SEJAK kapan perang terjadi pertamakali di dunia? Tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi timbulnya perang yang dilakukan antar kelompok, suku, atau negara (kerajaan) dikarenakan berbagai sebab, di antaranya: perselisihan, benturan kepentingan, kekuasaan, politik, pemberontakan, dan sebagainya.
Bila merunut pada riwayat kehidupan manusia, perang yang menimbulkan korban nyawa tersebut dimulai sejak perselisihan antara Qabil dan Habil, kedua putra Adam dan Siti Hawa. Perselisihan itu muncul ketika Qabil yang tidak mau menerima keputusan Adam untuk menikahi Lubuda (adik kembaran Habil) tersebut bersikeras untuk menikahi Iqlima, adik kembarannya sendiri. Hasrat Qabil untuk menikahi Iqlima, karena ia berparas cantik. Berbeda dengan Lubuda yang berwajak buruk.
Sebagai ayah yang tidak menghendaki perselisihan Qabil dan Habil itu semakin meruncing, Adam membuat sayembara. Barang siapa baik Qabil dan Habil yang korbannya diterima oleh Tuhan berhak menikahi Iqlima. Bukan hanya Habil, Qabil pun bersedia mengikuti sayembara yang dilaksanakan Adam. Namun dari sayembara itu, korban Habil yang berupa domba itu diterima Tuhan. Sementara, korban Qabil yang berupa gandum itu tidak diterimanya. Sejak itu, Habil menyunting Iqlima sebagai istrinya.
Karena iblis merasuk ke dalam jiwanya, Qabil menolak hasil sayambera itu. Dengan tekat bulat, Qabil berniat membunuh Habil. Dengan pertimbangan kalau Habil mati, maka Iqlima akan jatuh di tangannya. Karenanya ketika Adam bepergian, Qabil membunuh Habil dengan cara memukulkan batu ke kepala Habil. Peristiwa perselisihan hingga tewasnya Habil di tangan Qabil inilah yang kiranya menginspirasi perang dunia. Perang yang ditimbulkan dari benturan kepentingan yang berkembang pada perselisihan dan berakhir pada pembunuhan.
Perselisihan saudara yang berakhir pada pembunuhan bukan sekadar diceritakan dalam kisah cinta Qabil dan Habil, namun pula pada kisah Bharatayuddha. Dalam Bharatayuddha dikisahkan tentang perang keluarga Bharata yakni keluarga Pandawa dan Korawa yang terpicu karena perebutan kekuasaan atas bumi Hastinapura. Dari perang tersebut, seluruh keluarga atau pahlawan Korawa -- kecuali Kartamarma, Aswatama, Resi Krepa -- dan seluruh pendukunnya tewas. Sementara, banyak pendukung dan putra Pandawa telah menjadi korban perang.
Kisah perang bukan hanya terjadi di dalam dunia fiksi yang dikemas dalam karya sastra, namun pula terjadi di dunia riil. Perang saudara di dunia riil pernah berlangsung di Rusia yang dikenal dengan Perang Multi Partai (1917-1921). Perang ini terjadi di dalam Imperium Rusia paska pemerintahan. Sementara Rusia runtuh ke Soviet di bawah dominasi Partai Bolshevik. Paska Soviet pertama diasumsikan kekuasaan di Petrograd (ST Ptersburg) dan kemudian menguasai seluruh Rusia.
Dalam sejarah, bukan hanya perang saudara yang terjadi, namun perang yang melibatkan dua atau banyak negara sebagaimana dalam Perang Dunia I yang terjadi pada 28 Juli 1914-11 November 1918, serta Perang Dunia II yang terjadi pada 1939-1945.
Pada Perang Dunia I melibatkan sejumlah negara yang tergabung dalam Aliansi Sekutu (Rusia, Britania Raya, dan Perancis) melawan Blok Sentral (Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia). Akibat Perang Dunia I, sebanyak 9 juta prajurit tewas di medan pertempuran.
