Mengatasi Hyper-Regulation
Penyederhanaan atau perampingan regulasi adalah argumentasi yang sering digunakan untuk mendorong penerapan Omnibus Law. Dilansir dari peraturan.go.id, sejauh ini terdapat 8.426 peraturan di tingkat pusat, 14.621 Peraturan Menteri, 4.221 Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), serta 15.965 Peraturan Daerah.Â
Melihat banyaknya regulasi di Indonesia, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, tidak berlebihan memang untuk mengatakan bahwa regulasi di Indonesia sudah obesitas atau yang dalam terminologi hukumnya disebut Hyper-Regulation.Â
Namun, perlu diketahui oleh semua pihak bahwa pendapat tersebut bukanlah pendapat baru. Sebelumnya, beberapa akademisi sudah mengkritisi besarnya jumlah regulasi ini.
Almarhum Adnan Buyung Nasution dalam bukunya Demokrasi Konstitusional yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2010, telah meramalkan situasi Hyper-Regulation ini.Â
Menurutnya, melemahnya hukum dibandingkan dengan kemampuan sistem hukumnya untuk mengatur akan menyebabkan Hyper-Regulation atau Inflasi Legal. Ditambah lagi dengan banyaknya regulasi yang masih terus dikeluarkan oleh pemerintah.
Hal senada juga pernah disampaikan oleh seorang Pakar Agraria yang juga dikenal atas konsistensinya memperjuangkan Landreform, Gunawan Wiradi. Lebih jauh, Gunawan Wiradi juga mengkritik keberadaan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR RI.
Dengan adanya Prolegnas, paradigma legislasi yang diterapkan di Indonesia terkesan mengebut pembuatan peraturan. Hal inilah yang menyebabkan berbagai peraturan terus saja bermunculan.
Sedangkan Gunawan berpandangan, seharusnya peraturan baru dibuat apabila dibutuhkan. Paradigma tersebutlah yang bertolak belakang dengan kinerja Prolegnas DPR RI.
Dari dua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa regulasi di Indonesia memang perlu dirampingkan. Dan skema Omnibus Law bisa menjadi salah satu alternatif dalam merealisasikan perampingan tersebut.Â