Ciri paling populer dari yang namanya manusia itu adalah rakus akan kedamaian, lapar akan kebahagiaan, haus akan kenyamanan.
Sebagai buktinya, sudah berapa banyak tempat-tempat wisata yang anda kunjungi, sesibuk apa anda terhadap kerjaan, sudah sampai mana anda memperjuangkan toga, berapa banyak uang yang sudah anda kumpulkan, berapa banyak kesuksesan yang sudah anda diraih? Semuanya demi hidup bahagia.
Setelah meraih apa yang diimpikan itu, berapa persen kebahagiaan yang sudah dinikmati? Apalagi yang dicari manusia kalau bukan kedamaian, kalau bukan ingin hidup bahagia?
Kurang meyakinkan kalau uang dan do'a menjadikan hidup bahagia. Orang kaya tak ubahnya dengan orang miskin, hanya saja tampilan luar yang membedakan antara keduanya.
Orang kaya atau pun miskin sama-sama gelisah dan sibuk mencari uang. Orang kaya menggunakan uangnya sebagai tameng pencariannya sementara orang miskin dengan do'anya. Namun apakah membuat bahagia? 35% jawabannya ia, selebihnya tidak (65%).
Agama memang tidak melarang kita untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, namun agama melarang kita untuk melupakan inti ajarannya. Dalam Islam terdapat aliran sufi, Kristen menyebutnya dengan retret, Hindu memilki yoga sementara Buddha memiliki praktek meditasi.
Semuanya memilki inti ajaran yang sama yaitu menawarkan kebahagiaan sejati kepada umat manusia. Sudahkah ditemukan kebahagiaan sejati seperti apa yang ditawarkan? Prakteknya seperti apa?
Sehubungan dengan bahagia, terdapat tulisan cukup menarik dari Thomas Bien dalam Terapi Kesadaran, Beliau menulis bahwa "Langkanya kedamaian di muka bumi ini disebabkan dengan sebagian manusia terlalu melawan hidupnya dan menggertak nasibnya".
Orang miskin membandingkan hidupnya dengan tetangga kayanya, orang kaya membandingkan dirinya dengan popularitas tetangganya, suami atau istri dibandingkan dengan pasangan selebritis dan lain sebagainya. Watak seperti inilah yang menyebabkan langkanya kedamaian di bumi ini.
Anehnya, kita selalu mencari pakaian luar untuk membungkus kebahagiaan, padahal terdapat sejuta harta karung dalam diri yang dapat menjamin hidup kita jadi bahagia.
Penderitaan atau hal-hal buruk yang kita alami apabila kita kalikan dengan perlawanan, maka rasa sakit dari penderitaan itu akan semakin besar hasilnya. Sebaliknya, apabila kita kalikan dengan nol, maka sakitnya pun akan nol. Berhenti melawan rasa sakit yang ada, berhenti melawan derita yang ada maka rasa sakit itu akan hilang.Â
Rasa sakit itu terletak pada kulaitas atau kuantitas perlawanan. Begitu perlawanan dihentikan oleh keikhlasan, kehidupan berubah menjadi wajah seperti simfoni, begitulah apa yang dikatakan oleh seorang guru simbolik kedamaian Gede Prama.
Dalam hal pengetahuan, kepintaran memang diakui dalam segala bidang. Namun di jalan para pesuluk (sufi, retret, meditasi ataupun yoga) menganggap bahwa kepintaran menjadi penghalang untuk tercapainya pada kearifan puncak karena kepintaran itu sendiri membawa ego keakuan.
Para pesuluk tidaklah mendambakan kepintaran. Itulah sebabnya mereka merindukan penderitaan sebagai bahan dasar untuk mengolah kualitas dan kuantitas keikhlasan mereka.
Membangun istana ikhlas dalam diri akan memancarkan cahaya kedamaian. Apapun yang terjadi selama memeluk keihklasan, sederet penderitaan akan menjadi biasa-biasa saja.
Semua kehidupan yang dijalani menjadi indah, damai, tentram, aman. Mari memeluk keikhlasan itu dan jangan membiarkannya renggang. Inilah jalan kedamaian.
Jawa Barat, 03 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H