekaligus sebagai obyek dari penjanjian. Sebagai obyek, dia terkena dampak dari perjanjian itu.

Kesadaran jenis kedua ini hanya dimiliki oleh manusia. Manusia satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran dan mampu mereflekasika kesadarannya itu. Makhluk lain, semisal hewan tak mampu berkesadaraan, apalagi kesadaran refelktif.

Sartre juga membahas manusia yang sebagai makhluk berkesadaran reflektif menghadapi subyek lain yang mengancam eksistensinya. Ini diungkapkan oleh Sartre sebagai being and nothingness. Individua tau subyek lain yang mengancam eksistensi manusia sebagai makhluk yang berkesadaran reflektif menghadapi ancaman subyek lain yang menjauhkannya dari ada atau being menjadi tiada atau nothingness.  Dengan kata lain manusia sering mengalami pengalaman atau menghadapi situasi di mana terjadi tarik menarik antara being and nothingness.

Ungkapan Kesadaran Reflektif dalam Bahasa

Sekarang kita lihat bagaimana kesadaran reflektif ini terungkap dalam bahasa. Untuk itu saya pilih ungkapan dalam karya sastra, dalam hal ini novel dan puisi. Untuk kita lihat yang pertama dalam puisi karya Chairil Anwar berjudul Aku.

 

Aku

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Judul puisi ini adalah Aku dan dimulai dengan kata yang sama. Judul dan kata awal ini menunjukkan bahwa penyair berbicara tentang diri. Dengan kata ini tersirat makna bahwa Aku adalah subyek sekaligus obyek. Aku adalah subyek yang membicarakan dan yang dibicarakan sebagai obyek juga adalah Aku. Ada apa dengan aku? Ini dapat dilihat pada larik-larik selanjutnya.

Pada larik selanjutnya, Chairil Anwar mengatakan bahwa bila sampai waktunya dia tidak mau dirayu. Kata merayu identik dengan membujuk dengan tujuan untuk menaklukkan. Chairil Anwar mengatakan bahwa dia tidak mau menjadi obyek rayuan karena itu berarti dia tunduk menjadi obyek individu lain. Ini menunjukkan betapa Chairil Anwar dengan kesadaran reflektifnya mengenai keberadaan dirinya sebagai individu, bahkan menganggap reayuan adalah upaya menjadikan subyek menjadi obyek. Sebuah kesadaran reflektif yang sangat ekstrim.  Larik selanjutnya yang berbunyi Tidak juga kau menunjukkan ketegasan tidak mau tunduk pada pihak lain.

Chairil Anwar terus menyatakan kesadaran reflektifnya sebagai Binatang jalang. Binatang jalang identik dengan binatang liar, yang tak mau takluk. Bahkan dia rela terbuang dari kumpulannya, tak takut ditembusi peluru. Ini adalah wujud kesadaran reflektif yang sangat individual. Diri yang tak mau jadi obyek, menjadi obyek dirasakan sebagai ancaman terhadap diri sebagai subyek yang menguasai dirinya sendiri. Subyek yang tak mau mati oleh peluru yang menembus kulit, dia lari sambil membawa luka dan bisa yang pedih dan perih. Dia berlari untuk menghilangkan rasa pedih dan perih demi dia yang mau hidup seribu tahun lagi.

Sebagai makhluk yang berkesadaran reflektif, Chairil Anwar tidak mau kalah, tidak mau terlempar dari being menjadi nothingness. Dia sampai pada keinginan yang kuat yang dinyatakan secara bombastin Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Bahasa yang digunakan oleh Chairil Anwar jelas sangat menunjukkan kesadaran reflektif yang sangat kuat, kesadaran reflektif yang dibentuk oleh kesadaran individual yang memiliki makna bagi dirinya sendiri, bahwa sebagai sebuah individu dia memiliki kebebasan yang selalu diancam oleh individu lain. Kesadaran individualistik yang bagi ukuran Bangsa Indonesia termasuk sangat esktrim, terkesan liar tak terkendali. Nampak bahwa Chairil Anwar siap dengan konsekwensi individualisme ini, siap membawa luka pedih dan perih yang dibawa berlari. Berlari adalah metafora dari pemberontakan terhadap kekuasaan yang bagi Chairil akan menariknya ke arah ketiadaan.

Sekarang kita lihat bagaimana bahasa mengekspresikan kesadaran reflektif dalam novel. Kita lihat dalam novel The Old Man and the Sea. Novel ini bercerita tentang seorang nelayan tua bernama Santiago. Dia adalah seorang nelayan tua yang selalu melaut dan kembali tanpa membawa hasil. Salah satu ungkapan yang terkenal adalah Every day is a new day. Ungkapan itu bermakna Setiap hari itu baru apa makna ungkapan itu?

Kalimat itu terucap oleh Santiago di tengah laut, saat dia sedang melaut sendiri. Dia sedang merefleksi keadaannya yang selalu tidak berhasil membawa hasil melaut. Namun dia sedang membangun optimistiknya, bahwa dia adalah nelayan tua dan bahwa setiap hari itu baru. Dia adalah subyek yang melewati hari demi hari, dan suatu saat dia akan menjadi subyek yang berhasil, seperti katanya dalam ungkapan selanjutnya It is better to be lucky. But I would rather be exact. Then when luck comes you are ready. Di sini dia menjadi individu yang berkesadaran reflektif bahwa dia harus berusaha untuk berhasil dan siap untuk berhasil.

Penutup

Sebagai penutup tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi sebagaimana saya ungkapkan di awal tulisan ini. Bahasa bisa juga menjadi media ekspresi kesadaran reflektif manusia, setidaknya dalam dua karya sastra yang saya tampilkan di atas hal ini jelas. Kesadaran reflektif sebagai individu yang memiliki kebebasan, harapan, yang berperan sebagai subyek dan obyek dari dunia, tampak terungkap dalam bahasa.

ooOOoo

Catatan:

Penulis adalah dosen pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo. Dia merupakan alumni S1 Jurusan Sastra Inggris Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (kini Makasaar). S2 Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Malang, dan S3 Linguistik Terapan Universitas Negeri Gorontalo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun