Dalam kerangka nalar berfikih (hermeneutika hukum islam), telah terjadi pro-kontra yang dahsyat mengenai fatwa MUI terkait dengan larangan salah satu ritual islam yakni shalat jumat dan shalat sunnah tarawih. Mengundang reaksi sensitif terhadap bentuk penyembahan dikalangan masyarakat utamanya yang agamis.Â
Reaksi ini saya katakan niscaya adanya karena memang otak banyak yang punya, corak berpikir yang bermacam-macam. Fikih adalah pemahaman atas agama yang eksklusif ataukah inklusif, sektarian ataukah plural, ritualistik ataukah lebih menekankan aspek sosialnya. Inipun sangat niscaya adanya karena interpretasi terhadap suatu teks bermacam-macam.
Pertanyaannya, apakah konsep fikih dapat disandingkan dengan kebhinekaan? Sangat jelas bahwa pemahaman kaum muslimin kepada masalah sosial, ekonomi, budaya dan politik bahkan konsep fikih itu sendiri memiliki nuansa yang berbeda-beda. Teks-teks yang menjadi rujukan pun banyak ragamnya yang masing-masing satu rujukan bersifat multi-interpretatif.
Dalam hal ini, Amin Abdullah menegaskan bahwa untuk mencapai tujuan agama diperlukan model pembacaan yang kontekstual. Artinya melihat dan mempertimbangkan dinamika sejarah dan sosial budaya secara keilmuan.
Dalam hal ini (rumusan hukum fikih) diperlukan dialog dingin agar tetap kondusif dan tidak terjadi kesenjangan sosial antara banyaknya perbedaan yang ada baik itu antar mazhab, corak keyakinan dalam hal pemikiran yang beragam serta praktek fikih. Ini yang harus disikapi oleh kaum muslimin. Namun saya yang fakir akan ilmu pengetahuan tidak akan berbicara soal fikih karena saya bukan ahlinya (serahkan kepada yang lebih mengetahui).
Dalam situasi sekarang ini, ditengah pandemi Covid-19, saya tertarik pada suatu surah yang cukup populer yaitu surah Al-Maun yang posisinya surah ke 107 dalam kitab suci Al-Qur'an.
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? itulah orang yang menghardik anak yatim. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riya'. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma'un:1-7).
Menurut Jalaluddin Rakhmat atau biasa disapa dengan Kang Jalal. Islam pada dasarnya adalah agama bagi kaum yang lemah (mustad'afin), Islam lebih memperhatikan orang-orang miskin, terbelakang dan tertindas (baca buku Islam Alternatif karangan Jalaluddin Rakhmat).Â
Sebagaimana surah Al-Ma'un Allah SWT bertanya tentang siapa orang yang mendustakan agama? Tentu Allah SWT tidak bertanya karena tidak tahu akan tetapi dalam pertanyaan tersebut Allah SWT ingin memberikan penekanan kepada umat manusia bahwa di sisi-Nya orang yang mendustakan agama adalah orang-orang yang menghardik anak yatim, tidak memberi makan bagi orang miskin, orang-orang yang lalai dalam shalatnya, yang riya dan orang yang enggan memberikan pertolongan dengan barang yang berguna sebagaimana dalam firman-Nya pada ayat 2-7.
Berdasarakan pada surah Al-Ma'un diatas, tentu agama (khususnya Islam) tidak hanya sekedar dipahami dari sisi ritual penyembahan saja akan tetapi perlu refleksi sosial agar tidak terjadi kerusakan relasi sosial yang ada. Dan juga berusaha sebisa mungkin untuk menyelematkan orang-orang yang lemah, tertindas apalagi orang-orang yang dalam keadaan bahaya.
Lalu apa hubungannya dengan Pandemi Covid-19? Sangat jelas dapat kita lihat. Bukankah Covid-19 ini sangat berbahaya dan mengancam nyawa seseorang? Apakah kita akan tetap dengan asyiknya menyibbukan diri dengan ritual penyembahan seperti shalat sementara nyawa kita dan orang disekeliling kita terancam?
Spirit Al-Maun perlu ditegaskan menjadi teori sosial disekeliling kita. Apabila Allah menggolongkan orang-orang yang mendustakan agama adalah orang-orang yang menghardik anak yatim, maka termasuk apakah orang yang lebih mementingkan pahala berjamaah sementara bahaya sedang mengintai untuk dirinya sendiri bahkan untuk orang lain yang ada disekitarnya? Kedua termasuk orang yang mendustakan agama adalah orang yang lalai dalam shalatnya.
Seperti apa orang yang lalai dalam shalatnya? Saya berasumsi bahwa orang lalai dalam shalatnya bukan hanya orang yang tidak shalat akan tetapi orang yang sedang shalat tapi terdapat indikasi yang berbahaya bagi diri dan orang lain akan tetapi lebih mementingkan pahala ritual untuk dirinya sendiri.Â
Bukankah agama lebih mementingkan kemaslahatan? Begitu egoiskah agama Islam yang meskipun terdapat sesuatu yang mudhorot akan tetapi tetap patuh pada perintah pelaksanaannya? Apakah konsep Islam hanya sebatas itu?
Ketiga, termasuk orang yang mendustakan agama adalah orang yang riya. Sudah jelas bahwa perbuatan riya adalah suatu pekerjaan bukan karena Allah semata akan tetapi mencari pujian dan popularitas semata. Bisa jadi salah satu hikmah adanya wabah ini adalah Allah memberikan kita waktu untuk merenungi bahwa selama ini kita melakukan shalat secara berjamaah bukan karena untuk Allah semata melainkan ingin terlihat alim, membuat sombol-simbol religiusitas pada diri hanya untuk menarik perhatian yang pada akhirnya Allah seakan-akan berkata "Wahai hambaku sudah saatnya kalian shalat secara sembunyi-sembunyi."
Usman Suil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H