Mohon tunggu...
PELITA
PELITA Mohon Tunggu... Petani - Pelita (Pesan Literasi)

Ikatlah Ilmu dengan Tulisan. Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memeluk Keikhlasan

3 Februari 2020   20:10 Diperbarui: 3 Februari 2020   20:09 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ciri paling populer dari yang namanya manusia itu adalah rakus akan kedamaian, lapar akan kebahagiaan, haus akan kenyamanan.

Sebagai buktinya, sudah berapa banyak tempat-tempat wisata yang anda kunjungi, sesibuk apa anda terhadap kerjaan, sudah sampai mana anda memperjuangkan toga, berapa banyak uang yang sudah anda kumpulkan, berapa banyak kesuksesan yang sudah anda diraih? Semuanya demi hidup bahagia.

Setelah meraih apa yang diimpikan itu, berapa persen kebahagiaan yang sudah dinikmati? Apalagi yang dicari manusia kalau bukan kedamaian, kalau bukan ingin hidup bahagia?

Kurang meyakinkan kalau uang dan do'a menjadikan hidup bahagia. Orang kaya tak ubahnya dengan orang miskin, hanya saja tampilan luar yang membedakan antara keduanya.

Orang kaya atau pun miskin sama-sama gelisah dan sibuk mencari uang. Orang kaya menggunakan uangnya sebagai tameng pencariannya sementara orang miskin dengan do'anya. Namun apakah membuat bahagia? 35% jawabannya ia, selebihnya tidak (65%).

Agama memang tidak melarang kita untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, namun agama melarang kita untuk melupakan inti ajarannya. Dalam Islam terdapat aliran sufi, Kristen menyebutnya dengan retret, Hindu memilki yoga sementara Buddha memiliki praktek meditasi.

Semuanya memilki inti ajaran yang sama yaitu menawarkan kebahagiaan sejati kepada umat manusia. Sudahkah ditemukan kebahagiaan sejati seperti apa yang ditawarkan? Prakteknya seperti apa?

Sehubungan dengan bahagia, terdapat tulisan cukup menarik dari Thomas Bien dalam Terapi Kesadaran, Beliau menulis bahwa "Langkanya kedamaian di muka bumi ini disebabkan dengan sebagian manusia terlalu melawan hidupnya dan menggertak nasibnya".

Orang miskin membandingkan hidupnya dengan tetangga kayanya, orang kaya membandingkan dirinya dengan popularitas tetangganya, suami atau istri dibandingkan dengan pasangan selebritis dan lain sebagainya. Watak seperti inilah yang menyebabkan langkanya kedamaian di bumi ini.

Anehnya, kita selalu mencari pakaian luar untuk membungkus kebahagiaan, padahal terdapat sejuta harta karung dalam diri yang dapat menjamin hidup kita jadi bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun