Paska pemerintahan Kartikeyasingha (648-674), Kalingga dikuasai oleh permaisurinya yakni Ratu Jay Shima (674-695). Menjelang akhir pemerintahan Ratu Jay Shima, Kalingga dibagi menjadi dua bagian yakni Kalingga Utara yang diwariskan pada putrinya yakni Dewi Parwati. Sementara, Kalingga Selatan yang diwariskan pada putranya yakni Narayana. Kelak Kalingga Utara dikuasai oleh Sanjaya (cucu Dewi Parwati atau putra Sannaha) dan Kalingga Selatan dikuasai Dewa Singha (putra Narayana). Semasa pemerintahan Dewasingha, Kalingga Selatan berhasil dikuasai oleh Sanjaya melalui jalan perang.
Sesudah merebut Kalingga Selatan, Sanjaya yang pernah berkuasa di Sunda dan Kalingga Utara tersebut menjabat sebagai raja Medang dengan ibukota di Bhumi Mataram (Medang i Bhumi Mataram) pada tahun (754-760). Semasa menjadi raja, tahta kekuasaan Sanjaya digulingkan oleh Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (Tejahpurnapane Panamkarana) yang berasal dari Dinasti Sailendra.
Sesudah Dyah Pancapana menjadi raja, Medang dikuasai oleh raja-raja dari Dinasti Sailendra, yakni: Rakai Panunggalan Dyah Daranindra, Dyah Samaragrawira, Dyah Samaratungga atau Dyah Samaragriwa, dan Pramodhawardhani. Pada era pemerintahan Pramodhawardhani inilah, Medang pula dikuasai oleh keturunan Sanjaya yakni Rakai Pikatan Mpu Manuku. Mengingat Mpu Manuku dengan Medang dengan ibukota Mamrati (Mamratipura) menjadi suami Pramodhawardhani.
Di masa pemerintahan Mpu Manuku (versi pertama: 838-855 atau versi kedua: 840-856), terjadilah kudeta yang dilakukan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Akan tetapi, pemberontakan Mpu Kumbhayoni tersebut berhasil dipadamkan oleh putra bungsu Mpu Manuku yakni Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Karena prestasinya itu, Dyah Lokapala dinobatkan sebagai raja Medang (856-880).
Dinobatkannya Dyah Lokapala sebagai raja Medang kiranya membuat cemburu Rakai Gurunwangi Dyah Saladu. Karenanya Dyah Saladu yang mendapat dukungan Rakai Limus Dyah Dewendra melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dyah Lokapala. Akibatnya Dyah Lokapala turun tahta.
Menangggapi pemberontakan Dyah Saladu, Rakai Watuhumalang Mpu Teguh (putra Mpu Manuku dan selir Mpu Tamer) yang menjadi raja Medang pada tahun 896-899 mengutus Rakai Watukura Dyah Balitung menantunya untuk menumpas pemberontakan tersebut. Berkat ketangguhan Dyah Balitung, pemberontakan Dyah Saladu dapat dipadamkan. Dyah Balitung pun menjadi raja Medang dengan ibukota di Poh Pitu sesudah pemerintahan Mpu Teguh.
Ketika menjadi raja Medang pada tahun 899-910, Dyah Balitung mendapat serangan dari Rakai Hino Mpu Daksa yang didukung Dyah Saladu. Akibat kudeta tersebut, Dyah Balitung turun tahta. Paska pemerintahan Dyah Balitung, Mpu Daksa naik tahta (910-919). Paska pemerintahan Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah Tulodong yang merupakan putra menantunya naik tahta (919-924).
Baru memerintah 5 tahun, kekuasaan Dyah Tulodong mendapat serangan dari Rakai Sumba Dyah Wawa yang didukung Mpu Sindok. Akibat pemberontakan Dyah Wawa tersebut, Dyah Tulodong turun tahta. Di masa pemerintahan Dyah Wawa (924-928), terjadilah bencana yakni meletusnya Gunung Merapi pada tahun 928. Sejak itu runtuhlah Kerajaan Medang periode Jawa Tengah.
Paska runtuhnya Kerajaan Medang periode Jawa Tengah yang disebabkan bukan karena perang tersebut, Mpu Sindok mendirikan Kerajaan Medang di wilayah Jawa Timur tepatnya di Tamwlang (928) dan berakhir di Watugaluh (929). Sejak pemerintahan Mpu Sindok, Sri Isyanatunggawijaya, Sri Isyanatunggawijaya; Medang tidak mengalami pergolakan perang. Baru semasa pemerintahan Dhamawangsa Teguh, Medang mengalami kehancuran sesudah mendapat serangan dari Haji Wurawari yang didukung oleh pasukan Sriwijaya. Peristiwa hancurnya Medang pada tahun 1007 (versi pertama) atau 1016 (versi kedua) ini dikenal dengan Mahapralaya atau Kematian Massal.
Sejarah Kerajaan Medang berakhir. Tidak lama kemudian, timbullah Kerajaan Kahuripan di bawah kekuasaan Airlangga (1009-1042). Sebelum turun tahta untuk menjadi seorang pertapa, Airlangga mewariskan tahta Kahuripan pada Sanggramawijaya Tunggadewi. Karena putra mahkotanya itu tidak bersedia menjadi raja, Airlangga membagi wilayah Kahuripan menjadi dua bagian yakni Janggala yang diwariskan pada Mapanji Garaskan dan Kahuripan yang diwariskan pada Sri Samarawijaya.
Sejak mendapatkan bumi Janggala, Mapanji Garasakan menjadi raja dengan pusat pemerintahan di Kahuripan. Sementara, Sri Samarawijaya menjadi raja di Kadiri dengan pusat pemerintahan di Daha. Berbeda dengan Kadiri, Janggala mengalami keruntuhannya karena serangan Kadiri yang terus menerus. Sementara Kadiri mengalami keruntuhannya karena serangan Ken Arok dari Singhasari yang mendapat dukungan para pendeta Hindu dan Buddha yang tidak mau takluk pada Sri Kertajaya. Raja Kadiri yang memerintah pada tahun 1182-1222.