Syamsul mendapati dirinya setengah berlari setelah rumah panggung sederhana yang ia kenali sebagai satu-satunya tempat untuk pulang itu menyeruak di ujung matanya. Meski ia sempat berhenti, sekedar menarik nafas panjang untuk menetralkan getaran yang mulai menggeliat di sendi-sendi tubuhnya.
Setelah sepuluh tahun belajar bersabar di dalam penjara, siang ini pelajaran itu musnah begitu ia membayangkan dua wajah yang sebentar lagi akan ditemuinya. Dua buah senyuman ini --satu yang ia cintai, dan satu lagi yang ia rindui— benar-benar meruntuhkan segala bentuk kesabaran yang ia miliki. Senyuman Sitti istrinya dan Rima anak semata wayangnya.
Ia sengaja tak mengabari Sitti akan kepulangannya siang ini. Syamsul merasa perayaan rindu dan pertemuan menjadi lengkap dengan adanya sebuah kejutan. Sekarang ia sudah berada tepat di hadapan tangga rumahnya. Dari suara langkah kaki yang terdengar dari atas rumah, jelas sekali bahwa istrinya sedang berada di rumah. Syamsul merasa bersyukur semua berjalan sesuai rencana.
Sebuah isyarat dari dalam nurani membuat Syamsul berpikir lebih baik menunggu saja di hadapan tangga hingga Istrinya dan tentu saja Rima keluar dari rumah. Tapi, Syamsul tahu bahwa mereka setidaknya butuh alasan untuk keluar. Seketika sebuah ide menyala dalam kepalanya. Syamsul menahan nafasnya agak lama kemudian menghebuskannya lewat belakang hingga menimbulkan suara yang tidak sampai menggelegar tapi mampu mengusik ketenangan penghuni rumah. Sebab tidak ada yang paling dirindukan dari diri seorang Syamsul selain kebiasaan buang anginnya. Sampai istrinya sendiri sepertinya mustahil jika tidak mampu menghapal iramanya, menghapal bunyinya.
Belum juga habis suara angin yang dibuang Syamsul secara tidak wajar, bunyi langkah kaki yang berlari seketika terdengar dari atas rumah, dan kemudian disusul oleh bunyi lengkingan pintu utama rumah itu yang terbuka.
Sitti mematung, tapisan beras dari bambu yang ia bawa jatuh saking lemasnya. Ia lunglai kehilangan seluruh daya menghadapi serangan debar yang begitu kencang dari dalam dadanya. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, mencair, lalu jatuh berupa tetes demi tetes. Syamsul membalasnya dengan tersenyum meski dengan mata yang juga berair.
“Mana anakku?” kata Syamsul memulai upacara perayaan.
“RIMAAAAAAAAAA” teriakan Sitti terdengar seperti teriakan meminta pertolongan
Seorang anak perempuan kecil keluar dari dalam rumah. Tergesa-gesa karena khawatir telah terjadi apa-apa pada ibunya. Sitti cepat-cepat menghapus air matanya. Seolah sudah bersepakat sebelumnya, Rima pun ikut mematung, menjatuhkan boneka yang ia peluk di lengannya. Hanya bedanya Rima merasa belum punya cukup alasan untuk menetitikkan air mata, sebelum pertanyaannya terjawab.
“Bapak?” Tanya Rima berharap dijawab dengan anggukan.
“Iya Nak” Syamsul mengangguk.