Sementara pada Perang Dunia II melibatkan banyak negara yang tergabung dalam Aliansi Sekutu dan Aliansi Poros. Akhir Perang Dunia II tersebut ditandai dengan jatuhnya Jepang di tangan Sekutu dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno dan Muhammad Hatta pada tanggal 17 Agutus 1945.
Sejarah perang di dunia pula terjadi di wilayah nusantara sejak beberapa ratus silam baik sebelum dan sesudah kedatangan bangsa Eropa semisal Portugis, Belanda, dan Inggris. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, terjadinya perang di nusantara cenderung dipicu faktor perselisihan antar kerajaan, pemberontakan dari para punggawa, atau intrik politik di lingkup keluarga istana. Namun sesudah kedatangan bangsa Eropa, perang tidak hanya melibatkan kerajaan-kerajaan di nusantara, melainkan pula melibatkan bangsa asing tersebut.
Bila mencermati lebih jauh mengenai sejarah perang di nusantara, di mana perang tidak hanya terjadi di kerajaan-kerajaan besar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi; namun pula di Jawa -- khususnya, Majapahit. Suatu kerajaan yang berdiri pada tahun 1293 dan mengalami keruntuhannya pada tahun 1527.
Perang Kerajaan-Kerajaan di Jawa
Apabila menyebut Jawa tentu berdasarkan pendekatan kultural budaya atau pendekatan geografi. Melalui pendekatan kultural yang berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah (bahasa Jawa Panginyongan, bahasa Jawa Mataraman, dan bahasa Jawa Pangarekan); Jawa hanya meliputi wilayah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur. Sementara melalui pendekatan geografi, Jawa niscaya diidentikkan dengan Pulau Jawa dengan meliputi wilayah Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Provinsi Jawa Timur, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, dan Daerah Kusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Berpijak pada pendekatan geografi, maka di dalam memaparkan perang di kerajaan-kerajaan di Jawa terbagi menjadi dua wilayah yang sekarang menjadi wilayah Sunda (Jawa Barat) dan wilayah Jawa (Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur). Karenanya bila membahas mengenai perang kerajaan-kerajaan di Jawa berdasarkan pendekatan geografis niscaya berkaitan dengan perang kerajaan-kerajan di wilayah Sunda dan di wilayah Jawa.
Perang di kerajaan-kerajaan di Wilayah Sunda
Dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Sunda dimulai dengan Salakanagara yang didirikan oleh Dewawarman I pada tahun 130. Surutnya Kerajaan Salakanagara yang waktu itu di bawah kekuasaan Dewawarman VIII karena serangan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya pada tahun 362.
Sebelum runtuhnya Kerajaan Salakanagara, timbullah Kerajaan Tarumanagara yang didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman (putra menantu Dewawarman VIII) pada tahun 358. Selama keberlangsungannya, Tarumanagara dipimpin secara berurutan oleh raja-raja, sebagai berikut: Jayasingawarman (358-382), Dharmayawarman (382-395), Purnawarman (395-434), Wisnuwarman (434-455), Indrawarman (455-515), Candrawarman (515-535), Suryawarman (535-561), Kertawarman (561-628), Sudhawarman (628-639), Hariwangsawarman (639-640), Nagajayawarman (640-666), dan Linggawarman (666-669).
Paska pemerintahan Linggawarwan, Tarumanagara mengalamai masa surut. Karena Tarusbawa yang seharusnya menjadi raja justru memindahkan pusat pemerintahannya di Sunda. Selain itu, terdapat dugaan bahwa runtuhnya Tarumanagara karena mendapat tekanan dan serangan dari Sriwijaya (Sumatera).
Diketahui bahwa Kerajaan Sunda tidak berlangsung lama, sesudah Sanjaya berkuasa sebagai raja Sunda-Galuh pada tahun 723-732. Namun semasa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana, Sunda-Galuh mendapat serangan dari Banten pada tahun 1527. Sesudah itu, lahirlah Kerajaan Pakuan Pajajaran yang mengalami keruntuhannya sesudah mendapat serangan dari Kesultanan Banten di bawah komando Maulana Yusuf pada tahun 1579). Sesudah ditaklukkan oleh Kesultanan Banten, Pakuan Pajajaran menjadi bawahan Sumedanglarang.
Di masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun (1580-1608), Sumedanglarang mengalami masa surut sesudah mendapatkan serangan besar-besaran dari Kesultanan Cirebon. Sesudah terjadi perang saudara, Kesultanan Cirebon pun mengalami masa surut pada tahun 1926. Di mana pada tahun tersebut, pemerintahan Kesultanan Cirebon dihapuskan secara resmi sesudah pengesahan Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon).
Perang di kerajaan-kerajaan di Wilayah Jawa
Menurut sejarah, kerajaan-kerajaan tertua di Jawa yang berdiri pada abad ke-7 berada di wilayah Pantura (Pantai Utara), Jawa Tengah. Terdapat tiga kerajaan di wilayah Pantura yang dikuasai oleh Depunta Sailendra, Santanu (raja bawahan Sriwijaya), dan Kartikeyasingha (raja Kalingga). Letak kerajaan yang dikuasai Depunta Syailendra tidak diketahui, namun letak kerajaan yang dikuasai Santanu berada di Batang, Jawa Tengah. Sementara, letak kerajaan Kalingga yang dikuasai Kartikeyasingha berada di Jepara, Jawa Tengah.
Paska pemerintahan Kartikeyasingha (648-674), Kalingga dikuasai oleh permaisurinya yakni Ratu Jay Shima (674-695). Menjelang akhir pemerintahan Ratu Jay Shima, Kalingga dibagi menjadi dua bagian yakni Kalingga Utara yang diwariskan pada putrinya yakni Dewi Parwati. Sementara, Kalingga Selatan yang diwariskan pada putranya yakni Narayana. Kelak Kalingga Utara dikuasai oleh Sanjaya (cucu Dewi Parwati atau putra Sannaha) dan Kalingga Selatan dikuasai Dewa Singha (putra Narayana). Semasa pemerintahan Dewasingha, Kalingga Selatan berhasil dikuasai oleh Sanjaya melalui jalan perang.
Sesudah merebut Kalingga Selatan, Sanjaya yang pernah berkuasa di Sunda dan Kalingga Utara tersebut menjabat sebagai raja Medang dengan ibukota di Bhumi Mataram (Medang i Bhumi Mataram) pada tahun (754-760). Semasa menjadi raja, tahta kekuasaan Sanjaya digulingkan oleh Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (Tejahpurnapane Panamkarana) yang berasal dari Dinasti Sailendra.
Sesudah Dyah Pancapana menjadi raja, Medang dikuasai oleh raja-raja dari Dinasti Sailendra, yakni: Rakai Panunggalan Dyah Daranindra, Dyah Samaragrawira, Dyah Samaratungga atau Dyah Samaragriwa, dan Pramodhawardhani. Pada era pemerintahan Pramodhawardhani inilah, Medang pula dikuasai oleh keturunan Sanjaya yakni Rakai Pikatan Mpu Manuku. Mengingat Mpu Manuku dengan Medang dengan ibukota Mamrati (Mamratipura) menjadi suami Pramodhawardhani.
Di masa pemerintahan Mpu Manuku (versi pertama: 838-855 atau versi kedua: 840-856), terjadilah kudeta yang dilakukan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Akan tetapi, pemberontakan Mpu Kumbhayoni tersebut berhasil dipadamkan oleh putra bungsu Mpu Manuku yakni Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Karena prestasinya itu, Dyah Lokapala dinobatkan sebagai raja Medang (856-880).
