Mohon tunggu...
Pemburu Pelangi
Pemburu Pelangi Mohon Tunggu... Asisten Peneliti -

Bekerja sebagai asisten peneliti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Gula Ada Semut: Skandal Korupsi, Irman Gusman dan Ketidakperkasaan DPD

29 September 2016   08:19 Diperbarui: 2 Oktober 2016   19:37 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini semua media dipenuhi berita tentang Jessica, Mario Teguh dan Aa Gatot, mereka berlomba mewartakan perkembangan kasus tersebut, di mana-mana hangat dibicarakan, di warung kopi, pangkalan ojek, dan ibu-ibu.

Tetapi mendadak sontak kami semua dibuat terkejut dengan adanya ‘Operasi Tangkap Tangan’ (OTT) yang dilakukan oleh KPK. Yang lebih mengejutkan lagi yang tertangkap adalah seorang tokoh politik yang dikenal sangat santun, baik, tulus, ikhlas dan dekat dengan rakyat. Pencitraan politik dikembangkan seolah-olah apapun yang dilakukannya demi kesejahteraan rakyat semata. Dia sering berkeliling ke daerah binaannya bahkan aktif hadir di acara-acara idola di televisi seperti Indonesian Idol dll. Titik awal skandal korupsinya beredar rumor keterlibatan tokoh DPD dengan inisial IG, masih tanda tanya apakah IG itu Irman Gusman? Ternyata benar dia adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman yang ditangkap KPK di tengah malam buta dan menjadikannya tersangka kasus penyuapan, percaloan dan ‘penyimpangan’ jatah gula Bulog dari Jakarta ke Padang. Sekarang semua media baik cetak maupun elektronik beralih tertuju pada aksi OTT KPK tersebut.

Kejadian ini mengingatkan saya pada tulisan Jeremy Mulholland seorang pakar politik-ekonomi dari Australia yang sudah lama menelaah sejarah Indonesia modern dengan terpelajar, jelas dan tajam. Lima tahun sebelum Irman Gusman ditangkap tangan oleh KPK Mulholland sudah menganalisa sejarah pembentukan DPD maupun praktek-praktek korupsi pimpinan DPD. Menurut Mulholland, meskipun DPD tidak memiliki keperkasaan politik seperti DPR namun pimpinan DPD tidak berbeda jauh dengan anggota-anggota lain dari para penguasa politik di Indonesia, di mana mereka juga memperebutkan posisi dengan praktek politik uang dan juga main proyek.

Di bawah ini hasil terjemahan tulisan Jeremy Mulholland, Presiden Direktur Investindo International Pty Ltd dan peneliti dalam Bidang Pemasaran Bisnis Internasional sekaligus Indonesianis dari Fakultas Ekonomi, La Trobe University, Australia, yang diterbitkan oleh jurnal elektronik Inside Indonesia linknya http://www.insideindonesia.org/reformasi-or-deformasi dengan judul “Reformasi or Deformasi”.

Selamat membaca karena dengan demikian kita jadi bisa lebih tahu sepak terjang para elit di DPD.

Reformasi atau Deformasi: Studi Kasus Dewan Perwakilan Daerah

Oleh Jeremy Mulholland

Dalam era rezim otoriternya Suharto, kekuasaan dan kekayaan terpusat di pulau Jawa khususnya Ibu Kota Jakarta. Pada saat kejatuhan Suharto sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 tuntutan-tuntutan reformis termasuk, antara lain, peningkatan kepekaan para penguasa politik yang berkaitan dengan keperluan dan angan-angan kedaerahan di mana sebagian besar penduduk Indonesia bermukim. Dalam hal ini, suatu kesepakatan elit yang bercirikan setengah hati terbentuk antar anggota-anggota dari para penguasa politik bahwa tuntutan-tuntutan kedaerahan mau tak mau seharusnya terakomodasi lewat program kebijakan desentralisasi dan otonomi besar-besaran. Perubahan legislatif ini kelak mengakibatkan bukan saja pilkada yang kompetitif di tingkat provinsi dan kotamadya serta kabupaten tapi juga desentralisasi kekuasaan terhadap jasa pelayanan publik pada birokrasi lokal.

