Kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan telah menemui babak baru. Perkara tersebut sebelumnya telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan  nomor registrasi ; 372/Pid.B/ 2020/ PN. Jkt. Utr. Yang dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 11 Maret 2020 atas nama Fedrik Adhar, S.H.Â
Selaku penuntut umum dan Rahmat Kadir Mahulette selaku terdakwa. Serta, perkara dengan nomor registrasi ; 371/ Pid. B/ 2020/ PN. Jkt. Utr. Yang juga dilimpahkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 11 Maret 2020 atas nama Fedrik Adhar, S.H. selaku penuntut umum dan Ronny Bugis selaku terdakwa.
Bahwa dalam dakwaannya, penuntut umum mendakwa kedua terdakwa dengan dakwaan subsidairitas yakni Pasal 355 Ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sebagai dakwaan primer, serta Pasal 353 Ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sebagai dakwaan subsidair, dan Pasal 351 Ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sebagai dakwaan lebih subsidair. Atas dakwaan tersebut dan berdasarkan fakta-fakta di persidangan, jaksa penuntut umum menuntut kedua terdakwa berdasarkan dakwaan subsidair, dengan Pasal 353 Ayat (2) Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama satu (1) tahun. Atas tuntutan satu tahun inilah, yang menjadikan perkara ini menjadi polemik dan buah bibir di masyarakat akhir-akhir ini.Â
Sebelum mengulas lebih jauh,  perlu kita pahami mengenai legitimasi daripada penuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terlebih dahulu. Pasal 137 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyatakan, bahwa " Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili ". Lebih lanjut, Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyatakan bahwa " Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penuntutan ". Istilah tuntutan (penuntutan : kata kerja) diatur di dalam Pasal 182 Ayat (1) Huruf a. KUHAP, yang menyatakan bahwa " Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana ". Secara istilah, tuntutan adalah terjemahan dari kata rekuisitor yang kemudian diadopsi dan dikenal dalam hukum acara pidana di Indonesia. Pada buku Peristilahan Hukum dalam Praktik (Kejaksaan Agung RI 1985), rekuisitor diartikan sebagai tuntutan hukuman jaksa penuntut umum pada sidang pengadilan negeri setelah pemeriksaan ditutup. Oleh karena itu, jelaslah bahwa tuntutan pidana penuntut umum terikat pada surat dakwaan yang dibacakan pada awal sidang, karena surat dakwaan adalah dasar pemeriksaan sidang dan merupakan batas/ ruang lingkup pemeriksaan sidang. Serta, penuntutan itu pula tidak termasuk di dalam tahapan pemeriksaan pengadilan.
Materi muatan di dalam surat tuntutan (rekuisitor) jaksa penuntut umum, setidaknya meliputi sistematika sebagai berikut ; Pendahuluan, Fakta Persidangan ( Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa ), Analisis Fakta, Analisis Yuridis, Hal-Hal yang Memberatkan, Hal-Hal yang Meringankan, Tuntutan, dan Penutup. Proses penyusunan surat tuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum tidak dapat dilakukan sembarangan, melainkan harus melalui serangkaian tahapan administrasi (SOP) di internal kejaksaan. Baik ditingkat Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung.Â
Serangkaian proses penyusunan surat tuntutan sebagaimana dimaksud, telah diatur melalui Pasal 37 s.d. Pasal 40 Peraturan Jaksa Agung RI No. Per-036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum.
Pada Pasal 37 dijelaskan bahwa :
(1) Setelah pemeriksaan terdakwa, penuntut umum segera membuat surat tuntutan pidana dan mengajukan rencana tuntutan pidana secara berjenjang sesuai hierarki kebijakan pengendalian penaganan perkara
(2) penyampaian rencana tuntutan diajukan sebelum pelaksanaan sidang pembacaan tuntutan, paling lambat :
    a. 3 (tiga) hari dalam hal pengendalian perkara dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri.
    b. 4 (empat) hari dallam hal pengendalian perkara dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi.
    c. 5 (lima) hari dalam hal pengendalian perkara dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum atau Jaksa Agung.
(3) Petunjuk tuntutan harus sudah diberikan kepada pimpinan satuan kerja paling lambat 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan sidang.
Pada Pasal 38 dijelaskan bahwa :
(1) Pengajuan rencana tuntutan dan pemberian petunjuk tuntutan, harus mendasarkan pada peraturan perundang-undangan dan fakta hukum di persidangan, dengan memperhatikan :
   a. Keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
   b. Tujuan pidana dan pemidanaan.
   c. Hal-hal yang meringankan dan memberatkan.
   d. Perkembangan hukum dan masyarakat serta kearifan lokal
   e. Kepentingan perlindungan korban, masyarakat dan terdakwa secara seimbang.
Pada pasal 40 dijelaskan bahwa :
(1) Dalam penanganan perkara, penuntut umum dapat berkonsultasi dengan pimpinan Kejaksaan sesuai hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa perkara a quo telah mencapai tahapan penuntutan. Setidaknya, penulis memberikan beberapa catatan kritis terhadap tuntutan jaksa penuntut umum yang dibacakan pada hari Kamis, 11 Juni 2020 di pengadilan Negeri Jakarta Utara sebagai berikut :
1. Mengesampingkan dakwaan primer
Sebagaimana telah diuraikan diatas, tuntutan jaksa penuntut umum jatuh kepada dakwaan subsidair yakni Pasal 353 Ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Sementara dakwaan primernya yakni Pasal 355 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Mari kita bandingkan kedua bunyi pasal tersebut. Pasal 355 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa " Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun ". Sementara Pasal 353 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa " Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun" Selanjutnya pada Ayat (2)  menyatakan bahwa " Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama 7 tahun ".
Jika ditelaah bunyi pasal tersebut, yang membedakan secara prinsipil diantara keduanya adalah terletak pada niat untuk melakukan perencanaan. Maksud dari perencanaan atau dengan rencana terlebih dahulu menurut R. Soesilo, adalah antara timbulnya maksud untuk melakukan perbuatan (menganiaya) dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan. Pada Pasal 355 Ayat (1) dapat ditafsirkan bahwa, pelaku berniat untuk melakukan penganiayaan berat dengan rencana yang telah disiapkan terlebih dahulu. Penafsiran pasal ini diperkuat kembali dengan pendapat dari R. Soesilo pada pasal 354 Ayat (1) bahwa, supaya dapat dikenakan pasal ini, maka niat si pembuat harus ditujukan pada melukai berat. Artinya, luka berat harus dimaksud oleh si pembuat, apabila tidak dimaksud dan lukla berat itu hanya merupakan akibat saja, maka perbuatan itu masuk penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat.  Sehingga, unsur dominan dalam pasal 355 Ayat 1 KUHP, adalah letak niat pelaku untuk mewujudkan penganiayaan berat telah ada sejak ia merencanakan perbuatannya.Â
Sementara pada Pasal 353 Ayat (1) jo. Ayat (2) KUHP dapat ditafsirkan bahwa, pelaku berniat untuk melakukan penganiayaan dengan rencana yang telah disiapkan terlebih dahulu.  Namun, ketika ia mewujudkan perbuatannya, ternyata mengakibatkan luka berat pada korbannya. Sehingga, unsur dominan pada Pasal 353 Ayat (2) yang membedakannya dengan Pasal 355 Ayat (1) ) adalah, tidak ada niat pelaku untuk mewujudkan penganiayaan berat sejak ia merencanakan perbuatannya. Namun, akibat yang ditimbulkan berbeda dari apa yang telah direncanakannya terlebuh dahulu.Â
Tentunya, mengukur niat seseorang tidaklah mudah, karena penulis sebagai manusia yang beragama, meyakini bahwasannya kebenaran yang sesungguhnya hanya ada pada sang pencipta. Tetapi dalam praktiknya, untuk mengukur niat jahat (mens rea) seseorang, tidak dapat terlepaskan daripada unsur kesalahan dan perbuatannya (actus reus). Oleh karena itu, para penegak hukum dalam menilai unsur niat(mens rea) sesorang harus melihat pula unsur kesalahan dan perbuatannya atau dengan melihat persesuaian antar perbuatannya. Satu catatan krirtis pada poin ini adalah, apakah penyerangan yang dilakukan sekiranya jam 5.10 pagi hari, dan juga dengan alat serta cara yang telah direncanakan dengan matang, apakah tepat untuk dikatakan tidak ada niat melakukan perencanaan penganiayaan berat ?
2. Kejanggalan pada barang bukti dan pengungkapan aktor intelektual
Sebagaimana pembacaan tuntutan yang dibacakan oleh jaksa enuntut umum, beberapa barang bukti yang dibacakan dan diperiksa dalam persidangan antara lain :
- 1 (satu) buah Mug kaleng motif loreng Hijau berisi cairan;
- 1 (satu) buah botol aqua berisi cairan;
- Potongan kulit pohon nangka terdapat bercak cairan.
- 1 (satu) Unit handphone merk OPPO F11, model CPH 1911, warna hitam biru gelap No. Imei 1 : 866988049397515, No. Imei 2 : 866988049397507, NOMOR Handphone 081294117158
- 1 (satu) Unit handphone merk OPPO F5, model CPH 1727, warna merah, No. Imei 1 : 866907039327951, No. Imei 2 : 866907039327944, Nomor Handphone 081931118864
- 1 (satu) buah kopiah warna Putih;
- 1 (satu) pcs baju gamis lengan panjang warna Coklat;
- 1 (satu) pasang sandal merk Hush Puppies warna Hijau
- 1 (satu) media penyimpanan data elektronik berupa Hard Disk Merk Western Digital (WD). SATA/64MB Cache MDL : WD10PUPRK-64E5EY0, WWN 50014E2B7D93D2A, kapasitas 1 TB, S/N WCCAJ1TXEPKZ, yang didalamnya tersimpan dokumen / informasi elektronik berupa rekaman CCTV dengan nilai Hash Sha 1 a641 ce98 dbec dcb7 4ac2 987e 6364 b396 2026 e15e, Hash Md5 : ae83 c1d1 df54 dd2f 1413 d7b1 07fd 6649.
- 1 (satu) unit H 264 Network DVR SAD-1008, No. Seri : 20150615400000H, Merk SUCHER, warna Hitam, dengan No. BMN : 3.06.01.01.076.407.
- 1 (satu) unit Adaptor Merk SAGEM Type KSAP020120200HE
Penulis menilai, bahwa penyidik dan jaksa penuntut umum mengabaikan bukti yang utama untuk mengungkap dalang/ aktor intelektual dibalik penyerangan ini. Sekitar beberapa bulan lalu, terdengar kabar tentang pengeruskaan buku merah oleh penyidik KPK yang berasal dari institusi POLRI. Perlu diketahui bahwa, buku merah merupakan suatu hasil pemeriksaan KPK atas keterangan blakblakan Kumala tentang catatan pengeluaran uang Basuki yang ditengarai salah satunya untuk para petinggi polisi. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan, kucuran dana itu salah satunya mengalir kepada Jenderal POLRI saat itu, yakni Jendral Tito Karnavian. Pengungkapan aktor intelektual pula diakui di dalam hukum pidana yakni sebagi penyuruh (doenpleger) Â yang secara expressive verbis termaktub di dalam rumusan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KHP.Â
Satu bukti saja menjadi sangatlah penting dan bisa saja menjadi kunci dalam sebuah perkara pidana. Hal ini didasarkan pada satu adagium in criminalibus probantiones beden esse luce clariores yang artinya bukti-bukti dalam suatu perkara pidana harus lebih terang daripada cahaya. Satu poin kritis dalam hal ini adalah, mengapa penyidik dan jaksa penuntut umum tidak menghadirkan barang bukti buku merah ini di dalam persidangan? Apakah ada upaya untuk menyembunyikan dalang/aktor intelektual dari penyerangan ini? Karena, rasanya aneh jika penyerangan ini dilakukan atas inisiasi sepihak dari seorang brigadir polisi yang berdalih telah mengkhianati institusi POLRI.