Dinobatkannya Dyah Lokapala sebagai raja Medang kiranya membuat cemburu Rakai Gurunwangi Dyah Saladu. Karenanya Dyah Saladu yang mendapat dukungan Rakai Limus Dyah Dewendra melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dyah Lokapala. Akibatnya Dyah Lokapala turun tahta.
Menangggapi pemberontakan Dyah Saladu, Rakai Watuhumalang Mpu Teguh (putra Mpu Manuku dan selir Mpu Tamer) yang menjadi raja Medang pada tahun 896-899 mengutus Rakai Watukura Dyah Balitung menantunya untuk menumpas pemberontakan tersebut. Berkat ketangguhan Dyah Balitung, pemberontakan Dyah Saladu dapat dipadamkan. Dyah Balitung pun menjadi raja Medang dengan ibukota di Poh Pitu sesudah pemerintahan Mpu Teguh.
Ketika menjadi raja Medang pada tahun 899-910, Dyah Balitung mendapat serangan dari Rakai Hino Mpu Daksa yang didukung Dyah Saladu. Akibat kudeta tersebut, Dyah Balitung turun tahta. Paska pemerintahan Dyah Balitung, Mpu Daksa naik tahta (910-919). Paska pemerintahan Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah Tulodong yang merupakan putra menantunya naik tahta (919-924).
Baru memerintah 5 tahun, kekuasaan Dyah Tulodong mendapat serangan dari Rakai Sumba Dyah Wawa yang didukung Mpu Sindok. Akibat pemberontakan Dyah Wawa tersebut, Dyah Tulodong turun tahta. Di masa pemerintahan Dyah Wawa (924-928), terjadilah bencana yakni meletusnya Gunung Merapi pada tahun 928. Sejak itu runtuhlah Kerajaan Medang periode Jawa Tengah.
Paska runtuhnya Kerajaan Medang periode Jawa Tengah yang disebabkan bukan karena perang tersebut, Mpu Sindok mendirikan Kerajaan Medang di wilayah Jawa Timur tepatnya di Tamwlang (928) dan berakhir di Watugaluh (929). Sejak pemerintahan Mpu Sindok, Sri Isyanatunggawijaya, Sri Isyanatunggawijaya; Medang tidak mengalami pergolakan perang. Baru semasa pemerintahan Dhamawangsa Teguh, Medang mengalami kehancuran sesudah mendapat serangan dari Haji Wurawari yang didukung oleh pasukan Sriwijaya. Peristiwa hancurnya Medang pada tahun 1007 (versi pertama) atau 1016 (versi kedua) ini dikenal dengan Mahapralaya atau Kematian Massal.
Sejarah Kerajaan Medang berakhir. Tidak lama kemudian, timbullah Kerajaan Kahuripan di bawah kekuasaan Airlangga (1009-1042). Sebelum turun tahta untuk menjadi seorang pertapa, Airlangga mewariskan tahta Kahuripan pada Sanggramawijaya Tunggadewi. Karena putra mahkotanya itu tidak bersedia menjadi raja, Airlangga membagi wilayah Kahuripan menjadi dua bagian yakni Janggala yang diwariskan pada Mapanji Garaskan dan Kahuripan yang diwariskan pada Sri Samarawijaya.
Sejak mendapatkan bumi Janggala, Mapanji Garasakan menjadi raja dengan pusat pemerintahan di Kahuripan. Sementara, Sri Samarawijaya menjadi raja di Kadiri dengan pusat pemerintahan di Daha. Berbeda dengan Kadiri, Janggala mengalami keruntuhannya karena serangan Kadiri yang terus menerus. Sementara Kadiri mengalami keruntuhannya karena serangan Ken Arok dari Singhasari yang mendapat dukungan para pendeta Hindu dan Buddha yang tidak mau takluk pada Sri Kertajaya. Raja Kadiri yang memerintah pada tahun 1182-1222.
Sesudah berhasil menaklukkan Sri Kertajaya, Ken Arok menobatkan diri sebagai raja di Singhasari (Tumapel) yang semula dikuasai oleh Akuwu Tunggul Ametung. Menurut Serat Pararaton, keberlangsungan Singhasari diwarnai dengan intrik-intrik politik di lingkup keluarga istana sendiri. Ken Arok tewas dibunuh Bathara Anusapati (putra Tunggul Ametung dan Ken Dedes). Anusapati dibunuh Apanji Tohjaja (putra Ken Arok dan Ken Umang). Apanji Tohjaya dibunuh Ranggawuni (putra Mahisa Wongateleng).
Paska pemerintahan Ranggawuni, Singhasari dipimpin oleh putranya yakni Kertanagara. Di masa pemerintahan Kertanagara, Singhasari mengalami kejayaan dan sekaligus kehancurannya sesudah mendapat serangan Jayakatwang (bupati Glangglang). Di dalam melakukan serangan tersebut, Jayakatwang mendapat dukungan Patih Kebo Mundarang dan pasukan Jarang Guyang.
Ketika penyerangan Jayakatwang terhadap Singhasari, Dyah Wijaya (menantu Kertanagara) melarikan diri beserta pengikutnya ke Sumenep, Madura. Oleh Arya Wiraraja, Dyah Wijaya disarankan untuk menyerahkan diri pada Jayakatwang yang menjadi raja di Daha. Sesudah diampuni oleh Jayakatwang, Dyah Wijaya mendapat hadiah Hutan Tarik yang kemudian menjadi Pedukuhan Majapahit (Wilwatikta). Di Pedukuhan Majapahit, Dyah Wijaya menyusun kekuatan untuk melakukan serangan terhadap Jayakatwang.
Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika pasukan Tartar (Mongol) datang di Jawa untuk membalas dendam pada Kertanagara, Dyah Wijaya memanfaatkan pasukan yang dipimpin oleh Shih-pi, Ike-mese, dan Kau-hsing untuk menyerang Jayakatwang. Melalui pasukan Tartar, Dyah Wijaya berhasil menggulingkan kekuasaan Jayakatwang pada tahun 1293.
Sesudah Jayakatwang tewas dan pasukan Tartar berhasil diusir dari tanah Jawa, Dyah Wijaya menobatkan diri sebagai raja di Majapahit. Semasa pemerintahan Dyah Wijaya, Majapahit mulai dilanda intrik-intrik politis internal di lingkup para punggawa hingga menimbulkan perang antara pasukan Majapahit di bawah komando Lembu Sora dengan pasukan Tuban di bawah kepemimpinan Ranggalawe. Dalam perang yang berlangsung di Sungai Tambak Beras itu, Ranggalawe tewas di tangan Mahisa Nabrang. Sementara, Mahisa Nabrang sendiri tewas di tangan Lembu Sora yang merupakan paman dari Ranggalawe.
Sejak awal hingga akhir pemerintahan Majapahit senantiasa dilanda perang baik dengan kerajaan lain maupun perang antar anggota keluarga istana dan perang yang timbul akibat kudeta. Perang dengan negara lain semisal Perang Bubad antara Majapahit dengan Sunda pada tahun 1357. Perang antar anggota keluarga istana yakni Perang Paregreg yang terjadi pada tahun 1404-1406. Perang yang timbul akibat kudeta terjadi semasa pemerintahan Dyah Wijaya, Jayanagara, Tribhuwana Wijayatunggadewi, Kertawijaya, dan Singhawikramawardhana. Majaphit mengalami kehancuran semasa pemerintahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya sesudah mendapat serangan dari Kesultanan Demak pada tahun 1527.
