Mohon tunggu...
PELITA
PELITA Mohon Tunggu... Petani - Pelita (Pesan Literasi)

Ikatlah Ilmu dengan Tulisan. Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membangun Spirit Al-Maun di Tengah Pandemi Covid-19

7 Mei 2020   01:38 Diperbarui: 7 Mei 2020   01:38 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kerangka nalar berfikih (hermeneutika hukum islam), telah terjadi pro-kontra yang dahsyat mengenai fatwa MUI terkait dengan larangan salah satu ritual islam yakni shalat jumat dan shalat sunnah tarawih. Mengundang reaksi sensitif terhadap bentuk penyembahan dikalangan masyarakat utamanya yang agamis. 

Reaksi ini saya katakan niscaya adanya karena memang otak banyak yang punya, corak berpikir yang bermacam-macam. Fikih adalah pemahaman atas agama yang eksklusif ataukah inklusif, sektarian ataukah plural, ritualistik ataukah lebih menekankan aspek sosialnya. Inipun sangat niscaya adanya karena interpretasi terhadap suatu teks bermacam-macam.

Pertanyaannya, apakah konsep fikih dapat disandingkan dengan kebhinekaan? Sangat jelas bahwa pemahaman kaum muslimin kepada masalah sosial, ekonomi, budaya dan politik bahkan konsep fikih itu sendiri memiliki nuansa yang berbeda-beda. Teks-teks yang menjadi rujukan pun banyak ragamnya yang masing-masing satu rujukan bersifat multi-interpretatif.

Dalam hal ini, Amin Abdullah menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan agama diperlukan model pembacaan yang kontekstual. Artinya melihat dan mempertimbangkan dinamika sejarah dan sosial budaya secara keilmuan.

Dalam hal ini (rumusan hukum fikih) diperlukan dialog dingin agar tetap kondusif dan tidak terjadi kesenjangan sosial antara banyaknya perbedaan yang ada baik itu antar mazhab, corak keyakinan dalam hal pemikiran yang beragam serta praktek fikih. Ini yang harus disikapi oleh kaum muslimin. Namun saya yang fakir akan ilmu pengetahuan tidak akan berbicara soal fikih karena saya bukan ahlinya (serahkan kepada yang lebih mengetahui).

Dalam situasi sekarang ini, ditengah pandemi Covid-19, saya tertarik pada suatu surah yang cukup populer yaitu surah Al-Maun yang posisinya surah ke 107 dalam kitab suci Al-Qur'an.

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? itulah orang yang menghardik anak yatim. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riya'. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma'un:1-7).

Menurut Jalaluddin Rakhmat atau biasa disapa dengan Kang Jalal. Islam pada dasarnya adalah agama bagi kaum yang lemah (mustad'afin), Islam lebih memperhatikan orang-orang miskin, terbelakang dan tertindas (baca buku Islam Alternatif karangan Jalaluddin Rakhmat). 

Sebagaimana surah Al-Ma'un Allah SWT bertanya tentang siapa orang yang mendustakan agama? Tentu Allah SWT tidak bertanya karena tidak tahu akan tetapi dalam pertanyaan tersebut Allah SWT ingin memberikan penekanan kepada umat manusia bahwa di sisi-Nya orang yang mendustakan agama adalah orang-orang yang menghardik anak yatim, tidak memberi makan bagi orang miskin, orang-orang yang lalai dalam shalatnya, yang riya dan orang yang enggan memberikan pertolongan dengan barang yang berguna sebagaimana dalam firman-Nya pada ayat 2-7.

Berdasarakan pada surah Al-Ma'un diatas, tentu agama (khususnya Islam) tidak hanya sekedar dipahami dari sisi ritual penyembahan saja akan tetapi perlu refleksi sosial agar tidak terjadi kerusakan relasi sosial yang ada. Dan juga berusaha sebisa mungkin untuk menyelematkan orang-orang yang lemah, tertindas apalagi orang-orang yang dalam keadaan bahaya.

Lalu apa hubungannya dengan Pandemi Covid-19? Sangat jelas dapat kita lihat. Bukankah Covid-19 ini sangat berbahaya dan mengancam nyawa seseorang? Apakah kita akan tetap dengan asyiknya menyibbukan diri dengan ritual penyembahan seperti shalat sementara nyawa kita dan orang disekeliling kita terancam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun