Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama FEATURED

Omnibus Law, Apa Istimewanya?

27 Desember 2019   13:20 Diperbarui: 15 Januari 2020   12:26 2985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perangkat hukum. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Omnibus Law. Sebuah diskursus baru dalam dunia hukum Indonesia. Adalah Presiden Joko Widodo yang melemparkan wacana mengenai Omnibus Law tatkala menyampaikan pidato pada pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada tanggal 20 Oktober 2019 yang lalu.

Wacana ini kemudian digaungkan kembali oleh Jokowi dalam beberapa kesempatan pasca pelantikannya sebagai presiden RI.

Tujuan Jokowi menggaungkan wacana Omnibus Law tidak lain adalah untuk lebih merampingkan peraturan perundangan - undangan yang ada saat ini.

Hal ini diperlukan karena menurut Jokowi sudah terlalu banyak peraturan yang tidak sinkron dan saling tumpang tindih, sehingga menjadi kendala bagi investasi di Indonesia. Dalam rangka menghapuskan kendala tersebutlah Jokowi kemudian mengumandangkan Omnibus Law. 

Pasca wacana ini menyeruak, banyak pihak yang mendukung serta mendorong pemerintah untuk segera merealisasikan wacana ini.

Wacana Omnibus Law ini dinilai sebagai terobosan hukum yang baik di era pemerintahan Jokowi-Ma'aruf kali ini. Lantas, apakah benar bahwa Omnibus Law merupakan terobosan hukum yang "luar biasa" seperti yang dinarasikan oleh pemerintahan Jokowi-Ma'aruf beserta loyalis-loyalisnya?

Omnibus dalam bahasa Latin memiliki arti "semua". Dengan demikian, Omnibus Law secara literal dapat diartikan sebagai "semua hukum". Berangkat dari defenisi secara harfiah ini, Omnibus Law kurang lebih adalah hukum yang terintegrasi ke dalam suatu peraturan perundang - undangan "besar".

Dengan kata lain, apa yang dimaksudkan dengan Omnibus Law pada akhirnya akan bermuara pada yang namanya Kodifikasi Hukum ataupun Kompilasi Hukum.

Mengingat Kodifikasi maupun Kompilasi Hukum di Indonesia bukanlah sesuatu yang "luar biasa", lagi - lagi kita akan bertanya; Apa istimewanya Omnibus Law ? 

Omnibus Law merupakan sebuah skema untuk mengintegrasikan beberapa peraturan perundangan yang sudah ada sebelumnya menjadi satu Undang-Undang. 

Dengan catatan, beberapa peraturan perundang - undangan tersebut merupakan peraturan yang masih memilki keterkaitan. Contohnya, Undang - Undang Perseroan Terbatas yang masih terkait dengan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Peraturan Pemerintah Tentang Pelayanan Perizinan. Adapun dua hal pokok yang menjadi tujuan dari skema pengintegrasian ini adalah Penyederhanaan dan Sinkronisasi.

Mengatasi Hyper-Regulation

Penyederhanaan atau perampingan regulasi adalah argumentasi yang sering digunakan untuk mendorong penerapan Omnibus Law. Dilansir dari peraturan.go.id, sejauh ini terdapat 8.426 peraturan di tingkat pusat, 14.621 Peraturan Menteri, 4.221 Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), serta 15.965 Peraturan Daerah. 

Ilustrasi (sumber: odishabytes.com; 17/10/2018)
Ilustrasi (sumber: odishabytes.com; 17/10/2018)
Bahkan, hanya dalam jangka waktu sebulan terakhir, jumlah Peraturan Menteri meningkat signifikan, yaitu bertambah sebanyak 114 peraturan dari sebelumnya dari sebelumnya berjumlah sebanyak 14. 507 peraturan. Statistik yang sangat bertolak belakang dengan wacana Omnibus Law.

Melihat banyaknya regulasi di Indonesia, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, tidak berlebihan memang untuk mengatakan bahwa regulasi di Indonesia sudah obesitas atau yang dalam terminologi hukumnya disebut Hyper-Regulation. 

Namun, perlu diketahui oleh semua pihak bahwa pendapat tersebut bukanlah pendapat baru. Sebelumnya, beberapa akademisi sudah mengkritisi besarnya jumlah regulasi ini.

Almarhum Adnan Buyung Nasution dalam bukunya Demokrasi Konstitusional yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2010, telah meramalkan situasi Hyper-Regulation ini. 

Menurutnya, melemahnya hukum dibandingkan dengan kemampuan sistem hukumnya untuk mengatur akan menyebabkan Hyper-Regulation atau Inflasi Legal. Ditambah lagi dengan banyaknya regulasi yang masih terus dikeluarkan oleh pemerintah.