Jauh sebelum runtuhnya Majapahit, Kesultanan Demak telah berdiri pada tahun 1478. Semasa pemerintahan Raden Patah (1478-1518) dan pemerintahan Patiunus (1518-1521), Demak melancarkan serangan terhadap Portugis yang bercokol di Malaka. Perang terhadap Portugis pun berlanjut di masa pemerintahan Sultan Trenggana (1521-1546). Di masa itu, Portugis membantu pasukan Majapahit yang berstatus kadipaten dan berhasrat melakukan pemberontakan terhadap Demak. Namun pemberontakan dari Majapahit tersebut berhasil dipadamkan oleh Sultan Trenggana pada tahun 1527.
Kesultanan Demak mengalami masa surut semasa pemerintahan Sunan Prawata (1546-1549). Ketika Sunan Prawata baru memerintah selama tiga tahun di Demak dengan ibukota di Gunung Prawata, Arya Penangsang berhasrat membunuhnya. Hasrat pembunuhan Arya Penangsang tersebut karena Sunan Prawata merupakan dalang pembunuhan ayahnya yakni Surawiyata. Sesudah tujuan membunuh Sunan Prawata melalui Rangkut abdinya itu tercapai, Arya Penangsang menjadi raja Demak dengan ibukota di Jipang.
Belum lama memerintah, kekuasaan Arya Penangsang berhasil digulingkan oleh Ratu Kalinyamat (Jepara) dan Adipati Hadiwijaya (Pajang) melalui para peserta sayembara, yakni: Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Danang Sutawijaya, dan Ki Juru Mrentani. Sesudah Arya Penangsang tewas, Jipang dan Demak berada di bawah kekuasaan Hadiwijaya yang kemudian menjadi raja di Pajang.
Sesudah Sultan Hadiwijaya mangkat, Danang Sutawijaya yang merupakan putra Ki Ageng Pemanahan mendirikan Kerajaan Mataram bergelar Panembahan Senapati. Di masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645, Mataram mencapai puncak kejayaan. Namun ketika Sunan Amangkurat I menjadi raja untuk menggantikan Sultan Agung, Mataram mengalami keruntuhan karena pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677.
Paska runtuhnya Mataram, muncul Kasunanan Kartasura yang didirikan oleh Sunan Amangkurat II pada tahun 1575. Akibat Geger Pecinan (1742), ibukota Kasunanan Kartasura dipindahkan ke Surakarta oleh Sunan Pakubuwana II. Karenanya Kasunanan Kartasura dikenal dengan Kasunanan Surakarta.
Sejak masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II sampai Sunan Pakubuwana III, terjadi Perang Suksesi Jawa III. Perang ini mengakibatkan munculnya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang melahirkan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Sultan Hamengkubuwana I (Pangeran Mangkubumi/Raden Mas Sujana), serta Perjanjian Salatiga (13 Februari 1757) yang melahirkan Praja Mangkunegaran di bawah kekuasaan KGPAA Mangkunegara I.
Perang Bubad
Dalam sejarah perang kerajaan-kerajaan di Jawa menyinggung mengenai Perang Bubad. Suatu perang yang sangat melegendaris antara pasukan Bhayangkara di bawah komando Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada dari Majapahit versus rombongan pengantin dari Sunda di bawah komando Maharaja Linggabuana Wisesa. Disebut Perang Bubad, karena peristiwa berdarah tersebut berlangsung di Lapangan Bubad.
Timbulnya Perang Bubad dikarenakan benturan antara kepentingan Hayam Wuruk (Raja Majapahit) yang mendapat dukungan Tribhuwana Tunggadewi, Maharaja Linggabuana Wisesa, dan Gajah Mada. Kepentingan Hayam Wuruk ingin menikahi Dyah Pithaloka Citraresmi (putri Linggabuana Wisesa) untuk menyambung kembali tali persaudaraaan antara Majapahit dan Sunda yang sekian lama terputus. Kepentingan Linggabuana Wisesa yang bersedia menyerahkan Dyah Pithaloka sebagai pengantin Hayam Wuruk juga ingin memererat hubungan persaudaraan antara Sunda dan Majapahit.
Lain kepentingan Hayam Wuruk dan Linggabuana Wisesa, lain pula kepentingan Gajah Mada. Menurut pendapat para sejarawan bahwa Gajah Mada menghendaki Dyah Pithaloka diserahkan oleh Linggabuana Wisesa pada Hayam Wuruk bukan sebagai pengantin, melainkan sebagai tanda takluk Sunda pada Majapahit. Kehendak Gajah Mada tersebut berlandaskan ambisinya untuk memenuhi Sumpah Palapa-nya. Mengingat Sunda yang berada di Pulau Jawa tersebut belum takluk pada Majapahit.
Sementara menurut pendapat para penulis fiksi sejarah bahwa Gajah Mada yang tidak menghendaki Dyah Pithaloka sebagai pengantin Hayam Wuruk karena kepentingan cinta asmaranya. Pengertian lain, Gajah Mada tidak rela apabila Dyah Pithaloka kekasihnya disunting oleh Hayam Wuruk.
Terlepas dari pro kontra perihal kepentingan Gajah Mada, Perang Bubad telah menimbulkan beberapa dampak negatif yang sangat merugikan baik pada ketiga pihak yakni Majapahit, Sunda, maupun Gajah Mada. Kerugian bagi Majapahit, Perang Bubad menghancurkan hubungannya dengan Sunda yang akan dibangunnya melalui perkawinan politis antara Hayam Wuruk dan Dyah Pithaloka. Kerugian bagi Sunda, Perang Bubad telah menewaskan Linggabuana Wisesa, permaisuri, dan seluruh rombongan pengantin. Akibat perang tersebut, Dyah Pithaloka melakukan bunuh diri. Kerugian bagi Gajah Mada, Perang Bubad menjadikannya dijauhkan dari urusan politik di dalam istana Majapahit.
Karena Perang Bubad mencoreng wajah Majapahit, Hayam Wuruk meminta maaf kepada pihak Sunda. Bentuk permintaan maaf Hayam Wuruk tersebut dimanifestasikan dengan naskah Kidung Sunda. Suatu naskah yang menyatakan bahwa Gajah Mada akan dihukum mati oleh Hayam Wuruk karena sebagai pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya Perang Bubad. Namun sebelum tertangkap dan dihukum mati, Gajah Mada telah meninggal dengan cara moksa. Berikut kutipan Kidung Sunda yang mengisakan Perang Bubad:
Hayam Wuruk, Raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Karenanya beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai harapannya. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya.
Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik. Beliau mengirim seorang juru lukis ke Sunda. Setelah juru lukis itu kembali, diserahkannya lukisan putri Sunda itu. Kebetulan saat itu, dua orang paman Hayam Wuruk, Raja Kahuripan dan Raja Daha, berada di istana. Mereka prihatin bahwa keponakannya belum menikah.
Melihat lukisan figur Dyah Pithaloka, Hayam Wuruk sangat tertarik. Karenanya belaiau menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya. Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari, kemudian menghadap Raja Sunda. Sang Raja senang, putrinya dipilih oleh Raja Majapahit yang tersohor namanya itu.
Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar. Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan Raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada 2.000 kapal, termasuk kapal-kapal kecil.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pertanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu, dan Putri Sunda berupa jung Tartar (Mongolia) seperti banyak dipakai sejak Perang Wijaya.
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk memersiapkan kedatangan para tamu. Maka 10 hari kemudian Kepala Desa Bubad datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi Patih Gajah Mada tidak setuju. Beliau berkata bahwa tidaklah seyogianya seorang Maharaja Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu ia seorang musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubad menuruti saran Patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.
Sedangkan di Bubad, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka Raja Sunda pun mengirimkan utusannya, Patih Anepakan untuk pergi ke Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu.
Mereka langsung datang ke rumah Patih Gajah Mada. Di sana ia menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pendeta kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir Raja Sunda akan disampaikan dalam tempo 2 hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberitahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur dari pada hidup tetapi dihina oleh orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikuti dan membelanya.
Raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras untuk tetap menemani sang raja.
Semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda menolaknya dengan marah dan perang tak dapat dihindari.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya. Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit.
Anepakan dikalahkan oleh Gajah Mada, sedangkan Raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, Raja Kahuripan dan Raja Daha.
Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.
Paska perang antara pasukan Bhayangkara dan pasukan Balamati, Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan itu. Ia menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka ia meratapinya. Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan.
Tidak berselang lama, mangkatlah Hayam Wuruk yang merana. Setelah ia diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkap dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu, Patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba.
Maka Gajah Mada mengenakan segala perlengkapan upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu, ia moksa menuju ketiadaan. Maka raja Kahuripan dan Raja Daha yang mirip Siwa dan Buddha berpulang ke negara mereka, karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Sungguhpun Hayam Wuruk telah meminta maaf kepada pihak Sunda, namun Perang Bubad telah mewariskan kebencian orang-orang Sunda terhadap orang-orang Majapahit. Mereka pun membenci Hayam Wuruk, dan terutama Gajah Mada yang merupakan penyebab perang jahanam itu. Karena kebencian turun-temurun itu, sehingga tidak ada jalan, bangunan, perusahaan bernama Hayam Wuruk, Gajah Mada, atau Majapahit di wilayah Sunda (Jawa Barat).
Menurut sebagian analisis sejarah bahwa Perang Bubad yang menimbulkan kebencian orang-orang Sunda terhadap orang-orang Majapahit tersebut karena efek dari politik Devide at Impera -- VOC atau Belanda -- yang bertujuan untuk memecah belah bangsa nusantara (Indonesia). Namun pendapat tersebut masih bersifat perkiraan dan belum dibuktikan dengan sumber data historis yang kuat.
Catatan Penting
Perang Bubad merupakan cacat di balik kejayaan Majapahit. Bahkan perang tersebut merefleksikan kegagalan Gagasan Nusantara dan Sumpah Palapa Gajah Mada dikarenakan tidak mampu menguasai Sunda. Sungguhpun Maharaja Linggabuana Wisesa sudah gugur saat terjadi Perang Bubad, namun Sunda tetap menjadi kerajaan yang merdeka di bawah bayang-bayang Majapahit.
Sementara Perang Bubad justru ditangkap sebagai tanda awal masa surutnya Majapahit. Mengingat paska perang tersebut, Majapahit dilanda Perang Paregreg, kudeta, dan perebutan kekuasaan Majapahit sejak pemerintahan Wikramawardhana hingga Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Perang Bubad telah menjadi pelengkap dalam sejarah perang di Jawa. Perang yang justru menjadi bumerang bagi Majapahit, terutama bagi Gajah Mada. Mahapatih Amangkubhumi (jabatan setingkat Perdana Menteri) yang mengalami masa surut sesudah mengawali kejayaan karirnya sejak pemerintahan Jayanagara (pimpinan Bhayangkara) hingga pemerintahan Hayam Wuruk.
Dari uraian di muka memberikan gambaran bahwa bahasan mengenai Perang Bubad sangat menarik. Bahasan yang senantiasa berkaitan dengan sejarah Sunda dan Majapahit, hubungan Majapahit dan Sunda, riwayat hidup tokoh-tokoh penting dalam Perang Bubad, Gagasan Nusantara dan Sumpah Palapa, kisah cinta Hayam Wuruk dan Gajah Mada dengan Dyah Pithaloka Citraresmi, jalannya Perang Bubad, paska Perang Bubad, dan dampak Perang Bubad. [Sri Wintala Achmad]
https://karyakarsa.com/sriwintlaachmad/perang-bubad-hoax-atau-fakta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H