Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pandemi dan Kedaruratan

28 Mei 2020   18:47 Diperbarui: 28 Mei 2020   18:46 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah pandemik Covid-19 yang masih mengancam keberlangsungan hidup banyak orang hingga hari ini, banyak topik yang bermunculan dalam diskusi-diskusi maupun pemberitaan di media. Salah satunya adalah diskursus tentang kedaruratan, atau lebih tepatnya, hukum tata negara darurat. Sejak wacana kedaruratan ini mengemuka, banyak orang dari berbagai kalangan memberikan reaksi yang beragam.

Sejauh penelusuran saya, wacana ini muncul tatkala presiden Joko "Jokowi" Widodo memimpin rapat terbatas secara daring bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada tanggal 30 Maret yang lalu. 

Pada kesempatan itu, Jokowi menegaskan tentang kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai langkah menghambat penyebaran virus corona. Namun, tidak hanya itu, Jokowi juga menambahkan bahwa guna mengefektifkan kebijakan PSBB, diperlukan pula kebijakan darurat sipil.

Pasca pernyataan inilah keriuhan mulai terjadi. Seperti biasa, sebagian orang sepakat dengan instruksi tersebut, ada pula yang tidak setuju, bahkan ada yang menawarkan opsi lain, semisal; darurat militer. Hingga saat tulisan ini dibuat, keriuhan akibat wacana darurat sipil terbilang sudah mereda. 

Hemat saya, karena memang tidak ada deklarasi tegas untuk memberlakukan darurat sipil, kendati dalam praktik, darurat sipil sudah diberlakukan. Hal ini akan saya uraikan kemudian.

Hukum Tata Negara Darurat

Prof. Herman Sihombing, ilmuwan hukum dari Universitas Andalas yang memberi banyak perhatian pada kajian hukum tata negara darurat, mendefinisikan hukum tata negara darurat (Staatsnoodrecht) sebagai rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.

Dengan kata lain, hukum tata negara darurat memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi bahaya yang sedang dihadapi oleh negara. Sekalipun langkah tersebut menyimpang dari ketentuan undang-undang atau bahkan undang-undang dasar. Itulah mengapa langkah yang diambil oleh pemerintah dalam situasi darurat sering juga disebut sebagai langkah-langkah yang "Ekstrakonstitusional".

Ihwal hukum tata negara darurat juga disebutkan dalam UUD NRI 1945, yaitu:

Pasal 12, menyebutkan; Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 22 ayat (1), menyebutkan; Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan             peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

                                                                                                                  

Adapun kedaruratan yang dimaksud bisa dalam bentuk darurat militer, darurat perang, dan yang sempat disebut-sebut pemerintah; darurat sipil. Bentuk-bentuk kedaruratan tersebut sebagaimana diatur dalam PERPPU No. 23 Tahun 1959 Tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara Nomor 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya. 

Di luar itu, ada pula bentuk kedaruratan lain, seperti; Darurat Kesehatan, sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah, pusat maupun daerah, sebagai konsekuensi dari pemberlakuan masing-masing kedaruratan tersebut tentu berbeda satu sama lain. Kewenangan pemerintah dalam situasi darurat sipil tentu berbeda dengan kewenangan pemerintah dalam situasi darurat kesehatan. Pada dasarnya, di sinilah perdebatan bermula. 

Sebagian pihak khawatir kalau-kalau pemerintah akan menyalahgunakan kewenangannya di masa-masa sulit seperti sekarang. Selain itu, kewenangan yang dimiliki oleh Penguasa Darurat Sipil juga dinilai tidak bisa mengatasi persoalan. Hal ini dikarenakan pendekatan dalam darurat sipil memang bukanlah pendekatan kesehatan, melainkan pendekatan keamanan.

Bisa kita lihat dengan jelas, sejauh ini langkah yang diambil oleh pemerintah adalah dengan menetapkan situasi darurat kesehatan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 

Konsekuensinya, pemerintah berwenang untuk melakukan pembatasan dalam skala besar terhadap segala aktivitas masyarakat yang dapat mendorong penularan penyakit, dalam hal ini Covid-19. 

Maka, pemerintah kemudian menindaklanjuti penetapan darurat kesehatan ini dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19).

Pembatasan ruang gerak masyarakat ini juga merupakan salah satu kewenangan Penguasa Darurat Sipil. Inilah yang melandasi perkataan saya bahwa toh, pemerintah sudah melakukan darurat sipil dalam praktiknya. 

Namun, kalau ternyata konsekuensi yang dibutuhkan dari darurat sipil hanya sebatas kewenangan untuk membatasi pergerakan masyarakat, maka sudah cukuplah dengan menetapkan keadaan darurat kesehatan, dan itu memang sudah dilakukan.

Sedangkan opsi darurat sipil akan sangat mubazir, karena kewenangan yang nantinya akan dimiliki pemerintah sebagai konsekuensi penetapan darurat sipil tidak akan banyak membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, karena memang tidak relevan dan sasarannya juga berbeda. 

Hemat saya, pihak yang masih ingin mempertimbangkan darurat sipil barangkali adalah mereka yang menginginkan kewenangan Penguasa Darurat Sipil, kemudian menggunakannya untuk kepentingan pribadi mereka.

Darurat Militer, perlukah?

Tidak hanya darurat sipil, darurat militer pun sempat menyeruak. Dosen Universitas Pertahanan Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie dalam sebuah acara di KOMPAS TV mengatakan, opsi darurat militer seharusnya menjadi pertimbangan. 

Secara garis besar, ia melandaskan argumennya pada pemahaman bahwa situasi pandemi adalah situasi perang, sekalipun "musuh" yang dihadapi tidak kelihatan.

Dengan memahamkan pandemi sebagai situasi perang, maka pemerintah perlu menghadapinya dengan manajemen pertempuran, dan yang paham manajemen pertempuran hanya Tentara. 

Lebih jauh Connie mengatakan bahwa manajemen pertempuran yang ia maksud adalah tentang bagaimana Tentara bisa mengamankan semua sistem (transportasi, logistik, dan sebagainya) di area-area terdampak Covid-19. Menurutnya, jauh lebih baik kalau Tentara yang memegang kendali, karena garis koordinasi dan komandonya akan lebih jelas dan terarah.

Bagi saya, opsi ini sama mubazirnya dengan opsi darurat sipil. Memang betul, yang paham manajemen pertempuran adalah Tentara. Namun, kalau toh yang hendak diambil dari penetapan situasi darurat militer hanya sekelumit kewenangan Penguasa Darurat Militer saja, apa gunanya? 

Sebaliknya, sama seperti kekhawatiran dalam darurat sipil, kewenangan Penguasa Darurat Militer bisa digunakan untuk yang "lain-lain", bukan untuk mengatasi pandemi.

Dengan mengartikan manajemen pertempuran bukan sebagaimana manajemen pertempuran pada umumnya-katakanlah memasok persenjataan, mengatur strategi perang, melakukan pengintaian, dan sebagainya-Connie justru terkesan mendiskreditkan sipil.    

Salus Populi Suprema Lex Esto

Adagium ini cukup sering terdengar sejak virus corona menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat. Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi. Kurang lebih demikian artinya. 

Nilai-nilai progresivitas tampak jelas dan memang merupakan esensi dari adagium ini. Berangkat dari adagium ini pula, negara (pemerintah) selalu ditekankan untuk mendahulukan keselamatan rakyatnya. Jangan sampai terkendala oleh aturan-aturan formal yang dalam banyak hal sering tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan.

Memang, dalam situasi seperti sekarang, banyak pihak menaruh harapan pada pemerintah agar sungguh-sungguh mendahulukan keselamatan rakyatnya. Agar adagium tersebut tidak menjadi kata-kata kosong belaka.

Kendati demikian, hukum yang progresif tidak serta-merta mengabaikan hukum positif. Melainkan mengoptimalkan substansi hukum-hukum positif yang ada. Manakala pengoptimalan hukum tersebut belum mampu mengatasi persoalan, barulah pemerintah harus mengambil langkah di luar perundang-undangan, atau mengambil kebijakan yang "ekstrakonstitusional", untuk kemaslahatan seluruh warga negara tentunya.

Sebagai orang-orang yang progresif, seharusnya kita tak lagi mempersoalkan darurat sipil, darurat militer, maupun darurat perang dan sebagainya. Kita malahan akan mendukung setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah karena kita tahu, itu untuk kebaikan kita. Karena rakyat dan pemerintahnya saling percaya satu sama lain. Hanya saja, rasa percaya itu, bukan main mahalnya! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun