Namaku Rima dan jika ada yang menanyaiku hadiah apa yang paling aku inginkan saat berulang tahun, tentu aku akan menjawab tanpa ragu, aku ingin bertemu bapak.
Seumur hidup aku belum pernah bertemu bapak. Sejak kecil aku hanya mengenal bapak lewat cerita ibu dan sebuah album foto milik ibu. Hingga lewat cerita dan album itu lah, setidaknya sampai sekarang, aku masih punya alasan untuk percaya bahwa aku juga punya bapak.
Aku selalu suka senyum bapak di album itu. Di album itu bapak tampak riang sekali setiap berdampingan dengan ibu, ibu juga begitu. Membuatku ingin sekali suatu waktu, kami bertiga berfoto bersama, dengan wajah riang yang sama.
Sejak kecil, setiap malam sebelum aku tidur ibu juga selalu berdongeng tentang bapak. Aku yang memintanya melakukan itu, awalnya ibu tak setuju, tapi akhirnya ibu menyerah sebab tak rela melihatku menitikkan air mata.
Ibu selalu berdongeng tentang kebiasaan bapak yang sulit sekali dibangunkan jika terlanjur lelap, tentang bapak yang mendengkur keras sekali, tentang bapak yang buang angin sembarang tempat. Aku tertawa setiap kali mendengar cerita-cerita itu. Ada juga cerita tentang bapak yang gemar menciumku saat masih di dalam perut ibu. Ini cerita favorit ibu, sedangkan bagiku, ini cerita yang membuatku yakin bahwa bapak sangat menyayangi aku.
Tentu perasaan rindu juga bisa datang melanda sewaktu-watu, hingga tak cukup rasanya jika hanya memandangi foto atau mendengar cerita-cerita saja. Jika sudah rindu begitu, aku jadi ingin sekali bertemu bapak, ingin sekali memeluk kakinya, memanjat punggungnya, mengacak-acak rambutnya, hingga terlelap di peluknya, selama-lamanya.
Tapi masalahnya, Ibu tak pernah setuju jika aku meminta untuk dibolehkan menjenguk bapak di penjara, sebab menurut ibu penjara terlalu berbahaya untuk anak kecil sepertiku. Tapi aku harus bagaimana, aku begitu merindukan bapak, rindu sekali. Hanya dengan bertemu bapak rinduku bisa hilang, tak ada pilihan yang lain.
Hingga seringkali tanpa sadar aku merajuk dan memaksa ibu. Namun, bukan ibu namanya jika hanya karena rajukan atau paksaan ia akan goyah dari hal-hal yang ia pegang. Ibu adalah sosok yang sangat kuat.
Tapi betapapun kuatnya ibu, ibu tetap saja perempuan. Aku seringkali mendapati ibu menangis saat sedang sendiri. Entah menangisi apa atau siapa, bisa jadi bapak, bisa jadi aku, atau bisa jadi dirinya sendiri.
Kata ibu, bapak ditangkap polisi sejak aku masih berumur delapan bulan dalam kandungan. Bapak ditangkap karena penduduk desa menuduh bapak membunuh Pak Amir yang merupakan saingan bapak waktu pemilihan kepala desa. Padahal pengakuan bapak menurut ibu (sebelum akhirnya ditangkap polisi) Pak amir meninggal karena bunuh diri, dan bapak yang menemukan mayatnya pertama kali. Aku tak mengerti semua cerita ini dulu, aku hanya mengingat ibu bercerita seperti itu sewaktu aku yang berumur enam tahun menanyakan mengapa bapak bisa masuk penjara. Satu-satunya hal yang bisa aku mengerti adalah, sejak kecil aku harus hidup tanpa bapak, dan bagiku, rasanya sangat menyakitkan.
Tapi sekarang, aku sudah mulai cukup usia untuk bisa mengerti semua itu, mengerti bahwa orang-orang bisa saling mencelakai hanya karena memperebutkan sesuatu. Namun, aku percaya bapak bukan salah satu dari orang-orang itu. Aku percaya bapak adalah orang baik. Mungkin penduduk desa hanya ingin mencari seseorang yang bisa disalahkan atas kematian Pak amir yang mereka banggakan itu. Dan bapak (yang kebetulan bukan siapa-siapa) lah yang harus kena batunya. Kasihan bapak.