Pembentukan DPD diakibatkan oleh pembesar-pembesar parpol yang berlawanan yang tertekan secara signifikan oleh koalisi reformis yang terdiri dari Koalisi Konstitusi Baru (KKB), LSM-LSM, dan organisasi-organisasi media massa seperti MetroTV. Secara garis besar kelompok-kelompok dari koalisi tersebut ini menyarankan bahwa utusan daerah yang lama ternyata tidak berfungsi dengan efektif selama periode Orde Baru tetapi konsep wakil kedaerahan juga tidak dapat dihilangkan. Oleh karena itu mesti menemukan badan politik baru untuk menggantikannya. Sebagian besar anggota dari panitia ad-hoc satu dari MPR terombang-ambing dalam gelombang reformasi yang sedang pasang naik. Sangat haus untuk meningkatkan keabsahan politknya terkait dengan citra kedemokrasiannya, membuat mereka rentan terhadap tuntutan-tuntutan reformis. Akan tetapi PDIP, militer dan Golkar masih resah (catatan: Golkarlah yang tidak seresah PDIP dan Militer) terhadap peranan historis sistem politik bikameral yang bercirikan konsep negara federal yang menjiwai Undang-Undang Dasar 1949 yang hanya berlaku sekitar delapan bulan. Jadi, salah satu kompromi politik berlangsung dalam proses perundingan politik pada saat itu adalah pembentukan sistem politik bikameral yang lunak yaitu susunan pendistribusian kekuasaan yang terdiri dari parlemen nasional (DPR) yang sangat berkuasa maupun senat regional (DPD) yang tidak berkuasa.
Dengan DPD mulai bekerja pada tahun 2004, anggota-anggota DPR khususnya pembesar-pembesar parpol memandang kamar politik baru ini sebagai ancaman politik besar. Oleh karena itu mereka bertindak untuk memperlemah DPD dengan menciptakan undang-undang baru yang mengatur proses pengambilan keputusan politik di Senayan berdasarkan atas voting per anggota bukan per kamar. MPR terdiri dari 692 anggota 560 dari DPR dan 132 dari DPD. Untuk menghasilkan perubahan perundang-undangan di MPR, mesti ada kuorum paling tidak 2/3 dari anggota MPR. Tetapi dari segi jumlah anggota DPD, DPD hanya merupakan 1/5 dari MPR jadi secara struktural jelas mustahil untuk menentukan hasil politik tanpa dukungan dari DPR.
Tambahan pula, DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali untuk membuat dan memberlakukan undang-undang. Walaupun DPD bertindak sebagai pengusul dan penasehat ‘Rancangan Undang-Undang’ (RUU), DPD tidak boleh dilibatkan dalam perundingan politik tentang RUU yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kepentingan kedaerahan, serta sidang pleno pada saat DPR mengambil keputusan tertentu mengenai RUU. DPD dapat mengajukan usulan atau draft RUU kepada DPR tetapi pada kenyataannya DPR biasanya aksi-sepihak menentukan apakah mau menerima atau menolak usulan-usulan RUU dari DPD.
Dengan upaya penguatan DPD yang ditentang oleh DPR, DPD berusaha untuk mencari sumber dukungan langsung dari beberapa parpol. Tetapi pembesar-pembesar parpol enggan berunding atau berkompromi dengan DPD. DPR merasa sangat terancam apabila kekuasaannya dalam penentuan APBN dibagi dengan DPD, ternyata DPR sudah menikmati kekuasaan yang luar biasa berikatan dengan penentuan APBN dan memanfaatkan alokasi dana APBN yang besar.
Seandainya DPD itu berhasil meningkatkan kekuasaanya terhadap proses penentuan APBN maka DPR pasti mengalami pengurangan kekuasaan terhadap penentuan APBN. Menurut pendapat Wakil Ketua Pramono Anung Wibowo, “apabila ada pembagian kekuasaan dengan DPD pasti mengurangi kekuasaan kami terhadap legislasi dan anggaran jadi tidak bisa.”
Walaupun kenyataan politiknya memang demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pimpinan dan anggota-anggota DPD sangat menikmati posisi ini. Mereka menerima alokasi anggaran gaji dan fasilitas yang mirip dengan anggota-anggota DPR tetapi tidak mempunyai tanggung jawab yang sama. Sebagaimana telah ditegaskan oleh pakar ilmu politik Indonesia terkenal Arbi Sanit, “untuk menjadi ketua atau wakil ketua DPD atau anggota DPD posisi yang keren.”
Berkaitan dengan posisi-posisi pimpinan DPD dilengkapi dengan perlakuan khusus yang sering disebut ‘manisan’. Misalnya tinggal di komplek Menteri Jalan Denpasar Raya Kuningan, mempunyai akses langsung pada Istana termasuk Presiden dan menteri-menterinya serta diantar dan dikawal oleh polisi ke mana-mana memakai mobil-mobil bagus dengan plat nomor misalnya RI 07 (catatan: berdasarkan undang-undang fasilitas pengawalan polisi ini sebetulnya hanya boleh digunakan oleh presiden, wakil presiden, dubes-dubes dan tamu negara).
Skandal dan Proyek
Semenjak permulaan reformasi ada banyak skandal korupsi yang menerpa anggota-anggota DPR, eksekutif (termasuk Presiden) dan juga instansi-instansi pemerintah. Tetapi berkat ketakperkasaan politiknya, DPD sendiri tidak langsung tertuduh kasus korupsi. Namun begitu, dapat dikatakan ‘ada udang di balik bakwan’ dalam arti ada persekongkolan-persekongkolan informil yang dilakukan terus-menerus oleh pimpinan dan anggota-anggota DPD yang terkait erat dengan alokasi anggaran tahunan DPD. Setiap tahun dana anggaran ini digelembungkan dan digunakan untuk jalan-jalan dan rapat di hotel-hotel mewah serta main proyek-proyek regional yang berkaitan dengan kepala-kepala daerah, bisnis-bisnis lokal, perbatasan nasional, produksi beras dan perikanan.
Sementara itu, kedua mega proyek DPD yang paling besar adalah “Forum Investasi Regional” (Regional Investment Forum), dan pembangunan gedung baru untuk DPD di setiap daerah (apabila dijumlahkan total proyek-proyek tersebut mencapai Rp 1,1 trilun). Kedua mega proyek DPD ini telah menghasilkan dana politik informil untuk pimpinan DPD dan sebagiannya juga mengalir pada jaringan kekuasaan Presiden SBY.
Pada waktu yang sama mutu dari perekrutan elit DPD semakin berkurang. Mantan menteri gubernur, kerabat menteri dan gubernur serta saudagar-saudagar regional membanjiri DPD lewat proses pemilihan langsung yang terkait erat dengan praktek politik uang. Dalam kontek sini, tidak begitu mengejutkan bahwa pimpinan-pimpinan DPD secara berturut-turut jauh lebih banyak mementingkan karier politiknya dan mempercepat pengumpulan kekayaannya dibandingkan dengan peningkatan keefektifan organisasi DPD sendiri.