Hal senada juga pernah disampaikan oleh seorang Pakar Agraria yang juga dikenal atas konsistensinya memperjuangkan Landreform, Gunawan Wiradi. Lebih jauh, Gunawan Wiradi juga mengkritik keberadaan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI.

Dengan adanya Prolegnas, paradigma legislasi yang diterapkan di Indonesia terkesan mengebut pembuatan peraturan. Hal inilah yang menyebabkan berbagai peraturan terus saja bermunculan.

Sedangkan Gunawan berpandangan, seharusnya peraturan baru dibuat apabila dibutuhkan. Paradigma tersebutlah yang bertolak belakang dengan kinerja Prolegnas DPR RI.

Dari dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa regulasi di Indonesia memang perlu dirampingkan. Dan skema Omnibus Law bisa menjadi salah satu alternatif dalam merealisasikan perampingan tersebut. 

Namun, perlu diketahui bahwa skema ini tidak serta merta bisa mengatasi keadaan Hyper- Regulation di Indonesia. Hal tersebut mungkin terjadi karena skema Omnibus Law sama sekali tidak menyentuh akar masalah.

Omnibus Law sebagai autokritik

Dalam tataran konsep, penataan regulasi di Indonesia sudah bagus. Implementasinya saja yang masih sering bermasalah. Tidak serius dan tidak ada kordinasi. Sebagai contoh, konsep mengatakan bahwa yang diatur dalam Perda adalah apa yang belum diatur di tingkat pusat. Untuk itulah kemudian dibutuhkan kordinasi dalam penyusunan Perda. 

Realitanya, kordinasi tidak dilaksanakan, sehingga tidak jarang Perda tumpang tindih dengan peraturan di tingkat pusat. Disamping itu, pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM di tingkat pusat juga tidak berjalan optimal.

Pemerintah bisa saja mencanangkan skema omnibus law untuk merampingkan regulasi. Namun, pemerintah juga harus menyadari bahwa wacana ini dengan sendirinya menjadi autokritik (Self-Critique) terhadap pemerintah. 

Pemerintah boleh saja mengatakan omnibus law sebagai terobosan. Tapi, pada saat bersamaan, merupakan konfirmasi kegagalan pemerintah dalam menata regulasi yang pada akhirnya menyebabkan carut -- marut pembentukan peraturan di Indonesia.

Mempertanyakan orientasi pemerintah

Satu hal yang tidak kalah penting untuk diperdebatkan dalam wacana ini adalah perihal orientasi pemerintah dalam mencanangkan omnibus law. Semua pihak, terutama masyarakat harus mengawal wacana ini agar tidak ditumpangi oleh kepentingan - kepentingan kelompok tertentu. 

Mengingat masalah regulasi ini adalah masalah yang kompleks, penekanan orientasinya tidak bisa hanya sekadar untuk merampingkan regulasi. Apalagi jika perampingan regulasi ini hanya demi melancarkan investasi tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.

Kepentingan rakyat harus benar - benar terakomodir dalam peraturan "besar" yang nantinya akan dihasilkan melalui skema omnibus law ini. Maka dari itu, keterlibatan rakyat juga harus menjadi variabel penting dalam proses perampingan regulasi ini. 

Jangan sampai dengan dalih perampingan, regulasi disederhanakan menjadi regulasi yang sekadar ramah investasi guna kepentingan pemerintah beserta elit - elit di lingkaran kekuasaan.

Omnibus Law juga diharapkan tidak menjadi kebijakan yang merugikan pihak - pihak tertentu. Sebut saja hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang menyebutkan kebijakan omnibus law dibidang perpajakan berpotensi mengurangi pendapatan daerah. 

Hasil - hasil riset seperti ini harus diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah agar penerapan omnibus law bisa berjalan dengan baik, bukan malah menciptakan masalah baru.

Sebagai penutup, omnibus law adalah kebijakan yang baik apabila telah mencapai keselarasan orientasi antara pemerintah dengan rakyat. Omnibus Law yang akan diterapkan dalam berbagai bidang pun harus tetap berbasis Hak Asasi Manusia, bukan malah mencederai ataupun mengurangi. 

Merampingkan regulasi melalui skema omnibus law, konflik norma antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain mungkin akan semakin berkurang. Namun, hal tersebut tidak serta merta menjamin kesejahteraan masyarakat. 

Karena bisa saja hal tersebut tidak lebih dari sekadar hegemoni penguasa dan pembungkaman suara rakyat di level akar rumput (grass roots). Mari kawal pemerintah. Omnibus Law untuk kesejahteraan rakyat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun