Mohon tunggu...
Bunga Pelangi
Bunga Pelangi Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti, aktivis sosial dan feminis muda

Sarjana dan Magister Kesehatan Masyarakat yang fokus pada bidang gender dan sosial kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membangun Optimisme Penanggulangan Tuberkulosis dari Desa

21 Agustus 2021   18:00 Diperbarui: 21 Agustus 2021   18:25 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Bunga Pelangi, Badiul Hadi)- Global Tuberculosis Report (2020) mencatat bahwa Indonesia menjadi negara kedua yang memiliki kasus tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia. Data juga menunjukkan bahwa tingginya kasus TBC di Indonesia telah terjadi pada 10 tahun terakhir dan menempatkan Indonesia pada kategori 10 negara dengan kasus TBC yang tinggi. Persoalan TBC tersebut memberikan beban ekonomi bagi Indonesia, yang mana dampak total kerugian ekonomis akibat penyakit TBC adalah sekitar 136,7 miliar per tahun.[1]

Setiap tahun, sekitar 845.000 orang di Indonesia sakit karena Mycobacterium Tuberculosis. Tahun 2019 hanya 543.874 insiden yang ternotifikasi ke kementerian kesehatan. Sedangkan pasien TBC resisten obat (TBC RO) yang ternotifikasi sejumlah 9.875, pasien TBC anak sebanyak 63.111, dan pasien TBC/HIV sebanyak 11.117. Tercatat pasien TBC yang meninggal sejumlah 11.993 orang (Subdirektorat Tuberkulosis/Subdit TBC, 20 Maret 2019).

Secara global, upaya pencegahan dan penanggulangan TBC dilakukan dengan strategi yang bertajuk END-TB. Dalam kerangka kebijakan di Indonesia, END-TB diformulasikan pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia tahun 2020-2024 serta menjadi fase kritis untuk mempercepat proses eliminasi TBC 6 tahun kemudian. Di antaranya adalah mandat penguatan komitmen dan kepemimpinan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota untuk mendukung percepatan eliminasi TBC tahun 2030 serta perlunya peningkatan peran serta komunitas, mitra dan multisektor lainnya dalam eliminasi TBC.

Untuk dapat mencapai upaya tersebut, maka tepat pada 2 Agustus 2021, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Peraturan ini menjadi penguat bagi kerangka kebijakan sebelumnya yakni Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Selang 5 tahun dari Permenkes tersebut, maka Peraturan Presiden ini menjadi acuan yang lebih kuat dan komprehensif dalam membuat supra sistem kebijakan penanggulangan TBC. Sebagaimana yang tertulis pada pasal 2, bahwa Perpres ditujukkan untuk menjadikan acuan bagi Kementerian/ Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Desa dan Pemangku Kepentingan dalam melaksanakan penanggulangan TBC.

Penguatan Pelembagaan

Perpres 67/2021 menuangkan 4 strategi nasional eliminasi TBC. Pasal 7 menjelaskan bahwa penguatan komitmen dan kepemimpinan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dengan cara (1) penyusunan target eliminasi TBC daerah dengan mengacu pada target Elimiansi TBC nasional; (2) penyediaan anggaran yang memadai untuk penanggulangan TBC; (3) pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia kesehatan yang terlatih serta (4) penyelenggaraan penanggulangan TBC berbasis kewilayahan. Penting kiranya untuk melibatkan bagaimana penguatan komitmen dan kepemimpinan berbagai tingkat pemerintah ini melalui sistem kewilayahan dari unit terkecil yang mengalur hingga koordinasi terpusat.

Desa dapat dilihat sebagai hulu dan hilir sistem bernegara, yang mana desa terdampak pada kondisi negara secara umum, ketika terjadi perubahan di negara maka akan berdampak juga pada desa. Hubungan kausalitas dan alur tersebut menjadikan desa sebagai satuan wilayah yang komprehensif untuk pelembagaan TBC di desa.

Pada konteks penanggulangan TBC, dapat dimulai dengan menjadikan desa sebagai hulu penemuan kasus serta proses pendampingan pengobatan pasien TBC. Sedangkan dari sudut pandang hilir, dapat dilihat bahwa desa dijadikan aktor pelaksana program dan kebijakan dari pemerintah pusat. Namun demikian, perlu diketahui bahwa kebijakan terkait penanggulangan TBC masih belum tersedia secara merata.

Pada perkembangannya, peraturan terkait pelibatan atau program penanggulangan TBC belum menjadi prioritas atau belum dapat diupayakan secara maksimal di tingkat desa. Peruntukkan kebutuhan spesifik di desa, seperti pengendalian TBC seringkali tidak menjadi perhatian karena tidak ada mandat atau acuan untuk alokasi anggaran dan kebijakan. Pelembagaan TBC tidak serta merta bertumpuk langsung di desa, tetapi juga perlu supra sistem yang mendukung terjadinya penanggulangan TBC secara struktural dan membuat desa bisa berdaya guna. Bahwasanya proses deteksi dan penemuan kasus TBC dapat dimulai dari tingkat keluarga, satuan rumah tangga, satuan rukun warga dan satuan lainnya sesuai peraturan komunitas yang mana dapat dikelola atau diakomodir oleh satuan desa.

Program-program di Desa dapat menjadi peluang untuk mendukung proses pengobatan pasien TBC. Misal saja kebutuhan terhadap jaminan pengaman sosial yang bisa diberikan dari program bantuan sosial desa, atau program pemberian makanan tambahan serta tidak menutup kemungkinan pada kekuatan komunitas dalam memberikan donasi sosial.

Pelembagaan TBC tingkat desa dapat dibuat atas kewenangan desa dalam membuat peraturan baik dalam kesepakatan dan norma sosial di desa, maupun melalui komitmen dari pemerintah desa. Dengan terciptanya sistem yang saling membantu dan guyub tersebut akan secara perlahan menciptakan desa yang bebas TBC. 

Merujuk pada Peraturan Pengelolaan Dana Desa, APBDesa dapat digunakan untuk upaya kesehatan yang berkaitan dengan TBC, seperti menyelenggarakan kampanye dan promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), gizi seimbang dan pencegahan penanggulangan penyakit menular seperti TBC dan pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana prasarana kesehatan di tingkat desa yang bisa dipergunakan sebagai tempat preventif, promotif dan penjaringan awal TBC seperti Balai Pengobatan, Posyandu, Poskesdes/Polindes.

Pendekatan kewilayahan dengan pelembagaan TBC di desa mendapatkan secercah harapan melalui Perpes 67/2021. Yang mana untuk menguatkan komitmen dan kepemimpinan pemerintah, maka diusung kegiatan pengembangan strategi penanggulangan TBC berbasis kewilayahan untuk mempercepat pencapaian eliminasi TBC nasional secara bottom-up. Hal ini dilakukan melalui terciptanya desa siaga TBC dan kabupaten/kota bebas TBC sebelum tahun 2030. Pembentukan desa siaga TBC ini diharapkan dapat berfungsi optimal berlandaskan situasi dan nilai budaya setempat untuk mendorong tercapainya kabupaten/kota yang bebas TBC.

Pada Perpres 67/2021 juga disebutkan bahwa terdapat berbagai kegiatan dan program yang diusahakan di tingkat desa. Di antaranya adalah kegiatan penemuan pasien TBC secara aktif berbasis institusi dan komunitas melalui pelacakan kontak dan skrining massal di daerah dengan beban kasus TBC yang besar. Kegiatan tersebut juga didukung dengan upaya intervensi perubahan perilaku masyarakat melalui pemberian penyuluhan kepada semua pasien TBC, keluarga dan masyarakat terdampak terkait dengan pencegahan TBC secara benar. 

Selain itu, pada tingkat desa juga dapat dilakukan upaya pendampingan minum obat, advokasi dan pemberian umpan baik pelayanan TBC yang didukung oleh masyarakat atau organisasi masyarakat. Peningkatan kesejahteraan pasien dan keluarga pasien TBC juga dapat diupayakan dengan penyediaan dukungan psiko-ekonomi pada pasien TBC melalui penyelenggaraan pelayanan untuk pasien TBC di sanatorium.

Kebijakan Anggaran

Penganggaran merupakan instrumen penting dalam penanggulangan TBC. Ditengah situasi pandemi COVID-19,penanggulangan TBC pun anggaran menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Meski begitu, kemudian tidak dibenarkan juga pemerintah untuk tidak mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan TBC.

Sepanjang tiga tahun terakhir, pemerintah belum mampu memenuhi target anggaran penanggulangan TBC. Pada tahun 2019, kebutuhan anggaran program TBC sebesar Rp 4,76 triliun untuk nasional, namun dialokasikan Rp 2,04 triliun atau minus sekitar Rp 2,72 triliun. Dari total alokasi anggaran itu, yang bersumber dari APBN sebesar Rp 657 miliar, APBD Rp 762 miliar, dan donor dari luar Rp 625 miliar. 

Komponen biaya ini terbesar untuk membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bergerak dalam program penanggulangan TB sebanyak 36%, lalu 30% untuk obat, 18% laboratorium, 12% program, TB HIV 1%, dan 3% untuk dukungan sosial juga riset. Sedangkan pada tahun 2020, pemerintah fokus pada penanganan pandemi COVID-19. Hal ini juga berdampak pada alokasi anggaran penanggulangan TBC. Tahun 2020 pemerintah mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan TBC sebesar Rp 127 miliar. Namun, tahun 2021 pemerintah menaikan alokasi anggaran penanggulangan TBC sebesar Rp 2,8 triliun.  Meski anggaran ini sebenernya masih jauh dari kata cukup.

Kebijakan anggaran terkait TBC mendapatkan perkembangan yang cukup signifikan melalui Perpes 67/2021. Terdapat dua hal penting yang perlu untuk menjadi catatan bersama, yakni pertama, pada pasal 32  disebutkan bahwa pendanaan penanggulangan TBC dipenuhi melalui komitmen pendanaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melalui mekanisme jaminan kesehatan serta sumber lain yang sah. Selain itu, dari konteks pelaksanaan maka akan dibebankan pada APBN dan APBD serta sumber lain yang sah. 

Kedua, secara khsuus, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dimandatkan menjadi penanggung jawab utama untuk keluaran berupa penyediaan kebijakan-kebijakan pemanfaatan Dana Desa untuk percepatan eliminasi TBC. Lebih lanjut, diharapkan juga akan ada jumlah persentase desa yang mengalokasikan dana desa untuk intervensi percepatan eliminasi TBC dan persentase desa yang mendapatkan pembinaan kader pembangunan kesehatan desa dari kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa Dana Desa dapat menjadi salah satu sumber pendanaan penanggulangan TBC yang menjadi komitmen serta secara langsung dikoordinasikan oleh Kemendesa.

Ketiga, terbitnya Peraturan Presiden tentang Penanggulangan Tuberkulosis menunjukkan komitmen dan penegasan bahwa TBC merupakan penyakit yang berbahaya dan perlu penanganan serius sejak dini. Namun, komitmen baik ini tidak tercermian secara baik dalam kebijakan penganggaran tahun 2022. Presiden tidak menyinggung TBC dalam pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2022.

Peran Desa

Strategi Nasional Tuberkulusis (Stranas TBC) 2020-2024 memandatkan salah satu sumber pendanaan penanggulangan TBC melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Pemerintah desa dapat melaksanakan 5 tahapan  dalam Stranas TBC, yaitu; pertama, menentukan prioritas upaya penanggulangan TBC di tingkat desa yang menjadi bagian dari daftar kewenangan lokal berskala Desa; kedua, memastikan kegiatan prioritas upaya penanggulangan TBC tingkat desa menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan Desa (RPJMDesa, RKPDesa) untuk keberlanjutan program dan dibiayai melalui APBDesa termasuk Dana Desa secara bertahap sampai tahun 2030;  ketiga, memastikan pendampingan oleh OPD, pendamping profesional dan pendamping teknis termasuk upaya peningkatan kapasitas maysarakat dalam pengelolaan kegiatan penanggulanagn TBC secara berkelanjutan; keempat, koordinasi untuk pembinaan dan pengawasan dengan OPD kabupaten/kota; dan kelima, melakukan evaluasi kegiatan penanggulangan TBC oleh Desa dan Supra Desa secara berkala.  Oleh karenanya, penting untuk menggunakan segala potensi yang tersedia di- dan dari- desa untuk dapat menjadi jalur cepat penanggulangan TBC desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2020 memandatkan dalam Daftar Kegiatan Prioritas Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa, Peningkatan Kualitas dan Akses terhadap Pelayanan Sosial Dasar, diangka (18) kampanye dan promosi PHBS, gizi seimbang, pencegahan penyakit seperti diare, penyakit menular, penyakit seksual, HIV/AIDS, tuberkulosis, hipertensi, diabetes mellitus dan gangguan jiwa; sayangnya kebijakan ini tereliminasi di Permendesa, PDTT Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Dalam hal ini, terjadi inkonsistensi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis tertuang bahwa Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kecacatan, dan kematian yang tinggi sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan. Pasal 20 dinyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan anggaran Penanggulangan TBC. Dalam peraturan ini, perlu dipastikan juga alokasi anggaran penganggulangan TBC di APBDesa.

Pada perkembangannya, per Agustus 2021, secara khusus beberapa target dan indikator dari penanggulangan TBC juga melibatkan tingkat desa, diantaranya pada indikator (1) penurunan angka kejadian TBC; (2) penurunan angka kematian akibat TBC; (3) cakupan penemuan dan pengobatan TBC; (4) Angka keberhasilan pengobatan TBC; (5) cakupan penemuan dan pengobatan TBC resisten obat; (6) persentase pasien TBC RO yang memulai pengobatan; (7) persentase angka keberhasilan pengobatan TBC RO; (8) cakupan penemuan kasus TBC pada anak; (9) cakupan pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT); (10) persentase pasien TBC yang mengetahui status HIV. Target dan indikator tersebut menjadikan desa memiliki peran yang sentral sebagaimana konsep hulu-hilir yang disampaikan pada tulisan ini. Maka, melibatkan pihak desa dalam menanggulangi TBC sejatinya menjadi sebuah kewajiban yang perlu dipenuhi mandatnya jika merujuk pada Perpes 67/2021.

Faktanya, strategi penanganan tuberkulosis masih menjadi persoalan serius bagi masyarakat di desa, karena lemahnya regulasi yang ada. Selain itu, masyarakat jauh dari pusat layanan tuberkulosis. Layanan kesehatan berbasis desa belum sepenuhnya siap menangani pasien tuberkulosis, jika ada, seringkali ala kadarnya.

Saat ini, perlu dorongan yang serius dari semua pihak untuk mewujudkan desa peduli TBC. Sebagai upaya mengakselerasi penanggulangan dan pengendalian TBC di Indonesia. Setali tiga uang, penangangan COVID-19 melalui pendekatan testing, tracing, dan treatment bisa diterapkan untuk TBC.

Menjadikan desa peduli tuberkulosis perlu menjadi prioritas kebijakan pemerintah, sebagai bentuk komitmen eliminasi tuberkulosis. Selain itu, komitmen ini juga bagian dari menyelamatkan warga dari tuberkulosis yang sesungguhnya sudah mempandemi sejak lama dan kasusnya terus bertambah.

Referensi:

[1] Rokom. (19 Maret 2019). TBC Akibatkan Banyak Kerugian Ekonomi.  Diambil dari https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20190319/4629770/tbc-akibatkan-banyak-kerugian-ekonomi/ pada 2 Februari 2021.

Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2020.

Kementerian Kesehatan RI. (2020). Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024. Jakarta: Kemenkes RI.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Penulis: Bunga Pelangi (Peneliti), Badiul Hadi (Manager Riset Seknas FITRA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun