Dia sering muncul dibaris terdepan acara televise seperti Indonesian Idol dan memberikan pernyataan yang tidak kontroversial di media massa. Namun begitu, dengan adanya dukungan dari Sekjen DPD Siti Nurbaya Bakar (dulu saat dia menjadi Sekjen di Kementrian dalam Negeri terlibat dalam skandal korupsi yang terkait dengan mark up mobil pemadam kebakaran), Irman berusaha meningkatkan dukungan dari pembesar-pembesar parpol (yang kuat dalam percaturan politik pada saat itu tentu SBY dan Aburizal Bakrie) serta juga konglomerat-konglomerat seperti James Riady, Ciputra dan Peter Gontha untuk mencalonkan diri sebagai wapres.
Dari kacamata Irman, pilihan politik yang jauh lebih baik lagi adalah mewujudkan gagasan calon independen terkait dengan pilihan Presiden 2014. (catatan: ternyata gagasan independen tidak terwujud dan SBY menolak Irman sebagai calon presiden dari Partai Demokrat).
Strategi DPD Baru
Dengan begitu frustasi seorang pencetus utama otonomi regional dan desentralisasi Ryaas Rasyid menyimpulkan, “kita tidak memerlukan DPD yang tidak memiliki kekuasaan seperti keadaan sekarang. Kalau kita tidak bisa memperkuat peranan DPD dibubarkan dan dilupakan saja!” Setelah tahun 2009 pimpinan DPD betul-betul merasakan kesia-siaan terkait dengan upaya penguatan DPD melalui proses amandemen ke lima, mereka mengubah strategi politiknya.
Strategi politik baru ini terdiri dari (i) draf amandemen ke lima dalam periode yang ditolak sebelumnya mesti di revisi lagi (ii) Peningkatan dukungan politik dari para kepala daerah termasuk bupati, gubernur dan walikota serta anggota-anggota DPRD di seluruh Indonesia. Walaupun tidak ada dalil perundang-undangan untuk mengembangkan hubungan-hubungan politik di antara DPD dan kepala-kepala daerah, hubungan-hubungan ini tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap UUD 45.
Pimpinan DPD dan anggota DPD makin lama makin bertindak sebagai calo politik untuk menomor-satukan kepentingan-kepentingan bisnis dan politik di tingkat nasional berkaitan dengan fungsi-fungsi DPR yaitu APBN, proyek dan pengawasan. Secara keseluruhan ternyata pimpinan DPD tidak kreatif sama sekali mempromosikan kepentingan kedaerahan di tingkat nasional untuk memecahkan persoalan-persoalan hebat seperti kerusakan hutan dan pembakaran hutan, dan eksploitasi sumber daya alam contohnya dalam sektor pertambangan yang senantiasa mengorbankan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah seluruh Indonesia. Apabila diperbandingkan dengan ‘Mahkamah Konstitusi’ (MK), ‘Komisi Pemberantasan Korupsi’ (KPK) dan ‘Komisi Yudisial’ (KY) sebagai suatu badan politik di tingkat nasional DPD juga tidak menghasilkan hasil kebijakan publik yang mendasar untuk memperbaiki Indonesia secara politik ekonomi dan sosial budaya.
Dapat disimpulkan, perjuangan politik DPD yang bertujuan penguatan politik kemungkinan besar mengalami kebuntuan dan nasibnya sangat tergantung pada dua faktor berkaitan dengan watak sistem politik elit di Indonesia. Pertama keperkasaan DPR melandasi sekaligus memperparah pengkerdilan politik DPD.
Sebetulnya apabila DPD menjadi terlalu berhasil memobalisir dukungan politik dari daerah misalnya DPR itu dapat menyelenggarakan fungsi penentuan APBN untuk membatasi pengalokasian dana yang dikhususkan pada DPD sebagaimana sudah terjadi terhadap KPK. Yang kedua kemungkinannya kecil sekali DPD mendapat dukungan lagi dari SBY karena presiden sedang ‘kebakaran jenggot’ menghadapi skandal korupsi politik uang yang terkait dengan mantan bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang diberitakan setiap hari oleh perusahaan-perusahaan media massa termasuk TvOne milik Aburizal Bakrie dan dihebohkan oleh acara telivisi ‘Jakarta Lawyers Club’ (JLC) (Catatan: nama acara televisi ini telah diubah menjadi ‘Indonesia Lawyers Club’, ILC) yang paling populer dan dibawakan oleh Karni Ilyas. SBY juga khawatir apabila dia mendukung penguatan DPD dapat dipandang sebagai perubahan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya diam-diam untuk mengubah batas waktu agar memungkinkan SBY mengikuti pemilu 2014.
Walaupun demikian apatisme anggota-anggota DPR terhadap ancaman potensial seperti DPD memungkinkan kelanjutan dari perjuangan untuk mengubah undang-undang dasar dan juga Undang-undang terkait dengan parpol dan pemilu. Hanya sang waktu yang dapat membuktikan apakah DPR atau Presiden akan mendukung penguatan DPD ataukah mereka membiarkan status quo tetap dipertahankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H