Pergantian rezim dari Suharto ke Habibie juga memungkinkan perubahan perundang-undangan. Ada empat amandemen yang berlangsung dalam kurun waktu 1999-2002 yang sungguh-sungguh merombak isi dari Undang-Undang Dasar 1945. Dengan perkataan lain, keempat amandemen dari UUD 1945 ini menyerupai kebangkitan burung Phoenix yang mengalami kelahiran dari abu untuk bermetamorfosa dan memulai siklus kehidupan barunya. Keempat amandemen dari UUD 1945 membantu menyebabkan pendemokrasian sistem politik Indonesia, yaitu pengurangan kekuasaan ‘Majelis Permusyawaratan Rakyat’ (MPR) dan pendistribusian kekuasaan di antara baik kepresidenan maupun parlemen nasional, yaitu ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ (DPR), yang sangat berkuasa. Perubahan politik ini juga termasuk pemindahan utusan daerah dari MPR ke dalam suatu dewan parlemen baru, yang disebut ‘Dewan Perwakilan Daerah’ (DPD). Pembentukan DPD terbukti sangat penting secara psikologi buat orang Indonesia yang tinggal di daerah-daerah seluruh Indonesia sebab meningkatkan derajat kepercayaannnya bahwa mereka memiliki perwakilan politik dalam proses pengambilan keputusan nasional di Senayan.

Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu 2004, empat ‘calon legislatif’ (caleg) terpilih dari masing-masing daerah menjadi anggota DPD. Diharapkan bahwa mereka akan berperan demi kepentingan rakyatnya di daerah masing-masing, dengan memperjuangkan isu-isu regional di tingkat politik nasional. Akan tetapi dapat dijelaskan pada dasarnya DPD itu merupakan resiko suatu pandangan bahwa demokrasi merupakan obat mujarab segala permasalahan yang dihadapi suatu negara. Sebetulnya harapan tinggi tentang peranan politik dan kapasitas DPD untuk memperjuangkan kepentingan kedaerahan terongrong oleh pembesar-pembesar parpol serta pengaruhnya terhadap proses pembuatan undang-undang. Oleh karena kerangka perundang-undangan baru itu, DPD yang terdiri dari 132 anggota, mengalami ketakperkasaan secara politis dan dapat dipandang sebagai ‘kelengkapan demokrasi’ saja. Namun begitu, berkaitan dengan lingkungan politik uang kompetitif dalam sistem demokrasi Indonesia, DPD secara terus-menerus diperlakukan sebagai ‘kendaraan politik’ untuk mementingkan kepentingan-kepentingan sempit khususnya di tingkat pimpinan DPD.

Perjuangan DPD dalam Elit Politik Nasional

Pembentukan DPD diakibatkan oleh pembesar-pembesar parpol yang berlawanan yang tertekan secara signifikan oleh koalisi reformis yang terdiri dari Koalisi Konstitusi Baru (KKB), LSM-LSM, dan organisasi-organisasi media massa seperti MetroTV. Secara garis besar kelompok-kelompok dari koalisi tersebut ini menyarankan bahwa utusan daerah yang lama ternyata tidak berfungsi dengan efektif selama periode Orde Baru tetapi konsep wakil kedaerahan juga tidak dapat dihilangkan. Oleh karena itu mesti menemukan badan politik baru untuk menggantikannya. Sebagian besar anggota dari panitia ad-hoc satu dari MPR terombang-ambing dalam gelombang reformasi yang sedang pasang naik. Sangat haus untuk meningkatkan keabsahan politknya terkait dengan citra kedemokrasiannya, membuat mereka rentan terhadap tuntutan-tuntutan reformis. Akan tetapi PDIP, militer dan Golkar masih resah (catatan: Golkarlah yang tidak seresah PDIP dan Militer) terhadap peranan historis sistem politik bikameral yang bercirikan konsep negara federal yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1949 yang hanya berlaku sekitar delapan bulan. Jadi, salah satu kompromi politik berlangsung dalam proses perundingan politik pada saat itu adalah pembentukan sistem politik bikameral yang lunak yaitu susunan pendistribusian kekuasaan yang terdiri dari parlemen nasional (DPR) yang sangat berkuasa maupun senat regional (DPD) yang tidak berkuasa.

Dengan DPD mulai bekerja pada tahun 2004, anggota-anggota DPR khususnya pembesar-pembesar parpol memandang kamar politik baru ini sebagai ancaman politik besar. Oleh karena itu mereka bertindak untuk memperlemah DPD dengan menciptakan undang-undang baru yang mengatur proses pengambilan keputusan politik di Senayan berdasarkan atas voting per anggota bukan per kamar. MPR terdiri dari 692 anggota 560 dari DPR dan 132 dari DPD. Untuk menghasilkan perubahan perundang-undangan di MPR, mesti ada kuorum paling tidak 2/3 dari anggota MPR. Tetapi dari segi jumlah anggota DPD, DPD hanya merupakan 1/5 dari MPR jadi secara struktural jelas mustahil untuk menentukan hasil politik tanpa dukungan dari DPR.

Tambahan pula, DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali untuk membuat dan memberlakukan undang-undang. Walaupun DPD bertindak sebagai pengusul dan penasehat ‘Rancangan Undang-Undang’ (RUU), DPD tidak boleh dilibatkan dalam perundingan politik tentang RUU yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kepentingan kedaerahan, serta sidang pleno pada saat DPR mengambil keputusan tertentu mengenai RUU. DPD dapat mengajukan usulan atau draft RUU kepada DPR tetapi pada kenyataannya DPR biasanya aksi-sepihak menentukan apakah mau menerima atau menolak usulan-usulan RUU dari DPD.

Dengan upaya penguatan DPD yang ditentang oleh DPR, DPD berusaha untuk mencari sumber dukungan langsung dari beberapa parpol. Tetapi pembesar-pembesar parpol enggan berunding atau berkompromi dengan DPD. DPR merasa sangat terancam apabila kekuasaannya dalam penentuan APBN dibagi dengan DPD, ternyata DPR sudah menikmati kekuasaan yang luar biasa berikatan dengan penentuan APBN dan memanfaatkan alokasi dana APBN yang besar.

Seandainya DPD itu berhasil meningkatkan kekuasaanya terhadap proses penentuan APBN maka DPR pasti mengalami pengurangan kekuasaan terhadap penentuan APBN. Menurut pendapat Wakil Ketua Pramono Anung Wibowo, “apabila ada pembagian kekuasaan dengan DPD pasti mengurangi kekuasaan kami terhadap legislasi dan anggaran jadi tidak bisa.”

Walaupun kenyataan politiknya memang demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pimpinan dan anggota-anggota DPD sangat menikmati posisi ini. Mereka menerima alokasi anggaran gaji dan fasilitas yang mirip dengan anggota-anggota DPR tetapi tidak mempunyai tanggung jawab yang sama. Sebagaimana telah ditegaskan oleh pakar ilmu politik Indonesia terkenal Arbi Sanit, “untuk menjadi ketua atau wakil ketua DPD atau anggota DPD posisi yang keren.”

Berkaitan dengan posisi-posisi pimpinan DPD dilengkapi dengan perlakuan khusus yang sering disebut ‘manisan’. Misalnya tinggal di komplek Menteri Jalan Denpasar Raya Kuningan, mempunyai akses langsung pada Istana termasuk Presiden dan menteri-menterinya serta diantar dan dikawal oleh polisi ke mana-mana memakai mobil-mobil bagus dengan plat nomor misalnya RI 07 (catatan: berdasarkan undang-undang fasilitas pengawalan polisi ini sebetulnya hanya boleh digunakan oleh presiden, wakil presiden, dubes-dubes dan tamu negara).