3. Minimnya alasan pemberat
Sebagaimana tuntutan yang dibacakan, bahwa terdapat 1 (satu) alasan yang memberatkan dan 4 (empat) alasan yang meringankan bagi  kedua terdakwa. Hal-hal tersebut diantaranya :
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan terdakwa telah mencederai kehormatan institusi Polri.
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa belum pernah dihukum,
- Terdakwa mengakui perbuatannya di depan persidangan,
- Terdakwa kooperatif dalam persidangan, dan
- Terdakwa telah mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kewenangan untuk memberikan alasan yang memberatkan dan alasan yang meringankan lebih cenderung kepada penilaian subjektif jaksa penuntut umum selaku penegak hukum disamping penilaian objektif yang terjadi. Sehingga, patut untuk dikritisi terhadap alasan tersebut diatas. Bukankah selain mencoreng institusi POLRI, profesi kedua terdakwa yang juga sebagai penegak hukum seharusnya memberikan contoh kepada masyarakat ? Dan bukan sebaliknya. Bukankah perbuatan kedua terdakwa tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap visi kepemimpinan Presiden Jokowi untuk mereformasi birokrasi yang bebas dari KKN ?Â
4. Tuntutan pemidanaan yang tidak wajar
Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa pada pokoknya jaksa penuntut umum menuntut kedua terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Hal ini tentu sangat disayangankan, mengingat perbuatan terdakwa melakukan penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dengan perencanaan terlebih dahulu sebagaimana diatur dan diancam pidana maksimum 7 (tujuh) tahun dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP, tentu sangatlah mencoreng nilai-nilai keadilan. Tentu lamanya pemidanaan tersebut tidak terlepas dari alasan yang memberatkan dan alasan yang meringankan versi jaksa penuntut umum yang patut untuk dikritisi bersama. Bandingkan dengan beberapa kasus lainnya seperti penyiraman air keras oleh Rika Sonata terhadap suaminya pada bulan Oktober 2018 silam sehingga menyebabkan korban mengalami cacat permanen. Rika dituntut selama 10 (sepuluh) tahun dan divonis 12 tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Bengkulu. Selain itu, kasus penyiraman air cuka oleh Ahmad Irawan kepada Muhammad Rifai pada tahun 2019 silam, sehingga menyebabkan korban mengalami cacat permanen pada mata sebelah kiri. Ahmad Irawan dituntut 10 (sepuluh) tahun penjara dan divonis 8 (delapan) tahun penjara oleh Majelis Hakim PN Palembang.Â
Sebagaimana telah diuraikan diatas mengenai SOP penanganan perkara tindak pidana umum, bahwa sebelum melakukan penuntutan jaksa penuntut umum berkewajiban untuk menyampaikan rencana tuntutan (rentut) kepada pimpinan secara berjenjang. Oleh karena itu,tuntutan 1 (satu) tahun ini, telah mendapatkan persetujuan dan atas sepengetahuan pimpinan yang dalam hal ini adalah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.  Dengan demikian, catatan kritis pada poin ini adalah teori dan makna keadilan sepeti apakah yang diadopsi oleh Kejaksaan ? Perhatian penulis dalam catatan kritis ini didasarkan pada suatu adagium similia similibus yang berarti dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula, hal inipun tertuang sebagai salah satu sumber hukum formil di Indonesia, yakni yurisprudensi yang dapat diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam memutus suatu perkara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H