Skandal dan Proyek

Semenjak permulaan reformasi ada banyak skandal korupsi yang menerpa anggota-anggota DPR, eksekutif (termasuk Presiden) dan juga instansi-instansi pemerintah. Tetapi berkat ketakperkasaan politiknya, DPD sendiri tidak langsung tertuduh kasus korupsi. Namun begitu, dapat dikatakan ‘ada udang di balik bakwan’ dalam arti ada persekongkolan-persekongkolan informil yang dilakukan terus-menerus oleh pimpinan dan anggota-anggota DPD yang terkait erat dengan alokasi anggaran tahunan DPD. Setiap tahun dana anggaran ini digelembungkan dan digunakan untuk jalan-jalan dan rapat di hotel-hotel mewah serta main proyek-proyek regional yang berkaitan dengan kepala-kepala daerah, bisnis-bisnis lokal, perbatasan nasional, produksi beras dan perikanan.

Sementara itu, kedua mega proyek DPD yang paling besar adalah “Forum Investasi Regional” (Regional Investment Forum), dan pembangunan gedung baru untuk DPD di setiap daerah (apabila dijumlahkan total proyek-proyek tersebut mencapai Rp 1,1 trilun). Kedua mega proyek DPD ini telah menghasilkan dana politik informil untuk pimpinan DPD dan sebagiannya juga mengalir pada jaringan kekuasaan Presiden SBY.

Pada waktu yang sama mutu dari perekrutan elit DPD semakin berkurang. Mantan menteri gubernur, kerabat menteri dan gubernur serta saudagar-saudagar regional membanjiri DPD lewat proses pemilihan langsung yang terkait erat dengan praktek politik uang. Dalam kontek sini, tidak begitu mengejutkan bahwa pimpinan-pimpinan DPD secara berturut-turut jauh lebih banyak mementingkan karier politiknya dan mempercepat pengumpulan kekayaannya dibandingkan dengan peningkatan keefektifan organisasi DPD sendiri.

Selama periode pertama (2004-2009), DPD di ketuai oleh mantan MenKoEkuin Ginandjar Kartasasmita, penguasa politik yang sangat berpengalaman dan cerdik dari rezimnya Soeharto yang memiliki jaringan kekuasaan termasuk tokoh kuat seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla dan Fadel Muhammad.

Ginandjar berhasil membangkitkan kembali karier politiknya setelah melarikan diri ke luar negeri (Universitas Harvard, Amerika Serikat) karena pada saat itu Presiden Abdurachman Wahid berupaya untuk memenjarakannya berkaitan dengan ‘dosa-dosa’ dia di masa lalu termasuk kasus korupsi Balongan dan Freeport.

Setelah Abdurachman Wahid dimazulkan, Ginandjar kembali ke Indonesia dan berupaya untuk melakukan pencitraan politik baru yang mengutamakan kepentingan daerah supaya dapat menjaga kepentingannya sendiri terhadap serangan-serangan politik dan hukum di masa yang akan datang. Dengan menerapkan praktek politik uang Ginandjar menang pemilihan DPD di Jawa Barat.

Kemudian dia menggelontorkan amplop-amplop penuh fulus pada anggota-anggota DPD yang baru terpilih supaya dapat menjadi Ketua DPD. Jelasnya upaya Ginandjar untuk melindungi kepentingannya sendiri mencapai puncak prestasi di antara 2006-2008. Dalam kurun waktu itu dia berusaha untuk memobalisir dukungan politik demi kepentingan penguatan DPD lewat amandemen ke lima Undang-Undang Dasar 1945.

Pada tahun 2008 Presiden SBY memberikan ‘lampu kuning’ (maybe yes maybe no) untuk mendukung penguatan DPD karena dia setuju dengan pembenaran Ginandjar bahwa DPD seharusnya bekerjasama dengan presiden untuk melawan kekuasaan DPR yang dinilai terlalu kuat. Akan tetapi DPR tetap menolak usulan DPD berkaitan dengan sistem politik bikameral yang kuat.

Anggota-anggota elit dari DPR dan juga dari militer memandang proses perubahan undang-undang dapat diibaratkan membuka ‘kotak pandora’ yang membahayakan dalam arti membuka jalan pada kelompok-kelompok Islam radikal untuk melembagakan sistem kepercayaannya secara konstitusional.

Kegagalan usulan penguatan DPD juga menunjukkan ketidak-sanggupan Ginandjar untuk mengontrol pembesar-pembesar politik lain seperti Taufiq Kiemas (PDIP) dan Hilmi Aminuddin (PKS) yang tidak mau membagi kekuasaan politiknya dengan seseorang yang sudah menguasai seni politik Machiavelli.

Pada tahun 2009 Ginandjar pada awalnya menyusun dukungan politik untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden tetapi mengalami kegagalan. Namun begitu dia tetap berhasil mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan langsung DPD di Jawa Barat (Jabar) tetapi dia mengundurkan diri karena apabila dia melanggengkan posisi sebagai Ketua DPD dia takut diperlakukan lagi sebagai ‘sasaran empuk’ berkaitan dengan serangan politik dan pemerasaan hukum. Kemudian, untuk tetap mempunyai akses langsung ke Istana, Ginandjar melobi presiden SBY dan ditunjuk sebagai salah satu penasehat presiden dalam Dewan Pertimbangan Presiden pada tahun 2010-2014.

Tanpa keikutsertaan Ginandjar dalam perebutan posisi ketua DPD, Irman Gusman yang sebelumnya salah satu wakil Ginandjar berhasil memenangkan posisi tertinggi di DPD. Irman sebetulnya tidak dapat dipandang sebagai pemain baru dalam politik elit di Jakarta. Irman berasal dari Padang Sumatera Barat, pada tahun 1990an Irman adalah salah satu sahabat temannya anaknya Suharto Bambang Trihatmodjo. Dalam dekade itu Irman juga menjadi anggota utusan daerah MPR.

Pada perubahan rezim pada tahun 1998 Irman ditunjuk menjadi salah satu komisaris Bhakti Investama yang kontrol oleh ‘konco’ Bambang Tri yaitu Hary Tanoesoedibjo. Penunjukan Irman menunjukkan bahwa dia salah satu anggota jaringan kekuaaan Bambang Tri yang dipercayai untuk menjaga kerajaan bisnis keluarga Suharto selama transisi politik dari Suharto ke Habibie dan pada permulaan era Reformasi.

Irman mengikuti jejak Ginandjar dalam menerapkan praktek politik uang untuk memenangkan posisi Ketua DPD. Amplop putih yang berisi fulus dibagi-bagi pada anggota baru DPD untuk mengumpulkan suara terbanyak dan untuk mengalahkan pimpinan LSM Laode Ida dan istri Sultan Jogjakarta Ibu Hemas. Dalam konteks ini Irman meminimalisir risiko politik sebab dia tidak hanya mengandalkan jaringan kekuasaan anak Suharto dan Golkar tetapi dia juga menempel pada SBY. Tanpa kekuasaan politik, deskripsi pekerjaan sebagai ketua DPD Irman pada dasarnya bersifat seremonial.

Dia sering muncul dibaris terdepan acara televise seperti Indonesian Idol dan memberikan pernyataan yang tidak kontroversial di media massa. Namun begitu, dengan adanya dukungan dari Sekjen DPD Siti Nurbaya Bakar (dulu saat dia menjadi Sekjen di Kementrian dalam Negeri terlibat dalam skandal korupsi yang terkait dengan mark up mobil pemadam kebakaran), Irman berusaha meningkatkan dukungan dari pembesar-pembesar parpol (yang kuat dalam percaturan politik pada saat itu tentu SBY dan Aburizal Bakrie) serta juga konglomerat-konglomerat seperti James Riady, Ciputra dan Peter Gontha untuk mencalonkan diri sebagai wapres.

Dari kacamata Irman, pilihan politik yang jauh lebih baik lagi adalah mewujudkan gagasan calon independen terkait dengan pilihan Presiden 2014. (catatan: ternyata gagasan independen tidak terwujud dan SBY menolak Irman sebagai calon presiden dari Partai Demokrat).

Strategi DPD Baru

Dengan begitu frustasi seorang pencetus utama otonomi regional dan desentralisasi Ryaas Rasyid menyimpulkan, “kita tidak memerlukan DPD yang tidak memiliki kekuasaan seperti keadaan sekarang. Kalau kita tidak bisa memperkuat peranan DPD dibubarkan dan dilupakan saja!” Setelah tahun 2009 pimpinan DPD betul-betul merasakan kesia-siaan terkait dengan upaya penguatan DPD melalui proses amandemen ke lima, mereka mengubah strategi politiknya.

Strategi politik baru ini terdiri dari (i) draf amandemen ke lima dalam periode yang ditolak sebelumnya mesti di revisi lagi (ii) Peningkatan dukungan politik dari para kepala daerah termasuk bupati, gubernur dan walikota serta anggota-anggota DPRD di seluruh Indonesia. Walaupun tidak ada dalil perundang-undangan untuk mengembangkan hubungan-hubungan politik di antara DPD dan kepala-kepala daerah, hubungan-hubungan ini tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap UUD 45.

Pimpinan DPD dan anggota DPD makin lama makin bertindak sebagai calo politik untuk menomor-satukan kepentingan-kepentingan bisnis dan politik di tingkat nasional berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR yaitu APBN, proyek dan pengawasan. Secara keseluruhan ternyata pimpinan DPD tidak kreatif sama sekali mempromosikan kepentingan kedaerahan di tingkat nasional untuk memecahkan persoalan-persoalan hebat seperti kerusakan hutan dan pembakaran hutan, dan eksploitasi sumber daya alam contohnya dalam sektor pertambangan yang senantiasa mengorbankan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah seluruh Indonesia. Apabila diperbandingkan dengan ‘Mahkamah Konstitusi’ (MK), ‘Komisi Pemberantasan Korupsi’ (KPK) dan ‘Komisi Yudisial’ (KY) sebagai suatu badan politik di tingkat nasional DPD juga tidak menghasilkan hasil kebijakan publik yang mendasar untuk memperbaiki Indonesia secara politik ekonomi dan sosial budaya.

Dapat disimpulkan, perjuangan politik DPD yang bertujuan penguatan politik kemungkinan besar mengalami kebuntuan dan nasibnya sangat tergantung pada dua faktor berkaitan dengan watak sistem politik elit di Indonesia. Pertama keperkasaan DPR melandasi sekaligus memperparah pengkerdilan politik DPD.

Sebetulnya apabila DPD menjadi terlalu berhasil memobalisir dukungan politik dari daerah misalnya DPR itu dapat menyelenggarakan fungsi penentuan APBN untuk membatasi pengalokasian dana yang dikhususkan pada DPD sebagaimana sudah terjadi terhadap KPK. Yang kedua kemungkinannya kecil sekali DPD mendapat dukungan lagi dari SBY karena presiden sedang ‘kebakaran jenggot’ menghadapi skandal korupsi politik uang yang terkait dengan mantan bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang diberitakan setiap hari oleh perusahaan-perusahaan media massa termasuk TvOne milik Aburizal Bakrie dan dihebohkan oleh acara telivisi ‘Jakarta Lawyers Club’ (JLC) (Catatan: nama acara televisi ini telah diubah menjadi ‘Indonesia Lawyers Club’, ILC) yang paling populer dan dibawakan oleh Karni Ilyas. SBY juga khawatir apabila dia mendukung penguatan DPD dapat dipandang sebagai perubahan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya diam-diam untuk mengubah batas waktu agar memungkinkan SBY mengikuti pemilu 2014.

Walaupun demikian apatisme anggota-anggota DPR terhadap ancaman potensial seperti DPD memungkinkan kelanjutan dari perjuangan untuk mengubah undang-undang dasar dan juga Undang-undang terkait dengan parpol dan pemilu. Hanya sang waktu yang dapat membuktikan apakah DPR atau Presiden akan mendukung penguatan DPD ataukah mereka membiarkan status quo tetap dipertahankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun